Mohon tunggu...
Benny Rhamdani
Benny Rhamdani Mohon Tunggu... Novelis - Kreator Konten

Menulislah hal yang bermanfaat sebanyak mungkin, sebelum seseorang menuliskan namamu di nisan kuburmu. | Subscribe YouTube @bennyinfo

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Serunya Tea Adventure di Perkebunan Malabar

23 Februari 2016   13:43 Diperbarui: 23 Februari 2016   14:31 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Mumpung di kebun teh Malabar, jangan lewatkan sesi foto-foto. (Foto: Benny Rhamdani)"][/caption]Sumpah, kedua orang di foto itu bukan saya. Siapa mereka? Sebenarnya saya sudah menuliskan panjang lebar siapa mereka. Tapi tulisan yang sudah rampung mendadak raib ketika saya memasukkan foto di draft. Ketimbang ngomel-ngomel ke admin atau banting kibor, saya coba bercerita lagi deh dari awal. 

Saya bangun menjelang azan subuh, pada hari Minggu, 21 Februari 2016. Saya perlu mengumpukan nyawa dulu beberapa detik sebelum akhirnya sadar bahwa saya berada di kamar 1009 Best Western Premier La Grande Bandung. Room mate saya, Hilman Nugraha, sudah bangun sebelum saya.   

Karena rencananya akan berangkat ke Perkebungan Malabar, Pengalengan, Kabupaten Bandung, dan harus siap pukul 06.00, saya sarapan di Parc de Ville pukul 05.30. Masih sedikit yang hadir. Alamat deh, berangkatnya bakal ngaret. Dan ternyata memang kami baru berangkat meninggalkan hotel pukul 07.15.

 

Pabrik Teh Tua Malabar  

[caption caption="Pabrik teh Malabar yang tampak seadanya. (Foto: Benny Rhamdani)"]

[/caption]Lebih dari dua jam perjalanan yang ditempuh menuju lokasi. Hari Minggu memang jalur Bandung Selatan relatif lebih padat lantaran banyak wisatawan, baik dengan kendaraan pribadi, angkutan umum, motor roda dua, bahkan sepeda. Betapa leganya ketika akhirnya saya tiba di Pabrik Teh Malabar --dulunya bernama Pabrik Tanara--  yang didirikan tahun 1905 dan dikenal memproduksi teh dataran tinggi berkualitas baik . Pabrik yang kini berdiri merupakan pengganti dari pabrik pertama yang hancur pada Perang Dunia II.

Oh iya, ngomongin nama 'malabar' saya juga bingung asal-usulnya dari mana. Dalam bahasa Sunda tidak ada. Tapi kala browsing saya menemukan dua arti. Orang Prancis mengartikannya pria berotot. Jelas susah sekali nyambungnya. Tapi di di India terdapat sebuah daerah perbukitan bernama Malabar, di sekitar Kerala. Mungkin nama ini diadopsi dari sana. Ah, lupakan!

Kompasianer diajak masuk ke pabrik, dan mendapatkan ruangan luas dengan foto-foto tempo dulu di dinding. Saya mendadak melankolis melihat semua foto itu. Betapa keindahan tanah priangan di ketinggian 1550 dpl ini sudah tampak sejak dulu kala.

Kami kemudian diajak  naik menuju tangga. Yup. Kompasianer memang tidak diperkenankan ke ruang produksi langsung. Jadi harus menelusuri rel  di ketinggian, melihat ruang produksi di bawah serta para pekerjanya. Disertai gemuruh mesin pabrik, saya mendengarkan penjelasan tentang produksi teh sebisanya.

Awal produksi dimulai dari daun teh yang harus melewati proses pelayuan sekitar 18 jam di tempat berbentuk persegi panjang bernama withered trough. Setiap empat jam daun teh dibalik untuk menghilangkan kadar air sampai dengan 48%. Daun-daun teh  layu kemudian dimasukkan ke dalam gentong dan diangkut menggunakan monorel ke  ke mesin penggilingan. Setelah digiling, daun teh dibawa ke tempat untuk mengayak. 

[caption caption="Foto-foto tempo dulu yangdi pajang di lobi pabrik. (reporo: Benny Rhamdani)"]

[/caption] 

[caption caption="Pak Jani menjelaskan proses produksi teh hilir dari pelayuan sampai siap kemas. Kami juga diminta mencicipi rasa teh putih yang harganya mencapai lebih dari Rp600.000 itu. Dan tentunya kami dijamu juga mencicipi teh khas Malabar. (Foto: Benny Rhamdani)"]

[/caption]Selain proses produksi, Pak Jani dari bagian quality control menjelaskan jenis-jenis teh. Ada teh putih yang harganya selangit, sampai teh yang merupakan bubuk batangnya, bukan lagi bagian pucuk daun. Kandungan oksidan menentukan kualitas teh, tentu saja ditambah rasa dan aromanya.

Hal yang paling saya ingat adalah ketika Pak Jani  menerangkan fakta, bahwa teh kualitas terbaik hanya untuk tujuan ekspor. Masyarakat Indonesia rata-rata hanya mengonsumsi teh kualitas dua atau bahkan tiga. "Setelah diekspor teh itu dikemas di luar negeri dan kemudian diimpor kembali ke Indonesia," imbuhnya miris.

 

Mengenang Bosscha 

[caption caption="Ziarah ke pendiri Perkebunan Malabar, Bosscha. (Foto: Benny Rhamdani)"]

[/caption]Usai mendapat kuliah tentang proses teh, kompasianer diajak mengunjungi makam Bosscha. Siapa dia? Saya sih ingatnya hanya astronom yang mendirikan observatorium di Lembang. Ternyata bukan itu saja.

Karel Albert Rudolf Bosscha yang lahir di Den Haag, Belanda, 15 Mei 1865  dan meninggal di Malabar Bandung,  26 November 1928 pada umur 63 tahun ini merupakan orang Belanda yang peduli terhadap kesejahteraan masyarakat pribumi. Pada bulan Agustus 1896, Bosscha membangun Perkebunan Teh Malabar. Pada tahun 1901 Bosscha juga mendirikan sekolah dasar bernama Vervoloog Malabar. Sekolah ini didirikan untuk memberi kesempatan belajar secara gratis bagi kaum pribumi Indonesia, khususnya anak-anak karyawan dan buruh di perkebunan teh Malabar agar mampu belajar setingkat sekolah dasar selama empat tahun. Pada masa kemerdekaan Indonesia, nama sekolah ini berubah menjadi Sekolah Rendah, kemudian berubah lagi menjadi Sekolah Rakyat. Dan diganti lagi menjadi Sekolah Dasar Negeri Malabar II hingga saat ini.

Bosscha meninggal saat menunggang kuda mengawasi perkebunan lalu terjatuh dari kuda. Kakinya terluka dan terkena tetanus. Lantaran cintanya yang dalam banget kepada Malabar, Bosscha minta agar jasadnya disemayamkan di antara pepohonan teh di Perkebunan Teh Malabar. 

Jujur saja, saya jadi teringat ketika di sekolah diajarkan menanamkan rasa tidak suka kepada orang belanda yang datang saat itu. Mereka semua dianggap penjajah. Hm, kalau Bosscha ini bagaimana ya?

Tea walk Seru

[caption caption="Berjalan kaki sambil belajar tentang alam. (Foto: Benny Rhamdani)"]

[/caption]Sesuai agenda Kompasianer diajak menelusuri kebun teh. Kami tetap semangat meskipun tengah hari. Untungnya matahari cukup bersahabat jadi suasana tetap seru.

Banyak hal baru yang diketahui tentang tanaman teh saat teawalk. Saya baru tahu jika pucuk teh kini tidak dipetik manual oleh ibu-ibu lagi, melainkan alat pemotong. Padahal di iklan teh di TV masih ditayangkan dipetik pakai tangan. Saya juga baru tahu pohon teh bisa dipetik pertama kali setelah tiga tahun tumbuh.

Saat paling seru ketika tea walk adalah begitu sampai di area yang ditumbuhi pepohonan teh dengan tinggi lebih dari tiga meter. Itulah lokasi awal dibukanya perkebunan teh Malabar. Pepohonan itu sudah berusia lebih dari seratus tahun tentunya. Dan memang biasanya dulu ada beberapa pohon teh yang dibiarkan tinggi untuk diambil bijinya. Berbeda dengan sekarang yang membudidayakan teh secara stek, teh pada masa lampau dibudidayakan dengan biji. Tentunya kualitas pohon pun lebih baik dengan biji.

Karena lokasinya sangat hijau dan langit masih kebiruan, kompasianer juga tidak lupa melakukan aksi jepret sana jepret sini. Nah sekalian saja, sebenarnya siapa sosok foto di atas tadi? Silakan yang bisa menjawab, ketik saja di kolom komentar ya.

[caption caption="Ke tempat cantik begini, apa lagi kalau bukan foto-foto. (Foto: Benny Rhamdani)"]

[/caption]Acara tea adventure ditutup dengan makan siang di Rumah Bosscha. Seru juga makan nasi liwet sambil membayangkan kehidupan juragan teh kala itu. Dan sambil bagi-bagi hadiah, saya menikmati hidangan teh Malabar yang begitu nikmat. Mungkin saya akan kembali lagi mengajak keluarga ke tempat ini. Juga mengajak keluarga menginap di Best western Premier  La Grande Hotel tentunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun