Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Konservatif dan Progresif yang Sama-sama Munafik

14 November 2017   19:13 Diperbarui: 14 November 2017   19:33 3003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kaum konservatif sering kali berargumen penyetaraan LGBT akan berujung pada diterimanya parafilia yang lain seperti pedofilia dan zoofilia. Argumen kebersediaan ini lah yang membedakan LGBT dengan parafilia yang lain. Anak kecil dan hewan tidak mampu memberikan consent,maka keduanya tidak dapat sah secara moral ataupun hukum. Tetapi apa yang menghalangi dua insan dewasa untuk memadu asmara sesama jenis?

Lalu, apa bedanya dengan poligami? Bukankah kedua isteri Ust. Arifin Ilham setuju untuk berpoligami? Bukankah dalam Syariat Islam paling fundamentalis sekali pun kebersediaan isteri tua maupun calon isteri muda merupakan syarat mutlak untuk sahnya nikah poligami? Lalu, mengapa Anda membully Ust. Arifin Ilham?

Seharusnya standar moral dan etik kita didasari pada sistem nilai yang kita anut. Jika kita memiliki sistem nilai yang kokoh, kontradiksi ini tidak akan terjadi. Seorang progresif tidak akan mencemooh percintaan berdasarkan consent.Seorang demokrat tidak akan mendukung eksekusi hukum tanpa pengadilan. Ormas yang keras anti-demokrasi (sistem thogut katanya) tidak seharusnya berlindung di balik dalil kebebasan demokratis.

Tetapi nyatanya standar ganda ini makin lazim terjadi di masyarakat. Baik koservatif maupun progresif sama bersalahnya. Pertanyaanya: mengapa?

Sejatinya orang-orang dengan standar ganda ini tidak memiliki sistem nilai yang kokoh. Mereka bukan sungguh-sungguh konservatif, progresif, atau fundamentalis. Sejatinya sistem nilai mereka hanya berdasarkan tribalisme.

Aku. Kami. Kamu. Mereka. Hanya itulah yang mereka tahu. Mereka mengidentifikasikan diri dalam suatu kelompok sosial-politik (tribe) lalu membela kelompok tersebut mati-matian. Tujuannya bukan membenarkan ideologi yang (katanya) dianut, tetapi membenarkan kelompok mereka sendiri dan menjelekkan kelompok lain. Tidak ada perdebatan ideologis yang mendasari, hanya ad hominem.

Tribalisme ini berbahaya. Dalam konteks bernegara praktik partisan tribalisme ini dapat merusak persatuan. Perdebatan yang didasari sistem nilai partisan tidak akan menemukan titik tengah. Saat kedua pihak didasari dogma 'saya benar, mereka salah', siapa yang akan mengalah? Siapa yang mau kompromi? Jika sudah begitu, buyarlah tenun kebangsaan ini.

Saya tidak ingin menggurui, saya pun masih muda dan banyak kekhilafan. Tetapi, mari kita terus menerus evaluasi sistem nilai kita. Saat emosi dan pikiran bereaksi terhadap suatu berita, tanya pada diri sendiri:

Mengapa saya setuju (atau tidak setuju)? Apa karena kebijakan itu tidak sesuai dengan prinsip hidup saya? Atau karena kebijakan itu datang dari golongan 'mereka'?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun