Mohon tunggu...
Bhenz Maharadjo
Bhenz Maharadjo Mohon Tunggu... -

Terlahir di Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1987. Hanyalah lelaki biasa yang mencoba menikmati hidup secara sederhana. Suka kesunyian. Mencoba melawan ketidakadilan dan menjunjung tinggi Pluralisme.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Islam dan Pluralisme

20 Agustus 2013   20:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:03 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock


Sesampainya di rumah si Yahudi, Rasul mengetuk pintu. Dari dalam rumah, terdengar suara lirih Yahudi yang tengah sakit mendekati pintu sembari bertanya, “Siapa yang datang?”


“Saya, Muhammad,” jawab Rasul.


“Muhammad siapa?” terdengar suara Yahudi itu kembali bertanya.


“Muhammad Rasulullah,” jawab Nabi lagi.


Setelah pintu dibuka, alangkah terkejutnya si Yahudi, menyaksikan sosok yang datang adalah orang yang selama itu disakitinya dan diludahi wajahnya. “Untuk apa engkau datang kemari?” tanya Yahudi itu lagi.


“Aku datang untuk menjengukmu, wahai saudaraku, karena aku mendengar engkau jatuh sakit,” jawab Rasul dengan suara yang lembut.


“Wahai Muhammad, ketahuilah bahwa sejak aku jatuh sakit, belum ada seorang pun datang menjengukku, bahkan Abu Jahal sekalipun, yang telah menyewaku untuk menyakitimu, padahal aku telah beberapa kali mengutus orang kepadanya agar ia segera datang memberikan sesuatu kepadaku. Namun engkau, yang telah aku sakiti selama ini dan aku ludahi berkali-kali, justru engkau yang pertama kali datang menjengukku,” kata Yahudi itu dengan nada terharu.


Begitulah, Rasul sekali pun tak membenci. Dalam Alquran juga dijelaskan bahwa diciptakannya manusia dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Artinya, penekanan untuk menghargai perbedaan sangat tinggi.


Tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak menghargai perbedaan. Baik perbedaan suku maupun keyakinan. Sebab, di mata Allah, bukan wujud fisik yang menjadi pertimbangan. Namun, wujud ketakwaan yang diakui di hadapan Allah.


Alangkah baiknya, menjaga kebersamaan dan kerukunan. Hal itu merupakan cara menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Selain itu, seorang muslim yang mampu mewujudkan kedamaian secara tidak langsung menjadi dai atas dirinya sendiri dan orang lain. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun