Kebencian dan ketakutan akan komunisme merupakan bukti nyata suksesnya indoktrinasi Orde Baru. Sejarah ditulis oleh pemenang. PKI kalah dalam konfil berdarah 1965, dikalahkan Orde Baru dan semua elemen pendukungnya. Akibatnya, terlepas dari siapa yang sebenarnya salah, sejarah yang ditulis hanyadari versi Orde Baru. Setelah 32 tahun, lebih dari dua generasi anak bangsa tidak tau lagi apa itu komunisme dan PKI. Mereka tidak lagi mengenal istilah proletar dan borjuis, partai pekerja, dan lain lain. Mereka tak tahu lagi bahwa di antara pahlawan kemerdekaannya terdapat orang-orang komunis. Bahkan DN Aidit, sang Ketua PKI, ikut mengamankan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Yang mereka tau komunisme adalah ideologi sesat, menista agama, dan bengis haus darah.Â
Sebenarnya, jika pemikiran dan diskusi terbuka dibiarkan, bukan tidak mungkin anak muda kita membaca literatur komunisme dan berakhir sebagai antikomunis. Saya pun demikian. Setelah membaca selayang pandang komunisme dari berbagai sumber online, saya memutuskan membaca Manifesto Komunis. Bukunya dapat pinjam dari teman, buku impor yang tidak dijual di toko buku lokal. Akhirnya? Saya makin mantap anti komunis.
Komunisme adalah ideologi anti-humanisme. Baginya individu manusia hanyalah butiran debu dalam sistem ekonomi. Ia tidak dapat melihat manusia sebagai subyek yang memiliki nilai lebih dari unit ekonomi. Bagi komunisme, individu hanyalah sebuah unit produksi dan konsumsi. Hak kepemilikan ditidiadakan, seorang ayah tidak boleh mewariskan harta miliknya kepada anaknya. Komunisme buta bahwa warisan tidak hanya memiliki nilai ekonomi tapi juga nilai sosial, spiritual, dan emosional: ikatan batin anak dengan orang tuanya yang telah tiada.
Komunisme memecah belah masyarakat. Kesenjangan ekonomi memang menjadi akar banyak konflik. Tetapi ini bukanlah sesuatu yang seharusnya diharapkan apalagi diteruskan, apalagi diledakkan dalam bentuk revolusi pekerja yang diimpikan komunisme. Justru konflik ini harus dihindari dan diredam.
Komunisme merupakan ideologi intoleran dengan pikiran sempit. Komunis selalu mengambinghitamkan 'borjuis' bagi semua masalah ekonomi rakyat. Akhirnya, semua yang buruk selalu dicap borjuis. Tidak hanya itu, komunisme bahkan tidak akur sesama ideologi kiri. Dalam Manifesto, Marx menghabiskan satu dari tigabab untuk mendiskreditkan berbagai aliran sosialisme. Jika ia bahkan tidak mampu menemukan kesepahaman dengan sosialisme, ideologi yang paling kiri kedua setelah komunisme, bagaimana dengan liberalisme dan konservatisme?
Sungguh sayang budaya membaca dan berargumen publik di negeri ini makin luntur. Diskusi politik terbatas pada kenangan buruk masa lalu, kebencian terhadap ateisme, dan membeo indoktrinasi Orde Baru.
Oposisi ideologis tentu saja boleh. Perbedaan pendapat adalah tanda sehatnya hidup demokrasi. Akan tetapi perdebatan tersebut harus didasari nalar dan logika. Ketakutan adalah gong maut bagi nalar. Ketakutan akan komunisme telah meresap ke tulang, ditambah dengan ketidaktahuan maka ketakutan menjadi benci. Jike diteruskan, demokrasi menjadi sakit karena perbedaan pendapat yang dibuat mati.
Rakyat Indonesia harus membaca. Yang dibaca bukan hanya buku yang disetujui pemerintah dan rezim, tapi juga buku-buku yang katanya 'berbahaya'. Jangan langsung percaya jika disuruh takut dan benci terhadap sesuatu. Buktikan dengan mata dan otak sendiri apakah sesuatu tersebut layak dilawan.
Indonesia pernah dipimpin generasi yang fasih berfilosofi. Sutan Sjahrir adalah filsuf sosialis kenamaan. Soekarno menyusun Pancasila dan Nasakom yang diajarkannya dalam pidato-pidato. Hampir semua Bapak Bangsa memulai perjuangan sebagai aktivis organisasi dan penulis media massa. Sungguh berbeda dengan pemimpin sekarang yang mendulang suara dengan menebar ketakutan dan kebencian, baik yang nyata seperti terorisme dan narkoba, ataupun yang 'hantu' seperti PKI dan komunisme.Â
Suatu ironi besar bangsa ini membenci komunisme sedemikian kuat padahal ide-ide komunisme laris di bibir politisi saat pemilu. Suatu ironi besar bangsa yang tadinya fasih berfilosofi, dipimpin oleh intelektual, jatuh ke politik identitas dan rasa takut.
Sudah 72 tahun Indonesia merdeka, 52 tahun sejak G30S/PKI, 19 tahun sejak Reformasi dan kualitas diskusi politik Indonesia masih jauh dari intelektual. Ironis.