Mohon tunggu...
Bhenz Maharadjo
Bhenz Maharadjo Mohon Tunggu... -

Terlahir di Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1987. Hanyalah lelaki biasa yang mencoba menikmati hidup secara sederhana. Suka kesunyian. Mencoba melawan ketidakadilan dan menjunjung tinggi Pluralisme.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Islam dan Pluralisme

20 Agustus 2013   20:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:03 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

ISLAM merupakan agama rahmatan lil alamin. Bisa pula diartikan agama penuh kedamaian. Tidak mempersoalkan perbedaan yang mengerucut hingga terjadinya konflik antar sesama manusia.

Banyak dalil di Alquran yang bisa dijadikan dasar bahwa Islam menjunjung tinggi perbedaan. Salah satunya dalam surah Al Kafirun ayat 6 yang artinya "Untukmu agamamu, untukkulah agamaku". Sangat jelas bahwa perbedaan bukan menjadi persoalan umat yang cukup fundamental.


Di Indonesia, khususnya di Kota Padang, masyarakatnya beragama Muslim, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Hal itu sebagai petanda, Padang adalah kota yang ramah terhadap siapa saja. Dengan latar apa saja dan berhak menjalankan keyakinan yang dianutnya tanpa intervensi atau gangguan siapa saja. Bahkan dalam satu permukiman, bisa jadi di satu gang, agama penghuninya berbeda-beda. Meski begitu, mereka bisa hidup damai, saling membantu. Seperti itulah yang diharapkan dalam Islam yang sebenarnya.


Sungguh sebuah keprihatinan yang mendalam ketika primordialisme yang berlebihan itu merusak kerukunan umat. Indikasinya, merasa paling benar sehingga tidak menghargai orang lain dan melecehkan agama lain. Tanpa didasari, hal itu memicu konflik dan ketidaknyamanan di masyarakat.

Jelas sekali, agama yang kerap menjadi kambing hitam atas sikap individu yang tidak menghargai pluralisme. Bukan agama yang tidak menekankan penghargaan terhadap pluralisme itu sendiri.


Di zaman Rasulullah pun demikian. Semua aktivitas berlangsung dengan baik. Kerja sama bidang ekonomi juga terjadi antara umat muslim dan lainnya. Tentu saja mereka menjunjung tinggi kemaslahatan umat. Dengan begitu, tidak ada yang dirugikan dalam mewujudkan kongsi dagang tersebut.


Selain itu, tidak pernah ada paksaan untuk memeluk Islam di zaman Rasulullah. Itu diperkuat dengan surah Al Baqarah ayat 256 yang intinya "Tidak boleh ada paksaan dalam memeluk agama Islam.."


Dalam kehidupannya, Rasul juga tidak memberikan ajaran agar umat-nya membenci non muslim. Bahkan, Rasul memberikan contoh, yang baik. Pernah suatu ketika orang-orang kafir Quraisy menyewa seorang Yahudi untuk menyakiti Rasul. Di lorong yang biasa di lewati Nabi SAW untuk menuju Ka`bah, orang Yahudi itu berdiri untuk menunggu. Di saat Nabi lewat, dia memanggil Nabi. Beliau pun menengok, karena beliau tidak pernah mengecewakan siapa pun yang memanggilnya. Di saat itulah Yahudi tadi meludahi wajah Rasulullah SAW.


Rasul tidak sedikit pun marah atau menghardik Yahudi itu. Keesokan harinya, Rasul kembali berjalan di tempat yang sama. Tidak sedikit pun beliau merasa dendam atau berusaha untuk menjauhi jalan tersebut. Sesampainya di tempat yang sama, Rasul pun kembali dipanggil dan diludahi seperti sebelumnya.


Demikianlah kejadian itu terus berulang selama beberapa hari hingga pada suatu hari Rasul tidak mendapati lagi orang yang meludahinya selama itu. Rasul pun bertanya dalam hatinya, “Ke mana gerangan orang yang selalu meludahiku?”


Setelah menanyakannya, tahulah Rasul bahwa orang tersebut jatuh sakit. Rasul pun pulang ke rumah untuk mengambil makanan yang ada dan tak lupa pula mampir ke pasar, membeli buah-buahan, untuk menjenguk Yahudi yang tengah sakit itu.


Sesampainya di rumah si Yahudi, Rasul mengetuk pintu. Dari dalam rumah, terdengar suara lirih Yahudi yang tengah sakit mendekati pintu sembari bertanya, “Siapa yang datang?”


“Saya, Muhammad,” jawab Rasul.


“Muhammad siapa?” terdengar suara Yahudi itu kembali bertanya.


“Muhammad Rasulullah,” jawab Nabi lagi.


Setelah pintu dibuka, alangkah terkejutnya si Yahudi, menyaksikan sosok yang datang adalah orang yang selama itu disakitinya dan diludahi wajahnya. “Untuk apa engkau datang kemari?” tanya Yahudi itu lagi.


“Aku datang untuk menjengukmu, wahai saudaraku, karena aku mendengar engkau jatuh sakit,” jawab Rasul dengan suara yang lembut.


“Wahai Muhammad, ketahuilah bahwa sejak aku jatuh sakit, belum ada seorang pun datang menjengukku, bahkan Abu Jahal sekalipun, yang telah menyewaku untuk menyakitimu, padahal aku telah beberapa kali mengutus orang kepadanya agar ia segera datang memberikan sesuatu kepadaku. Namun engkau, yang telah aku sakiti selama ini dan aku ludahi berkali-kali, justru engkau yang pertama kali datang menjengukku,” kata Yahudi itu dengan nada terharu.


Begitulah, Rasul sekali pun tak membenci. Dalam Alquran juga dijelaskan bahwa diciptakannya manusia dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Artinya, penekanan untuk menghargai perbedaan sangat tinggi.


Tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak menghargai perbedaan. Baik perbedaan suku maupun keyakinan. Sebab, di mata Allah, bukan wujud fisik yang menjadi pertimbangan. Namun, wujud ketakwaan yang diakui di hadapan Allah.


Alangkah baiknya, menjaga kebersamaan dan kerukunan. Hal itu merupakan cara menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Selain itu, seorang muslim yang mampu mewujudkan kedamaian secara tidak langsung menjadi dai atas dirinya sendiri dan orang lain. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun