ISLAM merupakan agama rahmatan lil alamin. Bisa pula diartikan agama penuh kedamaian. Tidak mempersoalkan perbedaan yang mengerucut hingga terjadinya konflik antar sesama manusia.
Banyak dalil di Alquran yang bisa dijadikan dasar bahwa Islam menjunjung tinggi perbedaan. Salah satunya dalam surah Al Kafirun ayat 6 yang artinya "Untukmu agamamu, untukkulah agamaku". Sangat jelas bahwa perbedaan bukan menjadi persoalan umat yang cukup fundamental.
Di Indonesia, khususnya di Kota Padang, masyarakatnya beragama Muslim, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Hal itu sebagai petanda, Padang adalah kota yang ramah terhadap siapa saja. Dengan latar apa saja dan berhak menjalankan keyakinan yang dianutnya tanpa intervensi atau gangguan siapa saja. Bahkan dalam satu permukiman, bisa jadi di satu gang, agama penghuninya berbeda-beda. Meski begitu, mereka bisa hidup damai, saling membantu. Seperti itulah yang diharapkan dalam Islam yang sebenarnya.
Sungguh sebuah keprihatinan yang mendalam ketika primordialisme yang berlebihan itu merusak kerukunan umat. Indikasinya, merasa paling benar sehingga tidak menghargai orang lain dan melecehkan agama lain. Tanpa didasari, hal itu memicu konflik dan ketidaknyamanan di masyarakat.
Jelas sekali, agama yang kerap menjadi kambing hitam atas sikap individu yang tidak menghargai pluralisme. Bukan agama yang tidak menekankan penghargaan terhadap pluralisme itu sendiri.
Di zaman Rasulullah pun demikian. Semua aktivitas berlangsung dengan baik. Kerja sama bidang ekonomi juga terjadi antara umat muslim dan lainnya. Tentu saja mereka menjunjung tinggi kemaslahatan umat. Dengan begitu, tidak ada yang dirugikan dalam mewujudkan kongsi dagang tersebut.
Selain itu, tidak pernah ada paksaan untuk memeluk Islam di zaman Rasulullah. Itu diperkuat dengan surah Al Baqarah ayat 256 yang intinya "Tidak boleh ada paksaan dalam memeluk agama Islam.."
Dalam kehidupannya, Rasul juga tidak memberikan ajaran agar umat-nya membenci non muslim. Bahkan, Rasul memberikan contoh, yang baik. Pernah suatu ketika orang-orang kafir Quraisy menyewa seorang Yahudi untuk menyakiti Rasul. Di lorong yang biasa di lewati Nabi SAW untuk menuju Ka`bah, orang Yahudi itu berdiri untuk menunggu. Di saat Nabi lewat, dia memanggil Nabi. Beliau pun menengok, karena beliau tidak pernah mengecewakan siapa pun yang memanggilnya. Di saat itulah Yahudi tadi meludahi wajah Rasulullah SAW.
Rasul tidak sedikit pun marah atau menghardik Yahudi itu. Keesokan harinya, Rasul kembali berjalan di tempat yang sama. Tidak sedikit pun beliau merasa dendam atau berusaha untuk menjauhi jalan tersebut. Sesampainya di tempat yang sama, Rasul pun kembali dipanggil dan diludahi seperti sebelumnya.
Demikianlah kejadian itu terus berulang selama beberapa hari hingga pada suatu hari Rasul tidak mendapati lagi orang yang meludahinya selama itu. Rasul pun bertanya dalam hatinya, “Ke mana gerangan orang yang selalu meludahiku?”
Setelah menanyakannya, tahulah Rasul bahwa orang tersebut jatuh sakit. Rasul pun pulang ke rumah untuk mengambil makanan yang ada dan tak lupa pula mampir ke pasar, membeli buah-buahan, untuk menjenguk Yahudi yang tengah sakit itu.