Sejak lama, industri perbukuan Indonesia kurang tertantang menerbitkan buku kumpulan puisi. Â Kalau pun terbit, sebagian besar adalah karya pujangga ternama, dari dalam maupun luar negeri. Alasannya jelas terbaca, buku kumpulan puisi tertatih-tatih penjualannya dan cenderung menumpuk di gudang.Â
Kondisi ini tentu kurang menggembirakan bagi  penyair. Apalagi jumlah pegiat puisi setiap tahun terus bertambah. Dan mereka senantiasa berharap bisa menerbitkan buku kumpulan puisi mereka. Seperti halnya penyanyi yang belum merasa lengkap jika belum merilis album rekaman.
Tak bisa tinggal diam dengan fakta tersebut, beberapa institusi mencoba tetap membakar gairah para pegiat puisi dengan menggelar agenda sayembara buku puisi. Salah satunya Yayasan Hari Puisi Jakarta yang setiap tahun mengadakan sayembara buku puisi pada bulan Oktober. Bahkan tahun ini hadiah totalnya mencapai Rp100.000.000.
Tahun lalu menjelang sayembara itu digelar, saya sempat mendapat kiriman buku kumpulan puisi  sejumlah penyair muda dari berbagai daerah.  Mereka mengaku termotivasi berperan serta dalam ajang itu tidak hanya mengejar hadiahnya, tapi juga memperkuat eksistensi mereka. Mereka juga mengaku harus mengeluarkan kocek sendiri karena menerbitkan  melalui penerbit-penerbit indie. Sungguh suatu ghirah yang besar.
Lantaran penerbit indie sulit masuk ke jaringan toko buku besar, penjualan buku pun dilakukan secara door to door, melalui penjualan daring, dan tidak sedikit yang akhirnya semata untuk tukar menukar buku dengan penyair lainnya.
Kumpulan Buku Puisi Laris
Benarkah buku kumpulan puisi sama sekali tidak bisa mencetak bestseller?
Tahun lalu saya terhenyak melihat sebuah buku kumpulan puisi berada di rak buku laris. Buku itu berjudul  Tidak Ada New York Hari Ini karya M. Aan Mansyur. Secara tampilan kemasan, buku ini memang punya magnet tersendiri. Penulisnya juga sudah dikenal banyak orang, terutama karena karyanya banyak dikutip di media sosial. Ditambah lagi, buku ini terkait dengan film laris Ada Apa dengan Cinta 2.
Saya tidak tahu berapa jumlah penjualan buku puisi itu. Tapi dengan melihat banyaknya ulasan di Internet, serta kalangan muda yang memiliki buku itu, saya yakin buku tersebut benar-benar laris dan berhasil mematahkan mitos buku kumpulan puisi tidak akan pernah bisa masuk rak bestseller di toko buku.
Kemudian saya juga melihat pergerakan buku puisi yang laris di kalangan penerbit indie. Meskipun jenis bukunya bukan melulu  murni kumpulan puisi –karena disertai cerita pendek dan essai—tapi mampu membuat  saya kagum.
Salah satunya adalah buku karya Panji Ramadhan yang memiliki akun Melody Dalam Puisi di Instagram. Â Bukunya dalam sesi pre-order saja berhasil terjual 5.000 eksemplar. Sudah angka yang hebat untuk buku jenis apapun di Indonesia.
Kenyataan ini membuat saya sebagai seorang editor ingin meraih keajaiban juga dari buku kumpulan puisi. Awal tahun ini, tim saya berhasil mendapatkan naskah kumpulan puisi karya Prilly Latuconsina. Februari lalu kami menerbitkan dengan judul 5 detik dan Rasa Rindu. Pada sesi pre-order, hampir 1.000 orang yang membeli. Lalu, buku itu sudah cetak ulang ketiga dalam waktu dua bulan saja.
Minggu lalu saya melihat beberapa remaja asyik membaca dan membahas buku kumpulan puisi karya penulis novel Tere Liye bertajuk, Dikatakan Atau Tidak Dikatakan Itu Tetap Cinta.Saya tersenyum. Â Jika sebuah buku sudah dibicarakan di kalangan remaja, artinya buku itu sudah sukses di pasaran.
Jangan Menyerah
Ada saja cibiran orang ketika buku kumpulan puisi laris di toko buku. Buku Aan Mansyur dibilang mendompleng film laris. Padahal, bagaimana mungkin produser film itu akan menggaet  Aan Mansyur jika sebelumnya tidak tahu kualitas karyanya, bukan?
Buku Prilly laris dianggap karena dia seorang artis dengan banyak followers di Instagram. Padahal, banyak sekali artis di Indonesia dan follower Instagramnya lebih banyak dari pada Prilly. Â Tapi saya tidak yakin mereka bisa menulis puisi seperti Prilly, dan bahkan mencetak angka penjualan yang tinggi dalam waktu singkat.
Toh, Panji Ramadhan tidak digaet produser film dan bukan artis pun bisa menghasilkan karya yang laris. Tentu saja dengan upaya yang pantang menyerah. Langkah Panji ini bukanlah hal yang gampang diolakukan. Dia membuat video-video puisi dengan apik, membuat viral, mengumpulkan followers dari puluhan hingga akhirnya lebih dari satu juta. Â Mampukah para penyair muda melakukan hal ini?
Dalam beberapa forum yang saya isi tentang kepenulisan, saya berulang kali berkoar-koar, agar para penulis (termasuk penulis puisi) agar menyasar juga media sosial untuk membranding diri. Karya mereka bisa ditampilkan agar khalayak makin mengenal. Cara mengemas karya mereka juga harus serius dan beragam sehingga netizen dengan senang hati menyebarkannya.
Beberapa mengikuti  saran saya, tapi hampir semuanya patah arang. Padahal salah satu kunci untuk sukses adalah pantang menyerah. Itu yang saya yakini.
Berikut saya sarankan beberapa langkah untuk penyair (terutama yang muda) agar bisa menerbitkan buku kumpulan puisinya dan laris.
Pertama, buatlah karya puisi yang berkualitas. Tidak ada salahnya melihat jenis puisi yang disukai pembaca. Untuk saat ini, puisi yang disukai adalah yang bisa bikin baper (terbawa perasaan). Â Puisi-puisi pendek sejenis epigram, bisa dibuat untuk media sosial seperti Twitter atau Instagram.
Kedua, terus konsisten menulis puisi lalu publikasi melalui media sosial dengan berbagai cara dan multipalform. Buatlah desain menarik untuk tampilannya. Jika gaptek, bisa gunakan berbagai aplikasi yang tersedia, bahkan gratis. Â Untuk ini memang memerlukan waktu. Tapi apalah artinya waktu dan biaya jika itu memang merupakanpassion kita.
Ketiga, Â tunjukan kemampuan membaca puisi di berbagai kegiatan. Tidak perlu menunggu diminta. Biasakan untuk mengajukan diri. Sehingga lebih banyak orang tahu citra kepenyairan kita. Ikuti juga komunitas dan kegiatan terkait sastra puisi.
Keempat, ikuti ajang lomba menulis dan membaca puisi baik tingkat lokal maupun nasional. Menjadi juara sebuah lomba bisa menjadi loncatan besar dalam pencitraan. Apalagi yang sekalanya nasional.
Kelima, terus ikuti perkembangan perbukuan nasional. Apalagi buku puisi. Jadilah pembeli dan penikmat buku puisi  karya penyair lainnya, agar saat menerbitkan buku kumpulan puisi juga bisa ikut merasakan ruh pembaca.
Keenam, carilah lembaga-lembaga bantuan yang bisa mendukung pembiayaan penerbitan buku kumpulan puisi. Salah satu yang pernah saya baca adalah ford Foundation.
Ketujuh, terus jalin ikatan dengan followers di media sosial dengan rajin berinteraksi. Jadikan mereka sahabat, bukan penggemar. Karena penggemar bisa lari menggemari yang lain.
Kedelapan, jika memiliki talenta lain akan lebih baik. Misalnya bisa menyanyi atau bermain alat music. Buatlah video-video musikalisasi puisi. Jika bisa sulap, buatlah video sulap sambil berpuisi, atau jika menari, cobalah menarikan karya-karya puisi. Puisi sangat bisa digabungkan dengan media kreasi lainnya.
Kesembilan, carilah penerbit yang benar-benar mau memperhatikan pengemasan buku kumpulan puisi secara menarik. Bukan hanya melayout teks puisi, tapi benar-benar mendesain secara keseluruhan sehingga menarik secara visual.Â
 Masih ada langkah yang bisa saya berikan. Tapi cobalah dulu delapan hal di atas secara konsisten selama setahun saja. Jika belum juga bisa menghasilkan buku puisi yang kemudian laris, segera hubungi saya. Sepertinya kita memang perlu ngobrol dan ngopi .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H