Jika Anda seorang konservatif (pendukung ormas-ormas agama), saya yakin Anda salah satu penentang Perppu Ormas. Barangkali Anda juga ikut serangkaian demonstrasi penolakannya. Saya pun yakin Anda mendukung usaha penutupan Hotel Alexis.
Bagaimana jika Anda seorang progresif (golongan baju kotak-kotak)? Saya cukup yakin banyak yang mendukung kesetaraan hak LGBT. Saya juga cukup yakin banyak yang ikut mem-bully Utadz Arifin Ilham yang berpoligami.
Saya yakin menurut Anda sikap-sikap ini adalah konsekuensi ideologi sosio-politis yang Anda anut dalam ranah demokrasi Indonesia. Tetapi, sadarkah Anda betapa munafiknya posisi-posisi ini? Mari kita bahas satu per satu.
Argumen utama penentang Perppu Ormas adalah hilangnya proses hukum. Habeas corpus. Semua putusan melanggar undang-undang harus ditetapkan oleh yudikatif. Eksekutif tidak boleh secara sepihak menginterpretasi hukum lalu mengeksekusi para (terduga) pelanggarnya. Semuanya harus dibuktikan dulu dalam sidang. Pelanggaran terhadap asas ini berarti melanggar hak hukum masyarakat, menjerumuskan pemerintah dalam tirani. Terkait ormas yang menjadi obyek hukum maka pemerintah juga memangkas hak berserikat masyarakat.
Intinya, Perppu Ormas tidak sah karena memberi kuasa pemerintah untuk secara sepihak menghukum, melanggar hak persidangan dan praduga tak bersalah.
Lalu, bagaimana dengan proses penutupan Hotel Alexis? Anies Baswedan baru saja mengeluarkan gebrakan menghentikan izin usaha Hotel Alexis. Alasannya karena ia mendengar 'laporan, keluhan warga, dan pemberitaan.' Sebelumnya, Mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menolak menutup Alexis dengan alasan kurang bukti. Saat Anies menutup Alexis, saya belum menemukan adanya putusan pengadilan atau sejenisnya yang membuktikan secara hukum Alexis melakukan pelanggaran prostitusi.
Bagaimana? Apa Anda sudah lihat letak kemunafikannya?
Perppu Ormas dan penutupan Alexis memiliki kelemahan hukum yang sama: tindakan sepihak eksekutif tanpa proses hukum yudikatif. Seseorang yang benar-benar mendukung supremasi hukum akan menolak kedua kebijakan tersebut.Â
Keduanya merupakan keputusan yang didasari populisme, kepentingan politik untuk menyenangkan basis massa tertentu. Perppu Ormas disahkan untuk menenangkan masyarakat moderat Indonesia yang kebakaran jenggot maraknya ideologi khilafah anti-Pancasila. Penutupan Alexis justru untuk menyenangkan para konservatif tersebut.
Bagaimana dengan mendukung LGBT dan menolak poligami? Di mana persamaannya?
Argumen pro-LGBT biasanya berdasar pada hak dan kesetaraan. Seorang manusia dewasa yang rasional punya hak untuk mencintai dan berpasangan dengan siapa pun. Syaratnya hanyalah adanya consentatau kebersediaan.
Kaum konservatif sering kali berargumen penyetaraan LGBT akan berujung pada diterimanya parafilia yang lain seperti pedofilia dan zoofilia. Argumen kebersediaan ini lah yang membedakan LGBT dengan parafilia yang lain. Anak kecil dan hewan tidak mampu memberikan consent,maka keduanya tidak dapat sah secara moral ataupun hukum. Tetapi apa yang menghalangi dua insan dewasa untuk memadu asmara sesama jenis?
Lalu, apa bedanya dengan poligami? Bukankah kedua isteri Ust. Arifin Ilham setuju untuk berpoligami? Bukankah dalam Syariat Islam paling fundamentalis sekali pun kebersediaan isteri tua maupun calon isteri muda merupakan syarat mutlak untuk sahnya nikah poligami? Lalu, mengapa Anda membully Ust. Arifin Ilham?
Seharusnya standar moral dan etik kita didasari pada sistem nilai yang kita anut. Jika kita memiliki sistem nilai yang kokoh, kontradiksi ini tidak akan terjadi. Seorang progresif tidak akan mencemooh percintaan berdasarkan consent.Seorang demokrat tidak akan mendukung eksekusi hukum tanpa pengadilan. Ormas yang keras anti-demokrasi (sistem thogut katanya) tidak seharusnya berlindung di balik dalil kebebasan demokratis.
Tetapi nyatanya standar ganda ini makin lazim terjadi di masyarakat. Baik koservatif maupun progresif sama bersalahnya. Pertanyaanya: mengapa?
Sejatinya orang-orang dengan standar ganda ini tidak memiliki sistem nilai yang kokoh. Mereka bukan sungguh-sungguh konservatif, progresif, atau fundamentalis. Sejatinya sistem nilai mereka hanya berdasarkan tribalisme.
Aku. Kami. Kamu. Mereka. Hanya itulah yang mereka tahu. Mereka mengidentifikasikan diri dalam suatu kelompok sosial-politik (tribe) lalu membela kelompok tersebut mati-matian. Tujuannya bukan membenarkan ideologi yang (katanya) dianut, tetapi membenarkan kelompok mereka sendiri dan menjelekkan kelompok lain. Tidak ada perdebatan ideologis yang mendasari, hanya ad hominem.
Tribalisme ini berbahaya. Dalam konteks bernegara praktik partisan tribalisme ini dapat merusak persatuan. Perdebatan yang didasari sistem nilai partisan tidak akan menemukan titik tengah. Saat kedua pihak didasari dogma 'saya benar, mereka salah', siapa yang akan mengalah? Siapa yang mau kompromi? Jika sudah begitu, buyarlah tenun kebangsaan ini.
Saya tidak ingin menggurui, saya pun masih muda dan banyak kekhilafan. Tetapi, mari kita terus menerus evaluasi sistem nilai kita. Saat emosi dan pikiran bereaksi terhadap suatu berita, tanya pada diri sendiri:
Mengapa saya setuju (atau tidak setuju)? Apa karena kebijakan itu tidak sesuai dengan prinsip hidup saya? Atau karena kebijakan itu datang dari golongan 'mereka'?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H