Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Doktoral Kesehatan Masyarakat di UNSW Sydney

Dokter, peneliti kesehatan masyarakat, dan pemerhati sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.threads.net/@bennywirawan?hl=en

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Paradoks Anti-Komunisme di Indonesia

24 September 2017   08:24 Diperbarui: 24 September 2017   08:27 3961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah perempuan membentangkan spanduk dalam rally antikomunis di depan Istana Merdeka Jakarta, 6 Juni 2000. (AFP)

Apakah menurut Anda korporasi dan orang kaya selalu memanfaatkan orang miskin? Apakah menurut Anda buruh dan pekerja pabrik harus mendapat jatah kepemilikan pabrik dan keuntungannya? Jika kesenjangan ekonomi kian lebar, apakah buruh harus bangkit dalam revolusi melawan penindasan orang berduit? Jika Anda menjawab 'iya' pada pertanyaan-pertanyaan di atas maka selamat, Anda baru saja menyetujui ide-ide komunisme.

Anti-komunisme di Indonesia selalu berfokus pada aspek ateisme komunis. Komunisme ditampilkan sebagai ideologi anti-Tuhan yang memaksakan ateismenya dengan revolusi berdarah yang mengharuskan bumi hangus komunitas agama di Indonesia. Pandangan ini terutama dikemukakan kelompok anti-komunis yang berbasis agama. Bahkan ormas agama moderat seperti Nahdlatul Ulama (NU) pun mengungkapkan sentimen serupa.

Selain itu, aktivis anti-komunis selalu mengingatkan sejarah pemberontakan (dan dugaan pemberontakan) PKI sebagai dasar perpetuasi anti-komunisme di Indonesia. Walaupun fakta sejarahnya masih kontroversial, kelompok anti-komunis secara konsisten mengedepankan sejarah versi Orde Baru. Anti-komunis di Indonesia juga konsisten menentang adanya upaya investigasi kebenaran sejarah, terutama terkait konflik sosial berdarah pasca G30S/PKI.

Argumen-argumen anti-komunis ini secara sengaja mengerdilkan ideologi komunisme, mengedepankan aspek-aspek komunisme yang sulit diterima masyarakat Indonesia. Padahal, ateisme hanya menjadi bagian kecil dari komunisme Marxis (ateisme lebih dominan dalam komunisme Leninis dan Maois yang berkembang belakangan). Kudeta berdarah a la G30S dan Peristiwa Madiun 1948 pun merupakan efek samping doktrin 'revolusi pekerja' komunisme. Yang lebih penting, aspek-aspek komunis seperti konflik antar kelas dan kepemilikan alat produksi di tangan rakyat hampir tidak pernah dibahas oleh anti-komunis di Indonesia. Ironisnya, kedua aspek tersebut adalah aspek-aspek utama ideologi komunis dan juga aspek penting dalam kesadaran politik rakyat Indonesia.

Konflik antar kelas ekonomi di Indonesia biasanya dikemas sebagai isu 'keberpihakan' ekonomi. Coba tanya diri Anda, berapa kali Anda mendengar isu 'keberpihakan ekonomi' dalam pemilu? Berapa kali pula Anda dengar kritik 'tidak berpihak rakyat kecil' dalam diskusi politik di media massa? Faktanya, isu ini sangat populer di kalangan politisi. Bahkan kata 'keberpihakan' menjadi ikon Anies Baswedan saat pemilu, Gybernur DKI Jakarta terpilih yang nota bene didukung PKS dan Gerindra yang tokoh-tokohnya getol mengemukakan anti-komunisme.

Lalu apakah 'keberpihakan' ekonomi sama dengan konflik antar kelas? Tentu saja. Kata 'keberpihakan' sendiri menyiratkan ada lebih dari satu pihak dalam ekonomi. Jika salah satu 'pihak' diidentifikasi sebagai 'rakyat keci' artinya pihak lainnya adalah masyarakat kaya atau, dalam istilah komunis, borjuis. Kata 'berpihak' juga menyiratkan bahwa pihak-pihak disebut berada dalam situasi konflik sehingga tokoh dan pemerintah harus memilih salah satu dari 'pihak' tersebut. Walaupun tidak pernah disebut eksplisit, populernya 'keberpihakan' dalam retorika politik menjadi bukti adanya kesadaran akan konflik antar kelas di antara kelas pekerja Indonesia.

Kepemilikan alat produksi (means of production) di tangan rakyat juga merupakan isu populer. Wacana-wacana nasionalisasi perusahaan, terutama yang menjadi milik asing, selalu mendapat dukungan. Walaupun tidak seradikal wacana penghapusan hak milik pribadi yang diadvokasikan komunisme, rakyat Indonesia mendukung redistribusi kekayaan melalui pajak progresif. Rakyat Indonesia juga mendukung peran kuat rakyat, melalui pemerintah, dalam regulasi kegiatan ekonomi. Wacana-wacana ini merupakan ide-ide khas politik 'kiri' yang mencakup (walau tidak terbatas pada) komunisme.

Semua ide di atas populer dan selalu menjadi janji-janji dalam kampanye pemilu dalam satu atau lain bentuk. Semuanya adalah ide 'kiri' dan 'komunis'.

Pertanyaannya, jika ide-idenya didukung, mengapa ideologi yang empunya ide dibenci?

Hal ini membuat saya ingin bertanya pada anti-komunis di Indonesia. Apa yang Anda ketahui tentang komunisme? Apa Anda pernah membaca tulisan-tulisan komunis? Apa Anda pernah lihat buku Manifesto Komunis dan Das Kapital, kitab sucinya Marxisme? Ataukah sumber Anda mengenai komunisme hanyalah dari film-film zaman Orde Baru dan sumber-sumber dengan bias anti-komunis lain?

Faktanya, hanya sedikit orang Indonesia yang mengenal komunisme, sesuatu yang mereka sangat benci dan takuti. Toko-toko buku di Indonesia masih belum ada yang menyediakan buku-buku dari penulis kiri. Tidak akan Anda menemukan karya-karya Trotsky ataupun Marx. Yang paling kiri hanyalah Pramoedya, itu pun beliau sebenarnya bukan kiri atau komunis. Ia seorang humanis yang mendukung keadilan sosial di negeri ini.

Kebencian dan ketakutan akan komunisme merupakan bukti nyata suksesnya indoktrinasi Orde Baru. Sejarah ditulis oleh pemenang. PKI kalah dalam konfil berdarah 1965, dikalahkan Orde Baru dan semua elemen pendukungnya. Akibatnya, terlepas dari siapa yang sebenarnya salah, sejarah yang ditulis hanyadari versi Orde Baru. Setelah 32 tahun, lebih dari dua generasi anak bangsa tidak tau lagi apa itu komunisme dan PKI. Mereka tidak lagi mengenal istilah proletar dan borjuis, partai pekerja, dan lain lain. Mereka tak tahu lagi bahwa di antara pahlawan kemerdekaannya terdapat orang-orang komunis. Bahkan DN Aidit, sang Ketua PKI, ikut mengamankan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Yang mereka tau komunisme adalah ideologi sesat, menista agama, dan bengis haus darah. 

Sebenarnya, jika pemikiran dan diskusi terbuka dibiarkan, bukan tidak mungkin anak muda kita membaca literatur komunisme dan berakhir sebagai antikomunis. Saya pun demikian. Setelah membaca selayang pandang komunisme dari berbagai sumber online, saya memutuskan membaca Manifesto Komunis. Bukunya dapat pinjam dari teman, buku impor yang tidak dijual di toko buku lokal. Akhirnya? Saya makin mantap anti komunis.

Komunisme adalah ideologi anti-humanisme. Baginya individu manusia hanyalah butiran debu dalam sistem ekonomi. Ia tidak dapat melihat manusia sebagai subyek yang memiliki nilai lebih dari unit ekonomi. Bagi komunisme, individu hanyalah sebuah unit produksi dan konsumsi. Hak kepemilikan ditidiadakan, seorang ayah tidak boleh mewariskan harta miliknya kepada anaknya. Komunisme buta bahwa warisan tidak hanya memiliki nilai ekonomi tapi juga nilai sosial, spiritual, dan emosional: ikatan batin anak dengan orang tuanya yang telah tiada.

Komunisme memecah belah masyarakat. Kesenjangan ekonomi memang menjadi akar banyak konflik. Tetapi ini bukanlah sesuatu yang seharusnya diharapkan apalagi diteruskan, apalagi diledakkan dalam bentuk revolusi pekerja yang diimpikan komunisme. Justru konflik ini harus dihindari dan diredam.

Komunisme merupakan ideologi intoleran dengan pikiran sempit. Komunis selalu mengambinghitamkan 'borjuis' bagi semua masalah ekonomi rakyat. Akhirnya, semua yang buruk selalu dicap borjuis. Tidak hanya itu, komunisme bahkan tidak akur sesama ideologi kiri. Dalam Manifesto, Marx menghabiskan satu dari tigabab untuk mendiskreditkan berbagai aliran sosialisme. Jika ia bahkan tidak mampu menemukan kesepahaman dengan sosialisme, ideologi yang paling kiri kedua setelah komunisme, bagaimana dengan liberalisme dan konservatisme?

Sungguh sayang budaya membaca dan berargumen publik di negeri ini makin luntur. Diskusi politik terbatas pada kenangan buruk masa lalu, kebencian terhadap ateisme, dan membeo indoktrinasi Orde Baru.

Oposisi ideologis tentu saja boleh. Perbedaan pendapat adalah tanda sehatnya hidup demokrasi. Akan tetapi perdebatan tersebut harus didasari nalar dan logika. Ketakutan adalah gong maut bagi nalar. Ketakutan akan komunisme telah meresap ke tulang, ditambah dengan ketidaktahuan maka ketakutan menjadi benci. Jike diteruskan, demokrasi menjadi sakit karena perbedaan pendapat yang dibuat mati.

Rakyat Indonesia harus membaca. Yang dibaca bukan hanya buku yang disetujui pemerintah dan rezim, tapi juga buku-buku yang katanya 'berbahaya'. Jangan langsung percaya jika disuruh takut dan benci terhadap sesuatu. Buktikan dengan mata dan otak sendiri apakah sesuatu tersebut layak dilawan.

Indonesia pernah dipimpin generasi yang fasih berfilosofi. Sutan Sjahrir adalah filsuf sosialis kenamaan. Soekarno menyusun Pancasila dan Nasakom yang diajarkannya dalam pidato-pidato. Hampir semua Bapak Bangsa memulai perjuangan sebagai aktivis organisasi dan penulis media massa. Sungguh berbeda dengan pemimpin sekarang yang mendulang suara dengan menebar ketakutan dan kebencian, baik yang nyata seperti terorisme dan narkoba, ataupun yang 'hantu' seperti PKI dan komunisme. 

Suatu ironi besar bangsa ini membenci komunisme sedemikian kuat padahal ide-ide komunisme laris di bibir politisi saat pemilu. Suatu ironi besar bangsa yang tadinya fasih berfilosofi, dipimpin oleh intelektual, jatuh ke politik identitas dan rasa takut.

Sudah 72 tahun Indonesia merdeka, 52 tahun sejak G30S/PKI, 19 tahun sejak Reformasi dan kualitas diskusi politik Indonesia masih jauh dari intelektual. Ironis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun