Maka tidak berlebihan juga, jika dibanyak dialognya, Tejo yang Darto atau sebaliknya tokoh Darto yang Tejo kerap mengeluarkan umpatan keakraban yang biasa dikeluarkan antarsekawan di masyarakat di Jatim dan Jateng. Yang justru diadakan, demi menghangatkan suasana, dan mempererat tali silaturahmi antarsekawan. Bukan semata menyumpah apalagi menyerapah.
URUSAN film kelar, tanyakan kepada Tejo urusan lainnya. Maka dia akan bernarasi tentang kondisi kebangsaan di negeri in. Sebuah negeri yang menurut dia, sebagai sebuah bangsa, sudah tak pede lagi. Sebagai bangsa kita sudah kehilangan rasa percaya diri (pede). “Kita pun sudah kehilangan kepercayaan pada para tokoh di negeri ini. Akhirnya, negeri ini pun kehilangan kedaulatan,baik secara politik, ekonomi, maupun kultural,” katanya Jumat (12/8/2011).
Kenapa kini kita tak berdaulat secara ekonomi, kultural, dan politik?
Karena kita tak percaya lagi pada para tokoh di negeri ini. Nah, ketika kita tak percaya lagi pada para tokoh itu, tiba-tiba seperti dipaksa terus dan harus percaya pada mereka. Meski kita semua tahu, tak ada tokoh yang bisa dipercaya lagi.
Contoh terkini kasus Nazaruddin. Banyak tokoh di negeri ini, juga Presiden, mengatakan sebaiknya kasus Nazaruddin diserahkan ke jalur hukum. Namun siapa percaya sistem hukum di Indonesia saat ini dapat berjalan baik dan adil? Siapa mampu menjamin kasus hukum Nazaruddin tidak dipermainkan sedemikian rupa? Sebagian tokoh menyatakan alangkah baik Nazaruddin diserahkan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), karena lebih terjamin keobjektifannya. Siapa bisa menjamin tak terjadi kecurangan di sana?
Itulah faktanya. Dan kita sedang berada dan melewati masa ketidakpercayaan pada para tokoh negeri ini, entah sampai kapan.
Mungkin kalau kita komparasikan dengan dunia anak-anak, Indonesia saat ini nggreges-nggreges atau demam. Kalau itu bisa kita lewati, kemungkinan besar Indonesia menjadi dewasa. Selain itu, ada paradigma bernegara yang keliru di negeri ini. Sebagaimana dikatakan penyair AS yang dikutip Presiden John F. Kennedy, “Jangan pernah tanyakan kepada negara apa yang telah negara berikan kepadamu, tetapi tanyakanlah pada dirimu apa yang telah engkau berikan kepada negara.” Paradigma itu sangat keliru. Seharusnya ungkapan itu dibalik, “Apa yang bisa diberikan negara kepada kita sebagai warga bangsa.” Jadi pemimpin tak akan leha-leha, kemudian berlindung di balik ungkapan itu, sementara mereka tak melakukan apa-apa. Apa gunanya negara kalau tak mampu memberikan apa-apa pada warga negaranya?
Contoh sederhana, ketika masyarakat harus mengenakan helm ketika berkendaraan di jalan raya. Apa dasarnya harus memakai helm? Supaya kalau kecelakaan, tidak celaka dan tidak mati di jalan. Namun kalau tidak mati di jalan, apakah negara memberikan sesuatu? Kalau tidak mati di jalan, negara mau apa? Apakah negara memberikan jaminan kesehatan? Pendidikan gratis? Perlindungan mendasar? Memenuhi kebutuhan pokok? Toh kalaupun mati di jalan, kita sendiri yang mengurusi semua tetek-bengek. Berarti ada yang salah dengan UU Lalu Lintas.
Apa variabel determinan yang menyebabkan ketidakberdaulatan kita?
Rasa rendah diri! Itulah yang aku ajukan sebagai syarat untuk calon presiden mendatang, yakni rasa percaya diri. Itu urutan pertama. Bukan riwayat pernah korupsi atau tidak. Kalau syarat belum pernah korupsi diajukan, tak ada orang bebas korupsi di negeri ini. Yang utama tetaplah rasa percaya diri atau jangan pernah sekalipun punya riwayat minder. Mengapa minder lekat dengan bangsa Indonesia? Karena para tokoh dan pengajar di negeri ini, juga kita secara umum, lebih senang menceritakan dan mengunggulkan bangsa lain daripada bangsa sendiri. Contohnya, kita lebih gemar bercerita tentang etos kerja bangsa China, Jepang, Korea, Amerika, dan Eropa. Kita nyaris tak pernah bercerita tentang Soekarno, yang sejak mula selalu mengatakan dengan lantang, “Berdiri di atas kaki sendiri!” Jadi sepemahaman saya, hanya Bung Karno yang tak punya riwayat minder. Anda bisa lihat bagaimana pembelaannya ketika ditahan di Bandung berjudul “Indonesia Menggugat”, tidak ada sedikit pun keminderan terbaca di sana. Beda, misalnya, dari kasus Richard Gere yang baru-baru ini mampir ke Indonesia. Seorang pembawa acara stasiun TV mengatakan, “Kita beruntung karena kedatangan Richard Gere ke Candi Borobudur, jadi pariwisata Indonesia makin dikenal di dunia internasional dan bla-bla-bla.” Seharusnya, pemikiran minder itu dibalik, “Richard Gere beruntung karena berhasil mendatangi Candi Borobudur sebagai salah satu keajaiban dunia.” Atau, bagaimana banyak instansi di negeri ini gemar meng-hire para pekerja asing, dengan harapan ketika para pekerja asing itu melakukan negosiasi bisnis dengan pejabat negara, pejabat negara minder.
Contohlah Agus Salim, yang meski senantiasa makan dengan tangan, dalam setiap perjanjian di luar negeri selalu memenangkan Indonesia. Karena itu, kerendahdirian harus kita buang jauh-jauh.