Waktu terasa berjalan begitu lambat. Beberapa kali petugas yang menemaniku berhenti untuk menyelesaikan sesuatu. Di antara tempat pemberhentian itu, di tempat boarding pass kurasakan cukup lama berhentinya.
“Pak, cepat sedikit pak..saya sudah mau pingsan...”seruku pada petugas itu. “Iya pak, saya lagi ngurus pembatalan tiket dan bagasi bapak...” jawab petugas itu. “Nggak usah pak, biarkan saja, nanti saya keburu meninggal...” Jawabku seperti khawatir tentang kian memburuknya kondisiku. Seperti yang kurasakan, seluruh tubuhku sudah mati rasa, mulutku sudah menceng, pandangan mataku kian kabur, tenagaku sudah tidak ada, dan suaraku terdengar kian melemah. “Ya Allah, berikanlah kekuatan pada hambamu ini, Laa ilaa haillallahhh...” batinku menangis dan meratapi nasib yang demikian buruk. Aku benar-benar sendirian malam itu. "Beginikah rasanya sakaratul maut itu, ya Allahhh?" Jeritku dalam hati.
Dalam keadaan yang kian buruk itu, anehnya, aku tak sedikitpun teringat dengan istri, anak-anak, dan saudara-saudaraku yang ada di Palembang. Padahal saya rutin berkirim kabar kepada mereka. Bahkan, satu jam yang lalu aku masih sempat berkirim WA kepada mereka mengenai rencana kepergianku. Ya Allah...😢
Tak lama, petugas bandara itu menyelesaikan administrasi pembatalan keberangkatan dan bergegas cepat mengantarkanku ke taksi bandara. Lalu tanpa berlama-lama, aku dinaikkan ke dalam taksi dengan merangkak. Dengan tenaga yang masih tersisa, aku minta kepada sopir taksi itu untuk diantarkan ke rumah sakit Pantai Indah Kapuk. “Ini ongkosnya...” kataku sambil menyerahkan uang 100 ribu.
Setelah itu, aku tak ingat lagi apa yang terjadi selanjutnya, baik di dalam perjalanan maupun setelah tiba di rumah sakit. Aku pingsan. Aku tidak tau apa yang terjadi selama aku pingsan itu.
Menurut dokter yang merawatku, aku pingsan kurang lebih selama 12 jam, hingga aku terbangun sekitar jam 2 siang, dan di hadapanku sudah berdiri 3 orang yang sangat kukenal, yaitu: istriku, anak bungsuku, dan rekan sekantor sekaligus sahabat terbaikku Sugianto.
12 jam pingsan di dalam taxi dan di rumah sakit membuatku serasa mengalami peristiwa kematian. Di kemudian hari, lamat-lamat aku masih mengingat bahwa selama pingsan aku seperti mendengar percakapan dan kepanikan orang-orang yang tengah menolongku di rumah sakit saat itu. Tetapi aku hanya diam dan tak mampu berbicara.
Di awali saat aku diturunkan dari taxi, masuk ke rumah sakit, di bawa dengan tandu darurat, dibawa ke ruang gawat darurat, di periksa di ruang CT Scan, dan pemeriksaan menggunakan mesin-mesin lainnya. Aku merasa seperti tengah menyaksikan sebuah episode kehidupan yang tak mampu ku ungkapkan.
Aku menangis. Hari itu untuk pertama kalinya aku menyandang status sebagai penderita stroke hemoragik. Sebuah stroke yang menyerang pembuluh darah di otak sehingga pembuluh darah tersebut pecah dan merusak area otak di sebelah kiri yang berfungsi mengatur (salah satunya) kerja memori dan aktivitas tubuh sebelah kanan.
Seluruh tubuhku sudah dipenuhi dengan berpuluh kabel dan selang yang terhubung dengan berbagai alat elektronik. Dan hari itu, seluruh tubuhku mulai terdiam, kaku, dan membisu. Ragaku yang kemarin begitu gagah dan bersemangat, hari itu nampak kuyu dan kehilangan banyak ingatan. Aku lupa siapa aku.. Ya, aku lupa siapa aku😢
Indaralaya, 22 Maret 2020