Mohon tunggu...
Benny Rhamdani
Benny Rhamdani Mohon Tunggu... Novelis - Kreator Konten

Menulislah hal yang bermanfaat sebanyak mungkin, sebelum seseorang menuliskan namamu di nisan kuburmu. | Subscribe YouTube @bennyinfo

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jurnal DRE: Apa Kabar Wisata Kalbar?

4 Februari 2016   16:01 Diperbarui: 5 Februari 2016   07:51 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Menilik pariwisata Kalbar bersama Datsun Risers Expedition. (Foto: Benny)"][/caption]"Santai saja selama mengikuti Datsun Risers Expedition ini. Anggap saja kita lagi touring."

Suara itu terdengar dari radio komunikasi di pojok kiri dashboard mobil Datsun Go yang saya kendarai. Entah suara siapa itu, pastinya menyadarkan saya agar juga menikmati wisata selama mengikuti etape tiga Datsun Risers Expedition (DRE) di Kalimantan Barat (Kalbar). Tidak sebatas fokus menjajal dan merasakan performa kendaraan modern ini, tapi juga pasang mata di setiap destinasi.

Apalagi, semua titik tujuan senantiasa berhubungan dengan obyek wisata maupun obyek potensial wisata di Kalbar. Tapi bagi saya, sekadar menyambangi lalu foto-foto, tak akan memberi manfaat apa-apa. Itu sebabnya saya berusaha memakai kacamata kritis saya untuk mengamati wisata di Kalbar meskipun dari pandangan sekilas.

Pontianak; Tugu Equator, Masjid Tua, Istana Kayu, Lapak Oleh-oleh dan Museum Provinsi

Obyek wisata yang dikunjungi Tim DRE di Kalbar pertama kali adalah Tugu Khatulistiwa di Jalan Khatulistiwa. Kendaraan harus diarahkan lebih dulu  sekitar tiga kilometer dari kota Pontianak  ke arah Mempawah. Dua jembatan penjang pun harus kami lewati untuk menyeberangi Sungai Kapuas dan Sungai Landak.

Sejujurnya, saya tidak tahu kapan akan tiba di ikon kota Pontianak yang saya kenal lewat pelajar Ilmu pengetahuan Sosial di bangku Sekolah Dasar tersebut. Sebab hanya satu atau dua rambu yang saya lihat yang membantu wisatawan  mengarah ke tugu yang mulai dibangun pada tahun 1928 itu. Bisa dibayangkan jika saya mengendarai sendiri di Pontianak tanpa ikut DRE, pasti akan bolak-balik bertanya di jalan atau membuka GPS.

Tiba di halaman parkir yang belum tertata rapi, saya sempat berpikir, seperti inikah tempat yang diimpikan anak-anak SD di seluruh Indonesia? Terlalu sederhana dari luar, dan tak jelas konsepnya. Apa mungkin karena penggagasnya orang Belanda, sehingga tidak jelas arah pengembangannya?

[caption caption="Melipir ke Tugu Khatulistiwa yang asli ada di dalam. (Foto: Benny)"]

[/caption]

Saya kemudian memasuki ruangan yang lebih menyerupai museum display sejarah Tugu Khatulistiwa. Dari sinilah saya mulai memahami tahapan yang telah dilakukan dengan tugu ini, mulai pertama dibangun tahun 1928 yang hanya berbentuk tonggak dengan anak panah, hingga  direnovasi dengan pembuatan kubah untuk melindungi tugu asli serta pembuatan duplikat tugu dengan ukuran lima kali lebih besar dari tugu yang aslinya.   Bagunan yang saya lihat sekarang merupakan peresmian renovasi pada tanggal 21 September 1991.

Hampir semua informasi yang ditampilkan menarik perhatian saya sebagai peminat sejarah dan geografi. Tapi pengemasannya masih terlalu biasa di era digital dan plasma seperti saat ini. Memang butuh dana yang tidak sedikit untuk memperkaya konten dan mempercantik display materi.

[caption caption="Atraksi Menegakkan telur ayam yang bikin penasaran. (Foto: Benny)"]

[/caption]

Beruntung saya terhibur dengan atraksi yang dilkukan perempuan petugas Tugu Khatulistiwa bernama Bu Sutami. Kendati pada awalnya tak ada yang mendengarkan celotehnya karena bicara tanpa pengeras suara, tiba-tiba dia mengejutkan tim DRE dengan menunjukkan sebutir telur ayam. Mau didadarkah? Bukan atuh.

Bu Sutami membuktikan kepada tim DRE keistimewaan area Tugu Khatulistiwa lantaran memiliki medan magnet yang berbeda dan berpengeruh kepada gaya gravitasi benda. Telur ayam di tangannya didirikan di atas lantai dan ... ajaib! Tidak terguliling dan menggelinding.

Tim pun mencoba. Ada yang gagal dan berhasil. Saya membayangkan jika atraksi telur ini lebih dieksplore lagi untuk pengunjung. Bahkan jika mungkin dibuatkan catatan rekor lomba mendirikan telur. Pasti seru untuk atraksi maupun publikasi. Apalagi jika pemecah rekor disyahkan dengan sertifikat.

[caption caption="Dulu, seperti ini Tugu Khatulistiwa. (repro: benny)"]

[/caption]

Ngomong-ngomong soal sertifikat, mengapa saya tidak dikasih sertifikat sesudah menginjak Tugu Khatulistiwa? Sebab beberapa teman saya yang pernah ke tugu ini bilang diberikan selembar sertifikat. Sudah habis atau memang terlupakan? Lumayan kan jika dapat sertifikat, untuk koleksi dan foto-foto di Instagram.

Oh iya, sekadar tambahan, mungkin sebaiknya di luar ataupun di dalam dibuatkan untuk pengunjung spot-spot cantik untuk foto bareng atau selfie. Bisa dengan membuat instalasi aksara maupun taman yang rapi dan hijau. Apalagi jika di luar dibuatkan menara cantik. Menurut saya tugu sepopuler ini tetap harus bersolek mengikuti kekinian.

Obyek wisata berikutnya yang singgahi Tim DRE adalah tempat berdirinya Keraton Kadriah dan Masjid Jami Sultan Abdurrahman. Khusus keraton, saya sendiri menemukan penulisan nama yang berbeda antara Kadriah, Kadariyah dan Kadriyah di lokasi maupun di internet. Saya pakai Kadriah saja karena begitu yang tertera di papan pintu masuk.

[caption caption="Seandainya papan nama ini dibuat lebih menarik. (Foto: Benny)"]

[/caption]

Sebelum memasuki tempat parkir saya sempat heran juga karena jalan menuju komplek keraton terbilang sempit. Tidak seperti kita berkunjung ke Keraton Jogja atau Istana Maimun. Malah terbilang sesak karena berdampingan langsung dengan perkampungan warga. Jadi tidak heran jika turun dari parkir saya melihat arena yang tampak tidak tertata rapi dan banyak sampah plastik berseliweran.

Untunglah saya terhibur ketika berjalan menuju ke masjid yang juga didirikan oleh pendiri kota Pontianak, yakni Syarief Abdurrahman Alkadrie. Saya melihat sungai kecil yang dipenuhi perahu dengan warna mencolok. Tentu saja jangan dibayangkan dengan jajaran gondola yang pernah saya lihat ketika pelesir ke Venesia. Tapi tetap menarik, terutama untuk santapan lensa kamera. 

[caption caption="Perahu-perahu kecil di anak sungai Kapuas sebagai sarana transportasi penduduk. (foto: Benny)"]

[/caption]

Saat menginjak masjid azan ashar berkumandang. karena saya sudah menjama shalat, saya luangkan untuk melihat arsitektur masjid yang didominasi kayu belian.  Terlihat enam pilar bundar dan enam tiang penyangga lainnya berdiri di antara shaf masjid. Tiang-tiang itu uniknya dijadikan rak menyimpan al Quran.

Tinggi tanah dan lantai masjid tampak sudah dicor menghindari efek turunnya kontur tanah. Bisa jadi sudah banyak yang berubah dari sejak berdirinya tahun 1771. Apalagi penduduk sekitar semakin padat dan meramaikan masjid. Saya melihat beberapa anak kecil bermain di teras masjid.

[caption caption="Masjid Jami Sultan Abdurrahman nan bersejarah. (Foto: Benny)"]

[/caption]

Saat meninggalkan masjid, saya berdoa agar masjid ini dijaga keasliannya oleh para jamaah karena biar bagaimanapun melekat dengan sejarah kota Pontianak.

Hal menarik dari masjid ini adalah pemandangan di depannya karena berdekatan dengan Sungai Kapuas. Anak-anak kampung berenang di sisi sungai dengan riang gembira, sementara kapal-kapal besar dan kecil hilir mudik menandakan Pontianak tak sesepi dulu. Alangkah senangnya saya, jika di sekitar anjungan juga dipenuhi pot-pot bunga maupun tanaman lainnya agar tampak lebih asri.

Berikutnya, tim berjalan kaki menuju Istana Kadriah. Berfoto bersama untuk kepentingan dokumentasi. smentara anak-anak setempat bermain sepeda di sekitar kami. Saya perhatikan di sisi jalan menuju istana. Terdapat beberapa cindera mata yang tutup.

Wuah, padahal dengan rombongan sebesar kami, jika toko itu buka, bisa mengambil beberapa lembar rupiah dari dompet kami. Bukankah sudah lumrah di setiap obyek wisata terdapat kedai-kedai penjual cendera mata? Dan lumrah pula para wisatawan menganggarkan belanja cendera mata untuk dibawa pulang.

[caption caption="Istana Kadriyah yang mengingatkan saya kepada jeruk pontianak. (foto: Benny)"]

[/caption]

Sejujurnya saya tidak mendapat wawasan mendalam di Keraton Kadriyah selain melihat istana kayu dan jejeran meriam di depannya. Apalagi kami tidak diberi kesempatan melihat-lihat ke dalam istana. Entah apa isinya. Tapi setidaknya, sebagai seorang penulis cerita anak, saya mendapat ide bahwa suatu hari nanti akan membuat kisah tentang istana kayu yang unik ini.

Usai dari kawasan bersejarah ini, tim beranjak ke kawasan wisata belanja yang disebut panitia sebagai Chinatown Pontianak. Saya tidak tahu banyak informasi tentang ini sebelumnya, sebab teman di Pontianak menyebutkan tempat belanja oleh-oleh wisatawan biasanya di PSP, Jalan Patimura.

Disebabkan kami harus memainkan satu games, saya nyaris tak sempat mengeksplorasi tempat ini. Tapi saya bisa melihat kelengkapan barang-barang yang bisa dijadikan oleh dari kedai ke kedai. Sungguh, waktunya belum tepat untuk belanja oleh-oleh di hari pertama, mengingat bagasi yang kami bawa masih penuh.

[caption caption="Sayang tak cukup waktu belanja di Chinatown. (Foto: Benny)"]

[/caption]

Di Chinatown ini, saya melihat aneka kerajinan yang didominasi khas suku dayak, serta makanan ringan dari lidah buaya sampai kue keranjang. Saya diam-diam membeli kue keranjang karena menjelang imlek, biasanya harganya lebih murah.

Pengenalan wisata di Pontianak berakhir di hari pertama. Namun pada hari keempat, menjelang kembali ke Jakarta, kami sempat berkunjung ke Museum Kalimantan Barat milik pemerintah di Jalan Jenderal Ahmad Yani. Sudah pasti tempatnya nyaman dan rapi.

Di dalam museum saya banyak sekali mendapat informasi tentang sejarah dan budaya Kalimantan lewat display koleksinya. Bagian paling menarik adalah pada pengenalan budaya Suku Dayak, mulai dari kelahiran hingga kematian. Bahkan saya sempat merinding ketika melihat manekin mayat dengan duplikasi lengkap pemakamannya. Terbayang tiba-tiba lampu museum mati dan saya ditinggal sendirian.

[caption caption="Upacara kematian di Kalimantan Barat. (Foto: Benny)"]

[/caption]

Di bagian luar juga terdapat miniatur rumah-rumah adat, juga perahu Lancang Kuning. Hal paling berkesan di museum ini adalah keramahan dan kesigapan para perugasnya memberikan informasi yang kita perlukan. Hal ini jarang sekali saya temukan di beberapa museum dipemerintah di Indonesia.

Catatan saran saya hanya sedikit untuk museum ini. Jika saja ada audio musik tiga suku besar di Kalbar, yakni Dayak, Melayu atau China keturunan di beberapa display akan lebih merasuk pengenalan budaya kepada pengunjung. Menurut saya hal itu bisa dilakukan dengan mudah.

Di Luar Pontianak; Rumah Panjang, Perbatasan, dan Jembatan Megah

Rasa penasaran saya mengenal pariwisata Kalbar kian menggebu pada hari kedua. Mengingat tim DRE akan melakukan perjalanan ke sebuah rumah adat panjang Betang di Desa Saham, Kabupaten Landak. Perjalanan melalui Mempawah sungguh menakjubkan saya. Jalan lurus dan mulus walaupun kecil menjadi teman baik di perjalanan. Berkali-kali saya ingin minta turun untuk memotret keindahan alam Kalimantan Barat, terutama langitnya yang biru memesona. Tapi ada daya, itu tak mungkin.

Setelah lima jam perjalanan, akhirnya kami bergerak perlahan masuk ke Desa Saham. Jalanan makin menyempit. Anjing dan babi berkeliaran di pinggir jalan, bahkan melintasi jalan. Dan mata saya terbelalak takjub ketika akhirnya tiba di sebuah rumah panjang yang selama ini hanya bisa saya lihat di televisi.

Di rumah sepanjang 180 meter ini saya melihat aktivitas sebagian dari 180-an jiwa penghuninya. Anak-anak berlarian di lorong dan teras yang lebarnya sekitar lima meter. Beberapa perempuan Suku dayak Kanayan mengerjakan kerajinan tangan di pojok bangunan.

[caption caption="Anak-anak Desa Saham melambaikan tangan dari Rumah Betang. (Foto: Benny)"]

[/caption]

Obyek wisata ini adalah yang paling unik karena pertama kali saya mendatangi ke rumah adat panggung tinggi. Beberapa kali sebelumnya saya pernah masuk ke ragam rumah adat, seperti  di Desa Sade maupun Rumah Limas, tapi ini berbeda.

Kendati sentuhan modern tampak di dalamnya, tapi tak menyurutkan rasa takjub saya berada di rumah yang dihuni 40-an kepala keluarga ini.  Semoga saja pemerintah memperhatikan kelestarian adat ini dan mau lebih memperhatikan sarana penunjang seperti akses jalan serta penginapan untuk wisatawan.

Usai acara sosial di rumah kayu itu, tim pun bergeser ke penginapan. Hari selanjutnya, destinasi yang hendak kami kunjungi juga tak kalah menariknya, yakni perbatasan Entikong. Apakah ini obyek wisata? Bukan.

[caption caption="Pembangunan di Entikong. (Foto: Benny)"]

[/caption]

Kendati bukan obyek wisata, menurut saya Entikong sebagai wilayah perbatasan RI dan Malaysia menyimpan potensi besar sebagi magnet wisata ke depannya. Dan sepertinya itu sudah dipikirkan pula oleh pemerintah. Entikong yang semestinya menjadi etalase cantik Indonesia, kini tengah dibangun infrastrukturnya.

Saya membayangkan di wilayah ini dibangun museum modern tentang perjuangan Indonesia dan sejarah hubungan Indonesia dengan Malaysia. Saya juga membayangkan di Entikong ini dibangun fasilitas pendidikan modern mulai dari sekolah dasar hingga universitas berstandar Internasional. Kalau sekadar waterpark sih, tentu bukan soal sulit. Biar warga Malaysia nanti terus berlibur membelanjakan uang mereka di Entikong. Kalau perlu minta bantuan Kang Ridwan Kamil merencanakan kota Entikong.

Catatan terakhir yang saya bisa berikan untuk pariwisata Kalbar adalah tentang Jembatan Tayan yang sedang ngehits. Saat disambangi memang belum diresmikan. Tapi ramainya seperti jembatan di tengah kota.

[caption caption="Sekitar Jembatan tayan yang belum rampung. (Foto: Benny)"]

[/caption]

Ironisnya, kemegahan Jembatan Tayan ini tak sepadan dengan kualitas Jalan Trans Kalimantan Barat di Kabupaten Sanggau. Hanya beberapa kilometer dari Jembatan Tayan ini. Jika memang Jembatan Tayan akan diresmikan oleh Presiden Jokowi, sebaiknya perbaikan jalan yang seperti kubangan lumpur itu dipercepat. Untung saja saat saya lewat naik Datsun Go yang suspensinya mampu meredam efek melewatijalan bergelombang

Entah bagaimana bisa perekenomiaan dan pariwisata di sekitar Jembatan tayan maju jika akses jalan dari arah perbatasan Malaysia tidak diurus? Semoga hal ini menjadi perhatian banyak pihak.

[caption caption="Jalur rusak sebelum Jembatan Tayan yang megah. (Foto: IG kompasianacom)"]

[/caption]

 

Secara garis besar, saya menganggap potensi pariwisata Kalbar sangat besar. Baik wisata budaya maupun wisata alam. Namun ada yang harus dibenahi di sana-sini. Masih ada pula yang belum mengoptimalkan potensi wisatanya. Tentunya tidak bisa mengandalkan pemerintah saja jika ingin maju. Swasta da nmasyarakat pun harus terlibat menyokong pembangunan pariwisata. Kelak, majunya pariwisata Kalbar bisa meningkatkatkan pendapatan daerah dan masyarakat.

Sekadar informasi, Badan Pusat Statistik menyebutkan persentase penduduk miskin Kalimantan Barat paling tinggi dibandingkan dengan empat provinsi lain di Pulau Kalimantan. Jumlah penduduk miskin di Kalbar sebesar 405.510 orang atau sebesar 8,44%. Semoga dengan majunya pariwisata Kalbar jumlah penduduk miskin di Kalbar bisa terus menurun.

[caption caption="Terima kasih Datsun Go! Saya bangga mengendarainya melintasi Kalbar. (Foto: Benny)"]

[/caption]

---000---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun