Mohon tunggu...
Sylvius Bennedicto
Sylvius Bennedicto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Orang Biasa

Awali dengan sukacita berakhir dengan Cinta

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Merdeka Belajar, Salah Siapa?

22 Oktober 2024   11:14 Diperbarui: 22 Oktober 2024   11:38 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa warga media sosial X kerap kali mengangkat masalah pendidikan di Indonesia, terutama setelah diterapkannya Kurikulum Merdeka Belajar oleh Kemendikbud pada tahun 2021 dan terus mengalami evaluasi semenjak penerapannya. 

Namun, beredar di media sosial tentang peserta didik yang tidak mampu menjawab soalan sederhana, seperti : Sebutkan negara di Eropa, atau Siapa Bapak Proklamator Indonesia bahkan anak kelas 6 SD tidak dapat baca tulis. Semua itu menumbuhkan pertanyaan; Sebenarnya dimana letak kesalahan Merdeka Belajar dan Bagaimana cara mengatasinya?

Sejujurnya, penulis pun juga keheranan mengapa anak sekolah zaman sekarang begitu santai untuk ke sekolah? Mengapa sekolah tidak melarang pembawaan gawai ke sekolah? Bahkan penulis bertanya apa yang dilakukan siswa di sekolah? Hampir terbawa arus, penulis mencoba melihat penerapan Merdeka Belajar di SMA penulis dan membandingkan dengan kasus sosial yang terjadi.

            ***

Penulis menjadi bahan ujicoba kurikulum ini pada kelas 1 SMA. Ujicoba ini merupakan purwarupa dari Merdeka Belajar. Kami menyebutnya dengan Pembelajaran Integratif. Pengajar memberikan kelas integratif IPA/IPS/Bahasa (Seni). 

Dalam pembelajaran tersebut, peserta didik diajak untuk mempelajari sebuah kasus dengan dasar ilmu pengetahuan tertentu dengan harapan semuanya mendapatkan solusi atas kasus tersebut dan refleksi atas pembelajaran tersebut.

Semisal, secara empiris, penulis mendapatkan kelas integratif bidang Bahasa dan ada kasus penggunaan bahasa asing. Kemudian, kelas dibagi 4 kelompok, semua wajib mencari solusi dalam bidang masing-masing, ada yang menggambar, atau berpuisi, atau presentasi dalam bahasa asing. Semua menjadi lebih komprehensif, holistik, mendalam dan reflektif.

Saat Kurikulum Merdeka Belajar diterapkan pada adik kelas penulis, memang ada kebingungan. Bahkan ada P5 yang turut menambah tugas, tapi sisi baiknya adalah para peserta didik dapat mengetahui secara lebih komprehensif, holistik dan mendalam. Memang lebih merepotkan daripada pembelajaran Integratif yang penulis coba, bahkan mereka menggunakan data yang benar-benar relevan.

Salah satu yang penulis rasakan dari P5 adalah pelestarian budaya dan bahasa daerah. Peserta didik diminta untuk studi kasus bahasa dan budaya daerah yang hampir punah dan dipresentasikan kepada khalayak umum. 

Semua itu mengasah kekritisan dan membuka peluang untuk belajar hal baru. Itu sesuai dengan salah satu harapan Kurikulum Merdeka Belajar, yaitu : Membangun Nalar Kritis.

P5 sendiri tidak jauh dari Pembelajaran Integratif, bedanya hanya kasus sosial P5 dibedah dalam pedagogi Pancasila, sementara pembelajaran Integratif hanya sampai pada solusi atas 1 kasus. Taraf sulit, menurut penulis, lebih sulit P5 karena peserta didik harus menggali lebih dalam latar belakang sebuah kasus. Namun, dari P5, peserta didik semakin kenal dengan Indonesia dan segala tetek-bengek di negara ini, yang harapannya peserta didik semakin mencintai Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun