JAKARTA -- Mari sejenak belajar pada sejarah. Saat itu, 2004, lebih dari satu dekade yang lalu, saat penulis bersinggungan nasib dengan sosok luar biasa. Berikut ini adalah sedikit nukilan ceritanya.
SULTAN Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang, mungkin tidak pernah mengira -demikian pula Nuraini binti Itam Nasution- kalau pada masanya putra mereka yang bernama Asrul Sani bakal menjadi salah seorang tokoh penting dalam perjalanan dan perkembangan perfilman Indonesia. Bahkan dalam lingkup yang lebih luas, ayah enam putra kelahiran Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1927 itu bakal mewarnai perjalanan kesenian dan kebudayaan Tanah Air hingga akhir hayatnya.
Demikianlah, intisari pidato perpisahan yang disampaikan Salim Saad (mewakili keluarga), Rosihan Anwar (mewakili Akademi Jakarta), Pramana (mewakili Institut Kesenian Jakarta) dan Ratna Sarumpaet (mewakili Dewan Kesenian Jakarta) di depan jenazah Drs H Asrul Sani, yang disemayamkan sejak pukul 10.40 WIB, di Graha Bhakti Budaya II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (12/1) pagi, kemarin.
Ya, Asrul Sani yang mengawali kariernya sebagai seorang penyair, sebelum pada akhirnya menjadi penggerak utama perfilman Tanah Air bersama almarhum Usmar Ismail, telah mangkat dalam usia 76 tahun. Sekitar pukul 22.00 WIB, Minggu (11/1), malam suami Siti Nuraini dan Mutiara Sani itu wafat dikediamannya, Jl Attahiriyah II, Kompleks Warga Indah 4E, Pejaten Barat, Jakarta Selatan, setelah selama setahun berada di atas kursi roda.
”Tidak ada yang menduga beliau akan secepat ini meninggal dunia; karena meskipun selama setahun ini berada di atas kursi roda dan sakit-sakitan, sebenarnya almarhum tampak sehat-sehat saja,” terang Ratna Sarumpaet, adik kandung Mutiara Sani, sembari terbata-bata. Di mata wartawan senior Rosihan Anwar -yang berbicara tidak hanya mewakili Akademi Jakarta namun juga sebagai pribadi-, sosok Asrul Sani yang pernah mengenyam pendidikan Royal Academy for Dramatic Arts Amsterdam (1950-1953) serta Departemen Teater dan Sinema di University of Southern California (USC), adalah persona yang bersahaja.
”Dalam film Markamah yang almarhum sutradarai, yang di dalamnya saya ikut terlibat, ada sebuah dialog yang berujar: Hidup tidak ada apa-apanya,” ujar Rosihan Anwar yang -pada kesempatan itu duduk bersama Ramadhan KH dan Sitor Situmorang- tak mampu menyembunyikan kedukaannya. ”Dari dialog itu, ada pesan dan peringatan dari almarhum yang filosofinya: Terimalah hidup apa adanya,” imbuhnya.
Memang, penulis Tiga Menguak Takdir, Mantera dan Kumpulan Sajak (Budaya Jaya), karya sastra yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, itu semasa hidupnya bukanlah manusia biasa. Berbagai karya telah lahir dari ketekunan dan dedikasinya dalam dunia kesenian dan kebudayaan Tanah Air; yaitu antara lain berupa antalogi puisi, lagu, cerpen, esai, naskah film , naskah drama, naskah terjemahan (novel, puisi, drama), skenario, dan film.
Bahkan, Asrul -yang semasa revolusi 1945-1950 menjadi anggota Laskar Rakyat Jakarta dan kemudian masuk TNI pasukan OO1 dibawah pimpinan Kolonel Lubis itu- juga meraih berbagai penghargaan. Anugerah tersebut antara lain, piala Golden Harvest untuk film terbaik dalam Festival Film Asia (1971) lewat film Apa yang Kau Cari Palupi; delapan buah Piala Citra untuk cerita dan skenario film terbaik, masing-masing dalam film Kemelut Hidup (1979), Bawalah Aku Pergi (1982), Sorta (Cerita Asli) (1983), Titian Serambut Dibelah Tujuh (1983), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1986), Nagabonar (1987), Nagabonar (Cerita Asli) (1987) serta Nada dan Dakwah (1992).
Selan itu, sineas andal itu juga menerima The World Intelectual Property Organization (WIPO) Medal for Yhe Best Indonesia Author of the Year 2001, serta anugerah ”Bintang Mahaputera Utama” dari Pemerintah RI pada Agustus 2000. Sebagai penerima Bintang Mahaputera Utama, sutradara panggung yang juga pernah mementaskan lakon Anton Chekov (Burung Camar), Satre (Pintu Tertutup), Robles (Monserrat), Lorca (Yerma), dan Albert Camus (Caligula) itu berhak dimakamkam di Taman Makam Pahlawan, lengkap dengan upacara militernya.
”Namun demikian, almarhum yang juga kakak, kawan, guru, dan sekaligus ayah bagi saya menolak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan,” ujar Ratna Sarumpaet, yang mengaku banyak belajar teknik penulisan naskah drama dari almarhum. Kesan kehilangan terhadap mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI (1966-1982) itu, tidak hanya dirasakan oleh para pekerja film dan kesenian yang pernah bersentuhan denganya; seperti Rosihan Anwar, Ratna Sarumpaet, Abiyati Abiyoga, Retno Maruti, Jajang C Noer, Pong Harjatmo, Putu Wijaya, Idris Sardi, Cok Simbara, dan Harry Capri, namun juga oleh para pekerja film yang jauh sesudahnya, seperti Mira Lesmana dan Riri Riza.
”Berbicara tentang Asrul Sani, adalah berbicara tentang setengah dari perjalanan film nasional,” ujar Riri Riza. ”Almarhum adalah trade mark perfilman Indonesia. Siapa yang tidak tahu Titian Serambut Dibelah Tujuh, Nagabonar, dan karya masterpiece lainnya. Meskipun saya hanya bersentuhan dengan belaiu ketika diajar di bangku IKJ, ketika almarhum mengajar sebagai dosen tamu,” imbuh Riri yang mengaku banyak terinspirasi oleh gaya penulisan naskah Asrul Sani.
Memang, tidak akan pernah cukup kata untuk menarasikan kebesaran Asrul Sani, sehingga tidak aneh jika kebesaran mantan rektor kedua IKJ -setelah Umar Kayam- itu masih menancap tajam di benak Cristine Hakim. ”Saya memang nyaris jarang bersentuhan langsung dengan almarhum. Namun hati saya senantiasa bergetar, jika berada pada satu forum dengan almarhum,” kata salah satu Pahlawan Asia 2003 itu.
”Sebagai seorang produser, saya baru tersadar; bahwa memang sulit menemukan penulis naskah film yang wahid; dan almarhum adalah the best scriptwriter. Sampai sekarang pun, saya masih mengaguminya,” imbuhnya. Jenasah Asrul Sani, yang setelah disemayamkan di Graha Bhakti Budaya II disandingakan dengan Chairul Basri -kakak Asrul yang juga meninggal dunia 10 menit lebih awal– di Jl Prambanan, Menteng, Jakarta Pusat, akhirnya dikebumikan di peristirahatan terakhirnya, di makam Menteng Pulo, Jakarta, dengan suasana yang penuh khidmat. Inalillahi wainna ilaihi rojiun. Selamat jalan, Bang Asrul! (benny benke)
tulisan ini pernah diunggah di laman http://www.suaramerdeka.com/harian/0401/13/bud1.htm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H