Mohon tunggu...
Bent Hartz
Bent Hartz Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang Mahasiswa yang masih menempuh studi Teknik Informatika di Universitas Ma Chung, Malang. Memiliki hobi menulis, juga salah seorang penulis di situs Wattpad berbahasa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kata-kata yang Ambigu

19 Juli 2014   18:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:53 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1405742365692990403

Kita sebagai orang-orang intelektual pastilah sudah tidak asing dengan perbendaharaan kata yang sulit. Seperti contoh kata 'Rasional', 'Kritis', dan 'intelektual'. Nah, apakah para pembaca setuju ketika saya mencontohkan 3 kata tersebut sebagai kata yang sulit? Apakah yang menjadi tolak ukur sebuah kata untuk dikatakan sulit?

Suatu saat saya tertarik pada sebuah forum diskusi yang ada di sekitar saya. Maka saya menghampiri forum itu dan ikut bergabung di dalamnya. Ternyata apa yang sedang mereka bahas adalah arti dari kata 'Sukses'. Dan karena saya sedikit terlambat mengikuti proses diskusi itu, mereka sudah mencapai kesimpulan bahwa 'sukses' adalah 'kemajuan'. Saya tidak mengerti mengapa bisa sampai pada kata 'kemajuan'. Padahal masih banyak kata-kata lain yang lebih sederhana seperti 'berhasil' atau 'beruntung'.

Yang menarik dalam forum itu adalah ketika seseorang bertanya, "Apakah tolak ukur dari kemajuan? Apakah yang menentukan sesuatu untuk dikatakan kemajuan atau kemunduran?"

Jawaban yang pertama muncul tentu saja, maju adalah menjadi lebih baik. Kemudian muncul lagi pertanyaan, apakah yang menentukan bahwa sesuatu adalah 'lebih baik'? ada juga yang menjawab, maju adalah semakin dekat pada target. Target yang seperti apa? Bagaimana bila seseorang memiliki target untuk korupsi miliaran? Apakah target yang seperti itu juga bisa dikatakan sebagai kemajuan? Target yang baik? Kembali lagi, bagaimanakah cara sesuatu dapat dikatakan 'baik' atau 'buruk'?

Suatu saat saya menjawab bahwa kemajuan adalah ketika mayoritas orang berpikir bahwa suatu perubahan itu dianggap baik. Kata 'Mayoritas' mengacu pada wilayah apa? Bukankah ada tempat di mana kanibalisme dianggap baik?

Baiklah! Berarti tidak ada kesepakatan global yang menjadi tolak ukur kata 'kemajuan'. Kata itu sangat bersifat subyektif. Sesuai dengan pendapat masing-masing individu. Nah, lalu apa yang menjadi dasar pendapat dari tiap individu ketika menyebut kata 'kemajuan'? Budaya? Kepercayaan? Rasionalitas? Kita sudah tahu kalau budaya dan kepercayaan ada banyak, dan kanibalisme pun juga merupakan bentuk budaya dan kepercayaan. Bagaimana dengan rasionalitas? Apakah yang menjadi tolak ukur dari 'kemajuan' ketika seseorang menggunakan rasionalitasnya?

Saat itulah saya berhenti menjawab. Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya jelaskan dalam diskusi itu. Dan saya berhenti berbicara hingga diskusi itu berakhir tanpa solusi yang jelas.

Mungkin sekarang saya bisa menjawab karena saya punya koneksi internet untuk mengakses berbagai macam kamus yang menjelaskan tentang kata 'rasional'. Tapi lagi-lagi apa yang dijelaskan oleh kamus itu tidaklah cukup jelas.

menurut KBBI, Rasional adalah menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal.

Logis? Pikiran yang sehat? Akal? Apakah yang menjadi tolak ukur sesuatu untuk dikatakan logis dan masuk akal? bagaimanakah suatu pemikiran dapat dikatakan sehat?

Pertanyaan ini terus muncul tanpa akhir. Seperti berjalan menyusuri jalan tak berujung. Saat itulah saya mengambil kesimpulan bahwa perbendaharaan kata yang sering kita pakai tidak memiliki tolak ukur yang jelas. Kata-kata itu sebenarnya masih ambigu. Bahkan kata 'ambigu' sendiri memiliki tolak ukur yang tidak jelas. Ketika saya berusaha menjelaskan kata-kata yang ambigu, penjelasan itu pun memunculkan kata-kata ambigu yang lain.

Misal, 'mencuri'. Tentu semua orang tahu kalau mencuri adalah mengambil milik orang lain. Tapi apakah yang menjadi tolak ukur sesuatu untuk menjadi 'milik' seseorang? Apakah karena dia menyimpan benda dalam waktu yang lama, maka benda itu menjadi miliknya? Apa karena dia sudah berjuang keras untuk memperoleh benda itu, maka benda itu adalah miliknya? Apakah kepemilikan harus berkaitan dengan transaksi uang? Ketika nelayan menebar jala dan mengambil ikan di laut, apakah nelayan itu dapat dikatakan mencuri? Ikan itu kemudian dijual, apakah pembeli tersebut sudah dianggap memiliki ikan tersebut? Bukankah ikan tersebut didapat tanpa proses transaksi?

Saya semakin menyadari betapa ambigunya sebuah kata ketika saya menggunakan kata-kata yang sangat sederhana. Seperti misalnya, 'kursi'. Apakah yang membuat sebuah benda dapat disebut kursi? Karena bisa digunakan untuk duduk? Terkadang saya menduduki tumpukan ban. Terkadang saya menduduki kasur. Terkadang saya duduk di tangga. Tikar pun adalah tempat duduk. Mengapa ban, kasur, tangga, dan tikar tidak disebut kursi? Apakah karena terbuat dari kayu? Lalu apa itu kursi plastik? Apakah kursi memiliki standar bentuk tersendiri? Baiklah, kursi memiliki 4 kaki, dan sebuah alas duduk. Sekarang coba cari gambar-gambar desain kursi modern. Terkadang bagian yang menyentuh tanah berbentuk bundar dengan sebuah tiang penyangga. Kursi goyang juga disebut kursi. Kursi gantung juga masih disebut kursi. Terkadang kursi di desain dengan bentuk yang tidak wajar, namun masih disebut kursi. Jadi ciri khusus apa yang menggambarkan sebuah kursi?

Sebenarnya setelah berpikir cukup panjang hingga tidak bisa tidur, saya memutuskan untuk berhenti memikirkan hal ini. Bila saya terus memikirkan setiap detail kata-kata yang saya lontarkan dari mulut, saya akan malu untuk berbicara. Kenapa? Saya sering sekali menggembar-gemborkan tentang logika, tentang rasionalitas. Saya merasa kalau diri saya adalah orang yang berpikiran dengan akal sehat. Saya merasa kalau semua tindakan yang saya lakukan berdasarkan pada rasionalitas. Betapa sombongnya perkataan saya ketika saya pun tidak bisa menjelaskan kata 'rasionalitas', 'logika', dan 'akal sehat'.

Kita boleh berpendapat bahwa seseorang adalah bodoh atau pintar. Tapi jangan lupa kalau Einstein adalah anak bodoh yang di Drop Out ketika berumur 16 tahun. Bodoh atau pintar, kita tidak pernah memiliki tolak ukur yang jelas. Begitu juga dengan 'sedikit dan banyak', 'jauh dan dekat', 'jelek dan indah'. Ibu saya pernah bilang kalau saya sudah bertambah dewasa. Dulu saya masih kekanak-kanakan. Yang dia maksud adalah secara mental, bukan umur. Tapi sekali lagi, apa yang menjadikan tolak ukur seseorang untuk disebut dewasa secara mental? Jangan berani berbicara kalau kita sudah dewasa bila kita sendiri belum tahu ukuran yang jelas dari sebuah kata 'dewasa'.

Satu kutipan dari seorang bhikkhu sekaligus penulis terkemuka, Ajahn Brahm.

"Good? Bad? Who Know?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun