Mohon tunggu...
Benny Rhamdani
Benny Rhamdani Mohon Tunggu... Novelis - Kreator Konten

Menulislah hal yang bermanfaat sebanyak mungkin, sebelum seseorang menuliskan namamu di nisan kuburmu. | Subscribe YouTube @bennyinfo

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Saya Bete Bertemu Jokowi

15 Desember 2015   11:28 Diperbarui: 15 Desember 2015   15:44 4522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

[caption caption="Presiden Joko Widodo berbincang santai dengan para Kompasianer. (Foto. Sekneg)"][/caption]

Mas Aldy dari Kompasiana menelepon saya ketika saya sedang berada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jumat (11/12), sekitar 10.29. Saya sempat tidak mengangkatnya karena saya sedang berada di acara puncak Akademi Remaja Kreatif Indonesia (ARKI) yang saya ketuai. Menteri Anies Baswedan pun sudah  hadir di lokasi. Lantaran ada satu miskol sebelumnya, dan nomor depan yang saya tahu itu dari Kompas group, saya pun berjalan ke luar aula menerimanya. Siapa tahu saya diajak syuting lagi di Kompas TV kayak sebelumnya.

Ternyata Infonya singkat dari Mas Aldy, saya diajak ikut makan siang ke Istana Negara bersama Kompasianer lainnya. Saya diminta mengeja nama saya yang tepat sesuai KTP, lalu karena saya belum mendaftar hadir di Kompasianival, diminta segera daftar. Dan yang paling saya ingat sampai menancap di memori, saya diminta memakai batik dan sepatu formal. Saya sanggupi saja biar cepat karena saya sedang memegang acara berlingkup nasional.

Sesungguhnya saya berada di Jakarta sejak Rabu lantaran kegiatan ARKI. Persediaan pakaian saya terbatas hanya untuk ARKI. Termasuk kemeja batik pun hanya bawa satu yang saya pakai di acara puncak ARKI. Untuk mengatasinya saya langsung berpikir beberapa cara. Satu, minta tolong isteri saya paketkan kemeja batik dari Bandung via travel. Tapi saya kasihan isteri saya sudah repot antar jemput anak saya UAS selama seminggu. Kedua, saya putuskan membeli saja di mall terdekat dengan hotel yakni Central Park atau Slipi Jaya. Nyatanya, saya masih harus menangani acara perpisahan peserta ARKI hingga larut malam jadi tak bisa ke luar hotel. Ketiga, saya cari pinjaman. Tapi ternyata tak dapat. Alhasil, saya putuskan memakai batik yang saya pakai bertemu Pak Anies saja.

Keputusan itu ternyata tak bertahan lama. Tiba-tiba di group whats app, terjadi diskusi menarik soal kemeja batik. Termasuk informasi kemeja batik lengan panjang. Saya langsung tepok jidat, pipi, pantat dan semua yang bisa ditepok. Saya tidak punya. Dan pada tengah malam, mall mana yang buka?

Saya pasrah. Mungkin memang belum waktunya untuk makan siang dengan Jokowi.

 

Berburu Batik

[caption caption="Berburu batik di Pasar Kebayoran Lama. (Foto: Benny Rhamdani)"]

[/caption]

Lepas shalat subuh, entah peri jenis apa yang memberi ide kepada saya untuk browsing, mencari infomasi pasar yang buka pagi hari. Akhirnya saya temukan artikel tentang Pasar Kebayoran Lama yang buka sejak subuh malah. Pasar tradisional. Well, batik kan tradisional, jadi beli di pasar tradisional juga nggak apa-apa, kan?

Saya pun segera ke luar kamar, sarapan di hotel seperlunya, dan meluncur naik taksi ke Pasar Kebayoran Lama. Sempat ragu juga ketika turun dari taksi, lalu melihat pemandangan pasar tradisional yang berantakan di sisi jalan. Di mana yang jual kemeja batik? Saya pun berjalan, hingga akhirnya masuk ke blok Pasar Kebayoran Lama. 

Seru juga masuk ke lorong-lorong pasar yang gelap. Saya belum menemukan kios penjual pakaian, selain sayur mayur, daging, peralatan dapur ... sampai akhirnya ... tada! Ada perempuan setengah baya menggelar dagangannya di lantai. Bentuk dagangannya batik. Saya pun melihat-lihat si ibu-ibu. Si ibu pun melihat saya.

"Bu, ada kemeja batik?" tanya saya.

"Adanya daster, om."

Oh, pantas saja ibu tadi terus melihat saya aneh.

Saya pun bergeser menyusuri lorong lainnya, dan akhirnya menemukan dua kios batik lengkap. Alhamdulillah. Saya menemukan sebuah kemeja batik dengan motif bagus. Jangan tanya kualitas. Kalau saya ketahuan belanja di sini, pasti isteri saya marah. Masa iya ada kemeja batik harganya Rp75.000? Atau, masa sih mau ketemu Presiden RI pakai pakaian harga Rp75.000? 

Setelah mendapat kemeja batik yang dibungkus kantong kresek sama dengan kalau kita membeli gorengan, saya berjalan keluar pasar. Lalu, tiba-tiba saya ingat sepatu saya. Sepatu saya bukan sepatu formal. Mahal sih. Tapi tetap aja bukan sepatu formal. Harus beli juga, kah?

Mendadak peri-peri pasar seolah menggerakkan kaki saya ke penjual sepatu. Saya membeli sepatu formal dari bahan yang keras dan saat dipakai berjalan pun kaki saya terasa digigit kudanil. Harganya? Saya kaget juga begitu tahu masih ada sepatu harga sekian. Tapi apa boleh buat. kagok edun, kalo kata orang Sunda.

 

Renda-renda

 

[caption caption="Seru juga bisa ke Istana Presiden RI. (Foto: Benny Rhamdani)"]

[/caption]

Akhirnya, untuk pertama kali saya sampai ke Gandaria City dengan kemeja batik dan sepatu yang nggak gue banget. Ya ini pertama kali ke mall yang katanya lagi ngehits ini. Sebab saya bukan cowok mall. Saya cowok perpustakaan (Halah, pencitraan).

Ternyata sudah banyak Kompasianer yang sudah kumpul meskipun belum pukul sembilan teng. Baik yang akan ke Istana maupun merayakan Kompasianival. Saya sebutkan di sini ya. Anggap saja sedang kirim-kirim lagu di radio. Ada Rahab, Om tjip dan isteri, ci Christine, Indria Salim, Bli Agung, Thamrin S, Thamrin D, Haris Maulana, teman kuliah Syaifudin, Dzulfikar dan Ima (teman satu grup Whats App) dan masih banyak lainnya. Paling mengejutkan saya ketemu Mas Abi, guru menulis saya di majalah HAI waktu saya masih SMA.

Tampak di panggung Kompasianival tengah dilakukan cek sound sampai latihan ngeband. Saya kemudian dibagikan selembar amplop berisi kartu undangan makan siang dengan Presiden Jokowi. Undangannya formal. Ya iyalah, kan acara kenegaraan. Masa undangannya disimpan dalam botol terus pakai ornamen renda-renda?

Setelah luntang-lantung kehausan menunggu keberangkatan, pukul sepuluh saya ikut rombongan naik bus. Saya duduk sebangku dengan bli Agung. Tapi ngobrol banyaknya sama mbak Indria Salim. Entah jam berapa, kami akhirnya sampai ke kawasan Harmoni, lalu belok ke gerbang Sekneg. Saya jadi ingat belasan tahun silam, ketika ngantor sebagai jurnalis di koran Berita Kota dan melewati kawasan ini setiap hari. 

Seperti masuk ke dalam bandara, rombongan Kompasianer harus melewati pemeriksaan tas dan bawaan lainnya. Barulah kami bisa masuk ke halaman belakang Istana Presiden. Tapi tak langsung bisa masuk ke dalam istana. Alhasil, sebagian sibuk potret selfie dan potret bareng. 

Kakak Nurul yang berkumis menawan mengakhiri acara potret-potret itu dengan memberikan sedikit wejangan kepada Kompasianer. Intinya sih, jangan bawa kamera dan handphone. Harus ditinggal di gerbang pemeriksaan berikutnya. Siap. Untung kumis nggak perlu dititipin juga ya, Kak.

Lalu, seperti hendak nonton film box office kami antre melewati gerbang pemeriksaan kedua. Saya titipkan handphone saya (ini hasil menang hadiah livetwit) ke dalam tas mbak Indria Salim. Saya lihat beberapa orang sudah tak sabar masuk ke dalam istana. Saya masih jaim dikit, berasa mau masuk istana boneka Dufan.

Pipisin Istana

[caption caption="Posting foto di istana di Instagram banyak yang komen dan nge-like. (Foto: Harris Maulana)"]

[/caption]

Di ruang yang kurang lebih seluas lapangan futsal itu, ternyata banyak Kompasianer yang sudah duduk manis di meja-meja strategis. Saya melipir ke pinggir sambil berusaha tersenyum kepada para anggota paspampres yang cantik dan keren-keren itu. Mencari tahu juga, siapa tahu ada teman-teman Paspampres di Instagram yang sedang bertugas.

Sambil menunggu kehadiran Presiden Jokowi, saya banyak ngobrol dengan Mas Abi yang membawa puteranya. Sampai kemudian RI 1 muncul dari belakang, lalu menyalami Kompasianer satu per satu yang berada di jalurnya. Saya bukan berada di jalurnya. Jadi dilewat begitu saja. Tapi beberapa yang di luar jalur seperti saya,  pindah jalur demi salaman dengan Pak Jokowi. Ya, namanya juga usaha. Saya malas bergerak, makanya saya gendut (curcol).

Setelah sedikit sambutan, Pak Jokowi langsung mengajak kami makan siang. Dari sini saya langsung tahu, siapa-siapa saja yang Jokowi Lovers atau Jokower atau Jokowow atau fans berat Jokowi. Maaf ya, Pak Jokowi, saya walaupun pernah menulis Bapak di Kompasiana dan memilih Bapak, tapi saya begitu melihat Bapak, kok ya langsung bete.

Alasan terbesar adalah Bapak Jokowi tidak pakai batik. Bapak Jokowi pakai kemeja putih. Sementara kami diminta pakai batik. Lengan panjang pula. Padahal saya yakin, Pak Jokowi punya batik banyak. Apalagi Pak Jokowi ini wong Solo. Coba kalau pakai batik kan bisa sekalian kamapanye batik. Yang bakal nulis batik Jokowi di blog bakal banyak. Terutama saya sebagai lifestyle blogger. Mungkin besok-besok akan akan jadi tren. Mungkin juga selama seminggu instgramer akan pakai hashtag #OOTDBATIKJOKOWI.

Untungnya bete saya cuman sesaat. Perasaan bete itu hilang begitu saya mencicipi sop buntut lezat yang dihidangkan koki istana. Juga urap sayurnya. Enak, sekali. Ditambah lagi sop buahnya, nggak kemanisan. Pas manisnya. Perut kenyang, bete hilang. Tapi bahayanya, kantuk datang. Gampang kan menghilangkan kebetean, kenyangkan perut.

Begitu acara tanya jawab berlangsung, saya justru harus berjuang melawan kantuk. Saya tak bisa menghalau rasa letih karena habis menangani acara yang diikuti 100 peserta selama tiga hari sebelumnya. Mungkin juga karena saya tak diberi kesempatan bertanya kepada Presiden Jokowi. Padahal, kalau dapat kesempatan, saya ingin bicara soal dunia perbukuan khususnya untuk anak-anak. Betapa banyak anak-anak di daerah Indonesia yang belum memiliki kemudahan mengakses  buku-buku bacaan untuk memperkaya wawasan, meghibur, dan meningkatkan kemampuan baca tulis mereka.

Perjuangan saya menahan kantuk akhirnya berakhir ketika Jokowi usai menjawab beberapa pertanyaan dari delapan Kompasianer terpilih. Tiga hal yang paling saya ingat adalah, Jokowi akan mengajak Kompasianer ke acara lawatannya di Indonesia (Plisss, saya dipilih ya, Pak), Hubungannya dengan Prabowo baik-baik saja, dan cerita off the recordnya. Setelah itu, langsung pulang? Tidak. Karena masih ada yang minta tanda tangan, ingin foto bareng, dan Jokowi yang bersahaja itu mau saja memenuhinya meskipun protokoler sudah berwajah kerung.

Sementara yang lain berebutan di sekitar Presiden Jokowi, saya sibuk foto di dalam istana memakai gear watch Kang Harris Maulana yang bisa motret.  Saya juga sempatkan untuk pipisin istana. Sebab, di sebuah dongeng yang saya baca, ada peri toilet yang akan menuntun seseorang yang pipis di istana akan kembali ke istana itu lagi. Saya nggak percaya. Tapi saya memang kebelet pipis karena terus minum air putih saat menahan kantuk tadi.

Puncaknya buat saya adalah ketika saya mendapat giliran foto bareng Jokowi per meja makan. Sampai saat ini saya belum lihat hasilnya. Padahal saya perlukan untuk diperlihatkan ke anak saya, agar dia bercita-cita suatu hari juga bisa ke istana atau malah jadi penghuni istana sebagai presiden.

Cinambo, 15 Desember 2015

 

1 Terima kasih banyak untuk Kompasiana. Walau lama tak menulis di Kompasiana, saya tetap masuk di dalam list.
2. Terima kasih banyak untuk paspampres yang telah menunjukkan saya ke toilet yang benar. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun