Mohon tunggu...
Benny Rhamdani
Benny Rhamdani Mohon Tunggu... Novelis - Kreator Konten

Menulislah hal yang bermanfaat sebanyak mungkin, sebelum seseorang menuliskan namamu di nisan kuburmu. | Subscribe YouTube @bennyinfo

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Serunya Tea Adventure di Perkebunan Malabar

23 Februari 2016   13:43 Diperbarui: 23 Februari 2016   14:31 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pak Jani menjelaskan proses produksi teh hilir dari pelayuan sampai siap kemas. Kami juga diminta mencicipi rasa teh putih yang harganya mencapai lebih dari Rp600.000 itu. Dan tentunya kami dijamu juga mencicipi teh khas Malabar. (Foto: Benny Rhamdani)"]

[/caption]Selain proses produksi, Pak Jani dari bagian quality control menjelaskan jenis-jenis teh. Ada teh putih yang harganya selangit, sampai teh yang merupakan bubuk batangnya, bukan lagi bagian pucuk daun. Kandungan oksidan menentukan kualitas teh, tentu saja ditambah rasa dan aromanya.

Hal yang paling saya ingat adalah ketika Pak Jani  menerangkan fakta, bahwa teh kualitas terbaik hanya untuk tujuan ekspor. Masyarakat Indonesia rata-rata hanya mengonsumsi teh kualitas dua atau bahkan tiga. "Setelah diekspor teh itu dikemas di luar negeri dan kemudian diimpor kembali ke Indonesia," imbuhnya miris.

 

Mengenang Bosscha 

[caption caption="Ziarah ke pendiri Perkebunan Malabar, Bosscha. (Foto: Benny Rhamdani)"]

[/caption]Usai mendapat kuliah tentang proses teh, kompasianer diajak mengunjungi makam Bosscha. Siapa dia? Saya sih ingatnya hanya astronom yang mendirikan observatorium di Lembang. Ternyata bukan itu saja.

Karel Albert Rudolf Bosscha yang lahir di Den Haag, Belanda, 15 Mei 1865  dan meninggal di Malabar Bandung,  26 November 1928 pada umur 63 tahun ini merupakan orang Belanda yang peduli terhadap kesejahteraan masyarakat pribumi. Pada bulan Agustus 1896, Bosscha membangun Perkebunan Teh Malabar. Pada tahun 1901 Bosscha juga mendirikan sekolah dasar bernama Vervoloog Malabar. Sekolah ini didirikan untuk memberi kesempatan belajar secara gratis bagi kaum pribumi Indonesia, khususnya anak-anak karyawan dan buruh di perkebunan teh Malabar agar mampu belajar setingkat sekolah dasar selama empat tahun. Pada masa kemerdekaan Indonesia, nama sekolah ini berubah menjadi Sekolah Rendah, kemudian berubah lagi menjadi Sekolah Rakyat. Dan diganti lagi menjadi Sekolah Dasar Negeri Malabar II hingga saat ini.

Bosscha meninggal saat menunggang kuda mengawasi perkebunan lalu terjatuh dari kuda. Kakinya terluka dan terkena tetanus. Lantaran cintanya yang dalam banget kepada Malabar, Bosscha minta agar jasadnya disemayamkan di antara pepohonan teh di Perkebunan Teh Malabar. 

Jujur saja, saya jadi teringat ketika di sekolah diajarkan menanamkan rasa tidak suka kepada orang belanda yang datang saat itu. Mereka semua dianggap penjajah. Hm, kalau Bosscha ini bagaimana ya?

Tea walk Seru

[caption caption="Berjalan kaki sambil belajar tentang alam. (Foto: Benny Rhamdani)"]

[/caption]Sesuai agenda Kompasianer diajak menelusuri kebun teh. Kami tetap semangat meskipun tengah hari. Untungnya matahari cukup bersahabat jadi suasana tetap seru.

Banyak hal baru yang diketahui tentang tanaman teh saat teawalk. Saya baru tahu jika pucuk teh kini tidak dipetik manual oleh ibu-ibu lagi, melainkan alat pemotong. Padahal di iklan teh di TV masih ditayangkan dipetik pakai tangan. Saya juga baru tahu pohon teh bisa dipetik pertama kali setelah tiga tahun tumbuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun