Hari itu Kamis 22 November 2018 dinihari, sekitar jam 00.15 WIB, bertempat di terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, saya berencana bertolak ke London Inggris via Doha-Qatar dengan menumpang pesawat Qatar Airways QR-955.
Jika tak ada halangan, jam 00.35 WIB, saya bersama Kepala Biro SDM dan 4 orang pejabat di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, akan berangkat ke Inggris dalam rangka tugas dinas dan mengikuti short course dalam bidang Human Resources Management di Coventry University, Inggris.
Saya berangkat dari kantor Kemendikbud di bilangan Senayan bersama Pak Agam Bayu dengan mengendarai taxi online, setelah sebelumnya sempat chatting-an dengan Prof. Endang Aminuddin, Atase Pendidikan di KBRI London mengenai keberangkatan kami malam itu.
Tiba di Bandara Soetta sekitar jam 9 malam dan berkumpul di tempat yang sudah ditentukan. Tak lama, satu persatu anggota rombongan berdatangan di bandara.
Ada briefing kecil malam itu bersama pihak travel yang memfasilitasi perjalanan kami. Sebenarnya malam itu rombongan kami berjumlah 12 orang. Namun, karena visa ke Inggris keluarnya tidak bersamaan, terpaksa 6 orang telah berangkat seminggu sebelumnya, lalu disusul rombongan kami malam ini, dan 1 orang lagi akan menyusul 2 hari kemudian.
Seperti biasanya orang yang akan berpergian jauh, malam itu semuanya telah siap untuk berangkat. Tak terkecuali aku. Tapi, aku sempat berpikir untuk kembali menukar mata uang Pounsterling untuk kebutuhan tambahan selama disana. Dengan ditemani bu Rhea Kartikasari, anggota rombongan yang paling muda, aku mencari tempat penukaran uang yang berada di lantai I Terminal 2 Bandara Soetta.
Tak lama, aku berhasil menukar uang sekitar 3 juta rupiah di money changer. Setelah selesai menukar uang, akupun kembali ke tempat berkumpul semula. Sampai disini, semua proses keberangkatan berlangsung dengan lancar.
Lalu bagaimana dengan kondisi fisik kami? Jujur saja, rasa capek dan lelah itu sungguh sangat terasa. Selama 1 minggu terakhir ini, frekuensi pekerjaan di Biro SDM memang sangat tinggi.
Belum lagi memikirkan penundaan keberangkatan yang berkali-kali ke Inggris dan Australia akibat visa yang belum keluar dan perguruan tinggi yang dituju belum ada tanda-tanda akan memberikan konfirmasi, ditambah dengan perjalanan dinas dalam negeri yang cukup padat. Sebelum berangkat ke Inggis malam itu, 1 malam sebelumnya aku menemani Ibu Kepala Biro SDM ke Palembang, lalu ke Surabaya 2 hari sebelumnya, dan ke Medan 2 hari sebelumnya lagi. Huff..
Kembali ke rencana perjalanan kami. Setelah kami melintasi loket Imigrasi malam itu, tiba-tiba ada perasaan aneh di dalam benakku. Ada perasaan tidak enak dan gelisah yang berkali-kali menyeruak di ulu hatiku. Namun aku mencoba menghilangkan perasaan itu dengan sesekali bercanda dengan anggota rombongan dan memakan permen Hexos, apalagi mulutku mulai terasa agak kelu dan bibirku terasa sedikit semutan. Untuk sementara waktu, perasaan itu hanya aku yang tau dan belum aku ceritakan pada anggota rombongan yang lain.
Sesekali aku berbicara dengan pak Agam Bayu Suryanto (Kabag Pengembangan dan Penghargaan) tentang ‘masalahku’. “Kenapa suara saya jadi pelo ya pak?” Tanyaku pada beliau. “Ah, mungkin pak Benny stress aja kali” Jawab pak Agam. “Yuk kita jalan ke toilet, biar pak Benny nggak stres” Tawarnya. Akupun setuju dengan tawaran beliau. “Hayuklah, siapa tahu memang benar” jawabku sekenanya.
Sekembalinya dari toilet, ‘masalahku’ nampaknya kian menjadi. Berkali-kali permen Hexos yang akan kumakan terlepas dari jari jemariku. Dalam hati aku berkata, “waduh, jangan-jangan aku akan terkena stroke, nih" pikirku sambil mengingat kejadian stroke yang pernah menimpa kakak tertuaku. “Aku kayaknya bakal kena stroke nih, pak” Kataku cemas dengan suara yang lirih dan pelo kepada pak Agam.
Pak Agam agak sedikit kaget mendengar ucapanku. “Di sini ada klinik kesehatan nggak pak ya? Saya mau kesana aja” Kataku. Lalu dengan sigap pak Agam mencari informasi tentang klinik tersebut. Tak lama, pak Agam membawa petugas bandara beserta kursi roda karena aku sudah mulai limbung dalam berjalan.
Segera aku menaiki kursi roda dengan ditemani seorang petugas bandara dan pak Agam. Perjalanan ke klinik kesehatan bandara kurasakan begitu lambat dan lama. “Tolong mas, bisa dipercepat lagi nggak jalannya, perasaanku tidak enak nih?” pintaku ke petugas bandara yang mendorong kursi rodaku. “Baik pak..” jawabnya singkat.
Lebih kurang 5 menit perjalanan, aku tiba di klinik. Kusampaikan keluhanku. Lalu dengan sigap salah satu petugas mengukur tensiku, dan ternyata tekanan darahku sangat tinggi yakni 180/140.
“Darah bapak sangat tinggi. Karena itu kami melarang bapak untuk terbang malam ini. Melihat indikasinya, bapak sepertinya terkena serangan stroke” terang petugas itu. Aku terkesiap. Sepanjang hidupku aku tidak pernah memiliki tekanan darah yang begitu tinggi dan membayangkan bakal terkena stroke, sementara tubuhku mulai terasa lemah dan tiada berdaya.
“Tapi, kira-kira saya bisa terbang nggak ya pak? Di pesawat nanti sayakan bisa tidur dan istirahat” aku mencoba menawar. “Saya tetap tidak menyarankan bapak untuk terbang. Lagipula, stroke itu biasanya menyerang orang saat menjelang subuh. Kalau bapak tetap terbang malam ini dan terkena stroke, bapak sendiri yang akan repot. Sedangkan bapak masih dalam perjalanan dan bisa dipastikan bapak sudah di luar negeri” jelas petugas itu. "Hmm.. sebuah penjelasan yang masuk akal", pikirku.
Setelah mendengar penjelasan petugas itu, akhirnya aku berkata, “Baiklah, kalau begitu saya tidak berangkat saja. Pak Agam, silahkan bapak berangkat dan sampaikan pada ibu Kepala Biro SDM kalau saya nggak jadi berangkat. Biarlah urusan disini saya urus sendiri” kata saya kepada pak Agam yang saat itu menemani saya.
Pak Agam tidak banyak berkata, sepertinya ia tidak tahu harus berkata apa tentang keputusan saya yang mendadak ini. Wajar saja, saya dan beliau adalah orang yang sejak awal bertanggungjawab mengurus keberangkatan ini, baik ke Inggris maupun ke Australia.
Selepas pak Agam pergi, kondisi saya semakin memburuk. Seluruh badan di sebelah kanan saya mulai tidak ada rasa dan bibir rasanya kian berat.
“Ya Allah, apakah aku mau meninggal?” kataku dalam hati. Lalu dengan tenaga yang masih tersisa, aku minta diantarkan ke rumah sakit terdekat. “Rumah sakit yang terdekat dengan bandara ini, rumah sakit apa pak?” tanyaku pada petugas bandara yang saat itu menemaniku. “Rumah sakit Pantai Indah Kapuk..” jawabnya singkat. “Kalau begitu, tolong pesankan saya taksi dan tolong diantarkan ke rumah sakit, ya pak” pintaku. “Baik pak..” kata petugas itu singkat. Aku tidak lagi berpikir, kalau dikemudian hari aku baru mengetahui kalau biaya berobat di Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk itu sangat tinggi dan tidak menerima BPJS.
Setelah itu, petugas tersebut langsung mendorong kursi roda yang kunaiki. Sepanjang jalan menuju keluar bandara, perlahan tapi pasti tubuhku mulai mati rasa. Sudah tidak terasa lagi tulang-tulang yang menyangga tubuhku. “Ya Allah, Subhanallah, Laillaaha illallah, Allah akbar.....” kalimat ini terus kuucapkan ditengah badanku yang kian limbung dan kehilangan rasa serta kepalaku yang terasa berputar hingga 180 derajat.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Beberapa kali petugas yang menemaniku berhenti untuk menyelesaikan sesuatu. Di antara tempat pemberhentian itu, di tempat boarding pass kurasakan cukup lama berhentinya.
“Pak, cepat sedikit pak..saya sudah mau pingsan...”seruku pada petugas itu. “Iya pak, saya lagi ngurus pembatalan tiket dan bagasi bapak...” jawab petugas itu. “Nggak usah pak, biarkan saja, nanti saya keburu meninggal...” Jawabku seperti khawatir tentang kian memburuknya kondisiku. Seperti yang kurasakan, seluruh tubuhku sudah mati rasa, mulutku sudah menceng, pandangan mataku kian kabur, tenagaku sudah tidak ada, dan suaraku terdengar kian melemah. “Ya Allah, berikanlah kekuatan pada hambamu ini, Laa ilaa haillallahhh...” batinku menangis dan meratapi nasib yang demikian buruk. Aku benar-benar sendirian malam itu. "Beginikah rasanya sakaratul maut itu, ya Allahhh?" Jeritku dalam hati.
Dalam keadaan yang kian buruk itu, anehnya, aku tak sedikitpun teringat dengan istri, anak-anak, dan saudara-saudaraku yang ada di Palembang. Padahal saya rutin berkirim kabar kepada mereka. Bahkan, satu jam yang lalu aku masih sempat berkirim WA kepada mereka mengenai rencana kepergianku. Ya Allah...😢
Tak lama, petugas bandara itu menyelesaikan administrasi pembatalan keberangkatan dan bergegas cepat mengantarkanku ke taksi bandara. Lalu tanpa berlama-lama, aku dinaikkan ke dalam taksi dengan merangkak. Dengan tenaga yang masih tersisa, aku minta kepada sopir taksi itu untuk diantarkan ke rumah sakit Pantai Indah Kapuk. “Ini ongkosnya...” kataku sambil menyerahkan uang 100 ribu.
Setelah itu, aku tak ingat lagi apa yang terjadi selanjutnya, baik di dalam perjalanan maupun setelah tiba di rumah sakit. Aku pingsan. Aku tidak tau apa yang terjadi selama aku pingsan itu.
Menurut dokter yang merawatku, aku pingsan kurang lebih selama 12 jam, hingga aku terbangun sekitar jam 2 siang, dan di hadapanku sudah berdiri 3 orang yang sangat kukenal, yaitu: istriku, anak bungsuku, dan rekan sekantor sekaligus sahabat terbaikku Sugianto.
12 jam pingsan di dalam taxi dan di rumah sakit membuatku serasa mengalami peristiwa kematian. Di kemudian hari, lamat-lamat aku masih mengingat bahwa selama pingsan aku seperti mendengar percakapan dan kepanikan orang-orang yang tengah menolongku di rumah sakit saat itu. Tetapi aku hanya diam dan tak mampu berbicara.
Di awali saat aku diturunkan dari taxi, masuk ke rumah sakit, di bawa dengan tandu darurat, dibawa ke ruang gawat darurat, di periksa di ruang CT Scan, dan pemeriksaan menggunakan mesin-mesin lainnya. Aku merasa seperti tengah menyaksikan sebuah episode kehidupan yang tak mampu ku ungkapkan.
Aku menangis. Hari itu untuk pertama kalinya aku menyandang status sebagai penderita stroke hemoragik. Sebuah stroke yang menyerang pembuluh darah di otak sehingga pembuluh darah tersebut pecah dan merusak area otak di sebelah kiri yang berfungsi mengatur (salah satunya) kerja memori dan aktivitas tubuh sebelah kanan.
Seluruh tubuhku sudah dipenuhi dengan berpuluh kabel dan selang yang terhubung dengan berbagai alat elektronik. Dan hari itu, seluruh tubuhku mulai terdiam, kaku, dan membisu. Ragaku yang kemarin begitu gagah dan bersemangat, hari itu nampak kuyu dan kehilangan banyak ingatan. Aku lupa siapa aku.. Ya, aku lupa siapa aku😢
Indaralaya, 22 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H