Sekembalinya dari toilet, ‘masalahku’ nampaknya kian menjadi. Berkali-kali permen Hexos yang akan kumakan terlepas dari jari jemariku. Dalam hati aku berkata, “waduh, jangan-jangan aku akan terkena stroke, nih" pikirku sambil mengingat kejadian stroke yang pernah menimpa kakak tertuaku. “Aku kayaknya bakal kena stroke nih, pak” Kataku cemas dengan suara yang lirih dan pelo kepada pak Agam.
Pak Agam agak sedikit kaget mendengar ucapanku. “Di sini ada klinik kesehatan nggak pak ya? Saya mau kesana aja” Kataku. Lalu dengan sigap pak Agam mencari informasi tentang klinik tersebut. Tak lama, pak Agam membawa petugas bandara beserta kursi roda karena aku sudah mulai limbung dalam berjalan.
Segera aku menaiki kursi roda dengan ditemani seorang petugas bandara dan pak Agam. Perjalanan ke klinik kesehatan bandara kurasakan begitu lambat dan lama. “Tolong mas, bisa dipercepat lagi nggak jalannya, perasaanku tidak enak nih?” pintaku ke petugas bandara yang mendorong kursi rodaku. “Baik pak..” jawabnya singkat.
Lebih kurang 5 menit perjalanan, aku tiba di klinik. Kusampaikan keluhanku. Lalu dengan sigap salah satu petugas mengukur tensiku, dan ternyata tekanan darahku sangat tinggi yakni 180/140.
“Darah bapak sangat tinggi. Karena itu kami melarang bapak untuk terbang malam ini. Melihat indikasinya, bapak sepertinya terkena serangan stroke” terang petugas itu. Aku terkesiap. Sepanjang hidupku aku tidak pernah memiliki tekanan darah yang begitu tinggi dan membayangkan bakal terkena stroke, sementara tubuhku mulai terasa lemah dan tiada berdaya.
“Tapi, kira-kira saya bisa terbang nggak ya pak? Di pesawat nanti sayakan bisa tidur dan istirahat” aku mencoba menawar. “Saya tetap tidak menyarankan bapak untuk terbang. Lagipula, stroke itu biasanya menyerang orang saat menjelang subuh. Kalau bapak tetap terbang malam ini dan terkena stroke, bapak sendiri yang akan repot. Sedangkan bapak masih dalam perjalanan dan bisa dipastikan bapak sudah di luar negeri” jelas petugas itu. "Hmm.. sebuah penjelasan yang masuk akal", pikirku.
Setelah mendengar penjelasan petugas itu, akhirnya aku berkata, “Baiklah, kalau begitu saya tidak berangkat saja. Pak Agam, silahkan bapak berangkat dan sampaikan pada ibu Kepala Biro SDM kalau saya nggak jadi berangkat. Biarlah urusan disini saya urus sendiri” kata saya kepada pak Agam yang saat itu menemani saya.
Pak Agam tidak banyak berkata, sepertinya ia tidak tahu harus berkata apa tentang keputusan saya yang mendadak ini. Wajar saja, saya dan beliau adalah orang yang sejak awal bertanggungjawab mengurus keberangkatan ini, baik ke Inggris maupun ke Australia.
Selepas pak Agam pergi, kondisi saya semakin memburuk. Seluruh badan di sebelah kanan saya mulai tidak ada rasa dan bibir rasanya kian berat.
“Ya Allah, apakah aku mau meninggal?” kataku dalam hati. Lalu dengan tenaga yang masih tersisa, aku minta diantarkan ke rumah sakit terdekat. “Rumah sakit yang terdekat dengan bandara ini, rumah sakit apa pak?” tanyaku pada petugas bandara yang saat itu menemaniku. “Rumah sakit Pantai Indah Kapuk..” jawabnya singkat. “Kalau begitu, tolong pesankan saya taksi dan tolong diantarkan ke rumah sakit, ya pak” pintaku. “Baik pak..” kata petugas itu singkat. Aku tidak lagi berpikir, kalau dikemudian hari aku baru mengetahui kalau biaya berobat di Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk itu sangat tinggi dan tidak menerima BPJS.
Setelah itu, petugas tersebut langsung mendorong kursi roda yang kunaiki. Sepanjang jalan menuju keluar bandara, perlahan tapi pasti tubuhku mulai mati rasa. Sudah tidak terasa lagi tulang-tulang yang menyangga tubuhku. “Ya Allah, Subhanallah, Laillaaha illallah, Allah akbar.....” kalimat ini terus kuucapkan ditengah badanku yang kian limbung dan kehilangan rasa serta kepalaku yang terasa berputar hingga 180 derajat.