Mohon tunggu...
Bent Hartz
Bent Hartz Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang Mahasiswa yang masih menempuh studi Teknik Informatika di Universitas Ma Chung, Malang. Memiliki hobi menulis, juga salah seorang penulis di situs Wattpad berbahasa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kata-kata yang Ambigu

19 Juli 2014   18:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:53 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan ini terus muncul tanpa akhir. Seperti berjalan menyusuri jalan tak berujung. Saat itulah saya mengambil kesimpulan bahwa perbendaharaan kata yang sering kita pakai tidak memiliki tolak ukur yang jelas. Kata-kata itu sebenarnya masih ambigu. Bahkan kata 'ambigu' sendiri memiliki tolak ukur yang tidak jelas. Ketika saya berusaha menjelaskan kata-kata yang ambigu, penjelasan itu pun memunculkan kata-kata ambigu yang lain.

Misal, 'mencuri'. Tentu semua orang tahu kalau mencuri adalah mengambil milik orang lain. Tapi apakah yang menjadi tolak ukur sesuatu untuk menjadi 'milik' seseorang? Apakah karena dia menyimpan benda dalam waktu yang lama, maka benda itu menjadi miliknya? Apa karena dia sudah berjuang keras untuk memperoleh benda itu, maka benda itu adalah miliknya? Apakah kepemilikan harus berkaitan dengan transaksi uang? Ketika nelayan menebar jala dan mengambil ikan di laut, apakah nelayan itu dapat dikatakan mencuri? Ikan itu kemudian dijual, apakah pembeli tersebut sudah dianggap memiliki ikan tersebut? Bukankah ikan tersebut didapat tanpa proses transaksi?

Saya semakin menyadari betapa ambigunya sebuah kata ketika saya menggunakan kata-kata yang sangat sederhana. Seperti misalnya, 'kursi'. Apakah yang membuat sebuah benda dapat disebut kursi? Karena bisa digunakan untuk duduk? Terkadang saya menduduki tumpukan ban. Terkadang saya menduduki kasur. Terkadang saya duduk di tangga. Tikar pun adalah tempat duduk. Mengapa ban, kasur, tangga, dan tikar tidak disebut kursi? Apakah karena terbuat dari kayu? Lalu apa itu kursi plastik? Apakah kursi memiliki standar bentuk tersendiri? Baiklah, kursi memiliki 4 kaki, dan sebuah alas duduk. Sekarang coba cari gambar-gambar desain kursi modern. Terkadang bagian yang menyentuh tanah berbentuk bundar dengan sebuah tiang penyangga. Kursi goyang juga disebut kursi. Kursi gantung juga masih disebut kursi. Terkadang kursi di desain dengan bentuk yang tidak wajar, namun masih disebut kursi. Jadi ciri khusus apa yang menggambarkan sebuah kursi?

Sebenarnya setelah berpikir cukup panjang hingga tidak bisa tidur, saya memutuskan untuk berhenti memikirkan hal ini. Bila saya terus memikirkan setiap detail kata-kata yang saya lontarkan dari mulut, saya akan malu untuk berbicara. Kenapa? Saya sering sekali menggembar-gemborkan tentang logika, tentang rasionalitas. Saya merasa kalau diri saya adalah orang yang berpikiran dengan akal sehat. Saya merasa kalau semua tindakan yang saya lakukan berdasarkan pada rasionalitas. Betapa sombongnya perkataan saya ketika saya pun tidak bisa menjelaskan kata 'rasionalitas', 'logika', dan 'akal sehat'.

Kita boleh berpendapat bahwa seseorang adalah bodoh atau pintar. Tapi jangan lupa kalau Einstein adalah anak bodoh yang di Drop Out ketika berumur 16 tahun. Bodoh atau pintar, kita tidak pernah memiliki tolak ukur yang jelas. Begitu juga dengan 'sedikit dan banyak', 'jauh dan dekat', 'jelek dan indah'. Ibu saya pernah bilang kalau saya sudah bertambah dewasa. Dulu saya masih kekanak-kanakan. Yang dia maksud adalah secara mental, bukan umur. Tapi sekali lagi, apa yang menjadikan tolak ukur seseorang untuk disebut dewasa secara mental? Jangan berani berbicara kalau kita sudah dewasa bila kita sendiri belum tahu ukuran yang jelas dari sebuah kata 'dewasa'.

Satu kutipan dari seorang bhikkhu sekaligus penulis terkemuka, Ajahn Brahm.

"Good? Bad? Who Know?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun