Sudah rahasia umum jika tambang selalu identik dengan perusakan alam. Anehnya, masih saja ada yang mengeksploitasisi isi bumi ini tiada henti. Padahal kebanyakan jenis tambang merupakan energi yang tidak terbarukan, artinya akan habis. Lantas, orang tambang akan berkata bahwa tambang adalah untuk kehidupan manusia juga. Benarkah? Apakah manusia tidak bisa hidup tanpa tambang?
Saya mendapatkan jawaban pertanyaan di atas ketika mendatangi acara Kompasiana Nangkring dengan tema Tambang Untuk Kehidupan di Museum Geologi Bandung, beberapa waktu lalu. Acara nangkring dibuka dengan penayangan film dokumenter Sang Perintis yang memaparkan sejarah Museum Geologi, dilanjutkan pengantar dari Kepala Museum geologi Ir. Oman Abdurahman, M.T. sehingga peserta tahu benar bahwa tempat yang dijadikan lokasi hajatan Kompasiana di Bandung kali ini terkait erat dengan dunia pertambangan.
Pada awal presentasi pembicara kedua, sebuah gambar bayi terpampang di layar memberi informasi demikian banyaknya jumlah mineral yang dibutuhkan oleh manusia selama hidupnya. Tentu saja mineral itu harus ditambang untuk mendapatkannya. Menurut Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Ir. Sukmandaru Prihatmoko, M.Sc. sangat sulit untuk menghindari tambang dari kehidupan di masa kini. "Tambang untuk kehidupan itu bisa untuk peradaban manusia dan aksesoris," jelasnya.
Bahkan sejak masa Firaun, emas sudah ditambang sebagi bahan aksesoris. Dan saat ini peradaban bisa berkembang karena tambang. "Kalau tidak ada tambang berarti kita akan selamanya hidup di zaman batu," jelas Sukmandaru.
Melihat gambar bayi itu, saya coba mengurai bahan mineral apa yang saya pakai sejak bangun tidur. Oke, saya tidur saja di atas ranjang dari besi. Lalu mandi dengan peralatan mandi yang semua mengandung mineral. Mulai dari sabun sampai showernya. selanjutnya, saya makan menggunakan piring berbahan mineral, juga ke luar rumah menggunakan mobil yang pastinya mengandung berbagai jenis bahan tambang, termasuk bahan bakarnya. Jangan tanya lagi materi mineral di handphone dan kamera yang saya bawa.
Tentu saja saya tidak mau semuanya berubah. Tiba-tiba saya berpakaian dari kulit harimau, berjalan kaki ke mana-mana. Lebih parah lagi tanpa handphone dan alat elektronik lainnya.Jika ada yang meminta saya kembali ke zaman batu, maka saya akan menolak dengan suara nyaring. Sampai tahap ini saya setuju bahwa mineral bermanfaat untuk kehidupan. Tapi apakah bahan-bahan mineral itu harus ditambang?
"Di bawah gunung berapi itulah ada proses mineral berharga. Bagi kita gunung berapi merupakan bencana alam, tapi dibalik itu banyak manfaatnya," jelas Sukmandaru. Jadi, Indonesia meruapakan negara kaya raya dengan mineral karena berada di jalur Ring of Fire. "Dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, sampai Papua memiliki potensi mineral berharga."
Saya manggut-manggut sampai di sini karena semakin mengerti ihwal tambang. Tapi pertanyaan saya berikutnya adalah, mengapa harus sampai merusak lingkungan, membuka hutan, bahkan mengeruk bukit?
Dr.-Ing., Ir., Aryo Prawoto Wibowo, M.Eng selaku Ketua Pusat Riset Unggulan Kebijakan dan Keekonomian Minerba FTTM ITB mengiyakan bahwa orang tambang itu perusak. "Tapi memang itulah caranya membuka tambang. Bahan tambang adanya di daerah pegunungan, sehingga mau tidak mau harus membuka hutan," kata Aryo Prawoto. "Ingat juga, bahwa orang tambang bisa mempercantik kawasan eks tambang."
Soal mempercantik bekas lahan tambang itu saya percaya lantaran saya pernah ke bekas tambang PT Newmont Minahasa Raya yang kini sudah berubah menjadi bukit cantik nan hijau. Walaupun kenyataannya banyak juga saya lihat di Internet bekas tambang yang berantakan. Mungkin benar seperti yang dikatakan Aryo Prawoto bahwa nilai investasi industri tambang sangat besar. Bukan hanya pada tahap eksplorasi saja, tapi juga saat kontrak kerja berakhir harus menutupnya dengan sebaik mungkin.
Bisa dipastikan perusahaan yang sembarangan menutup tambangnya hanya memiliki investasi terbatas atau benar-benar menutup mata terhadap good mining practise. Good mining practise sendiri merupakan kegiatan pertambangan yang menaati aturan, terencana dengan baik, menerapkan teknologi yang sesuai yang berlandaskan pada efektifitas dan efisiensi, melaksanakan konservasi bahan galian, mengendalikan dan memelihara fungsi lingkungan, menjamin keselamatan kerja, mengakomodir keinginan danpartisipasi masyarakat, menghasilkan nilai tambah, meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan masyarakat sekitar serta menciptakan pembangunan yang berlanjutan.
“Tambang memang mengubah bentang alam. Jadi harus diperbaiki setelahnya,” tegas Aryo Prawoto. Maka tidak heran jika di dunia tambang dikenal pula istilah manajemen tanah. Salah satu manajemen tanah misalnya adalah menentukan tanah paling subur agar tidak digarap sembarangan. “Orang tambang itu sebenarnya sangat disiplin karena banyak aturannya.”
Kurang Informasi, Masyarakat Jadi Alergi
Film dokumenter ini dibuka dengan sebuah ekspedisi pendakian di pegunungan tengah Papua yang ditutup gletser oleh ahli geologi minyak bumi dari Belanda bernama Jean Jacques Dozy pada tahun 1930. Dozy menemukan apa yang kemudian dikenal sebagai endapan tembaga terbesar di dunia yang berada di atas permukaan tanah.
Endapan tembaga tersebut baru benar-benar diteliti pada tahun 1960 ketika Kepala Bagian Geologi Freeport Sulphur Company Forbes Wilson mengadakan ekspedisi ke sana. Endapan tembaga Erstberg yang terletak di atas sekitar 12.000 kaki di atas permukaan laut mengandung lebih dari 30 juta ton tembaga kadar tinggi.
Tantangan besar berikutnya adalah membangun prasarana untuk menggarap endapan nun jauh di sana. Maka sebuah tim terdiri atas pereka teknik, pekerja konstruksi dan karyawan pembantu lainnya menembus rawa-rawa hutan bakau serta hutan tropis menuju pegunungan tinggi.
Mulai dari kontruksi fasilitas pelabuhan dekat laut Arafura hingga ke area tambang, dan pabrik di Pegunungan Jayawijaya. Bahkan jalan harus dibangun dari dataran rendah ke pegunungan untuk mengangkut karyawan dan ribuan ton materi untuk operasi tersebut.
Pada titik mil 68 dibangun sebuah kota Tembagapura yang didiami karyawan dan keluarga mereka sebagia pusat komando pengoperasian. Pada tahun 1972 rampunglah semua pekerjaan pembangunan pabrik dan fasilitas untuk mulai penambangan. Pada Desember 1972 untuk pertama kalinya pengapalan konsentrat tembaga dari Pelabuhan Amamapare.
Pada tahun 1973, Presiden Soeharto kemudian meresmikan pengoperasian Erstberg sebagai perintis penanaman modal asing di Indonesia.
Terus terang saya sempat merinding juga melihat visualisasi masa awal pembangunan PTFI. Melihat bagaimana alat-alat kontruksi dibawa memakai helikopter, termasuk matabor raksasa pertama yang akan digunakan di sana. Tentu saja seiring waktu berjalan, daerah pertambangan maupun sekitarnya sudah jauh berkembang saat ini. Itu bisa dilihat oleh saya di website PTFI. Dan orang selalu melihat PTFI saat ini sebagai perusahaan tambang yang enak dan modern.
Saat ini berdasarkan Kontrak Karya (KK) MOU 25 Juli 2014, PTFI memiliki luas 212.950 hektar yang akan dikurangi menjadi 90.360 hektar, termasuk blok eksplorasi. Dari ketenagakerjaan per Desember 2015 PTFI telah menyerap tenagakerja sebanyak 32.416 baik karyawan PTFI maupun kontraktor. Dari 12.085 karyawan, komposisi non Papua mencapai 7.612 orang, asli Papua 4.321 orang, dan pekerja asing 152 orang.
Sejak tahun 1996 PTFI berkomitmen untuk melipatgandakan jumlah karyawan asli Papua yang memegang posisi manajemen strategis. Saat ini enam Vice President adalah asli Papua, sedangkan level manajer dan karyawan level senior terdapat 40 orang asli Papua.
Bahkan PT FI menyiapkan Papuan Bridge Program untuk membimbing sarjana baru Papua agar lebih siap bekerja di perusahaan. Program ini berdurasi selama tiga bulan dan sudah dimulai sejak 2012.
Jika dikaitkan dengan tambang untuk kehidupan, PTFI juga bisa dijadikan contoh. Bukan dalam pemanfaatan hasil tambangnya saja, tapi juga bisnis industrinya yang mensupport pergerakan ekonomi di Papua.
Menurut kajian LPEM-UI operasi PTFI di papua dan Indonesia pada tahun 2013 telah berkontribusi kepada PDB Indonesia sebasar 0,8%, PDRB Provinsi Papua sebasar 37,%%, dan PDRB Mimika sebesar 91%. PTFI juga berkontribusi di bidang kesehatan, pendidikan, hingga infastruktur.
Jika memang tambang begitu banyak manfaatnya, mengapa masih saja banyak orang alergi dengan kata tambang? Ketiga pembicara utama di acara nangkring sepakat menjawab bahwa edukasi kepada masyarakat tentang pertambangan masih minim. Tentu saja edukasi tambang tidak hanya melalui kurikulum sekolah. Bisa juga dari industri tambang langsung kepada netizen yang diajak ke acara nangkring seperti ini maupun diajak langsung melihat tambang. Nanti netizen (baca : Kompasianer) akan membantu menyebarkan informasi ke khalayak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H