"Kalau kita tidak menguasai bahasa, maka cara berpikir kita menjadi kurang sempurna".
JAKARTA -- BERTHOLD Damshauser, pengajar sastra Jerman dan sastra Indonesia modern pada Universitas Bonn, Jerman, tahu betul dengan makna kutipan tersebut. Untuk alasan itulah, editor jurnal sastra di majalah Orientierungen-Zeitschrift zur Kultur Asiens itu sangat menguasai benar bagaimana berbahasa Indonesia dengan baik dan laras.
Sebagai penikmat sastra Indonesia modern, khususnya prosa dan puisi, pegawai negeri pada Universitat Bonn, Institut fur Orient-und Asienwissench itu, tidak hanya fasih membaca tulis dalam bahasa Indonesia.
Lebih dari itu, mantan penterjemah mendiang Presiden Soeharto ketika dua kali mengunjungi Jerman, pada tahun 1989 dan 1996 itu, mengaku tahu betul karya sastra Indonesia mana yang patut dikaji dan berbobot.
Tidak berlebihan bila dalam kunjungannya ke Indonesia, penyair kelahiran 8 Februari 1957 dan beristrikan orang Jawa totok itu mampu bercerita banyak tentang berkembangan dunia sastra di Jerman dan Indonesia.
Dalam wawancara dengan Suara Merdeka di komunitas Salihara, Jakarta, baru-baru ini, penggila kesebelasan Borussia Dortmund ini bercerita tentang arti penting sastra bagi generasi muda dan bangsa.
Bagi Berthold, yang telah membacakan syair-syair Goethe dihadapan 5.000-an santri di Sumenep, dan dalam waktu dekat ini di dihadapan ribuan mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, bahasa teristimewa sastra, memegang peranan kunci.
Tak Kalah
Lebih dari itu, karya sastra dari generasi sekarang tidak kalah dengan karya sastra dari generasi terdahulu, seperti karya Pramudya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, hingga WS Rendra sekalipun.
Dia mencontohkan, karya sastra Indonesia modern yang benar-benar kuat, masterpiece, dan menginspirasi adalah trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
 Menurut dia, novel trilogi itu mampu melukiskan orang Jawa pedesaan dalam keadaan tekanan politik dengan sangat indah dan jernih.
''Sebuah novel yang benar-benar literaris, namun sayang tidak begitu menarik minat pembaca kalangan ramai,'' katanya.
Berthold sebelumnya, jauh-jauh hari, bersama mendiang Ramadhan KH, telah menerjemahkan sejumlah karya sastra Jerman ke dalam bahasa Indonesia, dan sebaliknya.
Sedangkan untuk urusan merangkai dan menghidupkan syair, penyair Agus R Sardjono dianggapnya sangat mumpuni karena mampu menguasai bentuk dan selalu menarik dalam menceritakan sebuah peristiwa.
Sedangkan nama cerpenis Seno Gumira Ajidarma tetap menjadi pilihan utama untuk urusan cerita pendek, di luar nama Johny Arya Dinata dan Djenar Maesa Ayu yang menyusul di belakang namanya.
Bagaimana pandangan penerjemah buku Frederic Nietzsche jilid 6, dan pengagum Goethe dan kebudayaan Jawa itu, terhadap novel pop Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy?
Meski dipuji kalangan luas dan tidak di kalangan sastrawan, pada dasarnya menurut dia, pengarang mempunyai tujuan yang baik, yaitu dengan semangat membangun jiwa melahirkan sebuah novel.
Sayang, dimatanya novel yang telah difilmkan oleh Hanung Bramantyo itu terjebak pada semangat eksklusifisme.
Banyak ditemukan kejanggalan yang terlalu dipaksakan, misalnya dalam penokohannya.
Sosok utamanya dicitrakan hampir dapat dikategorikan sebagai insan kamil atau adi manusia. Sesuatu yang nyaris mustahil ada dalam hidup ini. Sehingga menjadi sangat tidak realistis. (Benny Benke)
pernah diunggah di laman http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/03/25/57119/-Seniman-Bahasa-Pecinta-Sastra-Indonesia-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI