Mohon tunggu...
B.Rasjid
B.Rasjid Mohon Tunggu... -

Anggauta Masyarakat yang Realistis dan Optimis , dan pemerhati masalah Politik, Sosial dan Agama. Pendidikan Teknik Elektro dan S2 bidang Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Politik

Meritokrasi Politik dan Politik Identitas di Indonesia

25 Oktober 2017   21:23 Diperbarui: 25 Oktober 2017   21:49 2493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun 2018 tepatnya pada bulan Juni 2018, secara serentak akan terdapat 171 daerah yang akan menggelar pilkada yang merupakan Pilkada terakhir setelah sebelumnya di tahun 2017,  menjelang pesta demokrasi Pemilihan anggauta legislatif dan Pemilihan Presiden 2019

Apakah tren pemilihan calon lebih kepada yang memiliki kemampuan dan kualifikasi yang terbaik untuk menduduki suatu posisi atau lebih dikenal dengan meritokrasi atau hanya sekedar calon yang sesuai dengan keinginan suatu kelompok.

Lelang jabatan publik yang diinisasi oleh Jokowi pada saat beliau menjadi Gubernur terpilih pada tahun 2014 di lingkungan pemda DKI bersama Basuki Cahaya Purnama yang merupakan wakil Gubernur, merupakan trobosan proses meritokrasi yang belum pernah terjadi di Indonesia, dimana seorang kandidat dipilih berdasarkan kompetensi, pengalaman dan prestasi secara terbuka dan transparan.

Budaya meritokrasi dapat menularkan nilai-nilai berpolitik yang mampu meningkatkan partisipasi publik dalam tatanan politik modern berdemokrasi.

Tren baru sejak era Jokowi ini yang juga mengatar beliau menjadi  pemenang pada Pilpres 2014, adalah proses dimana beliau maju secara bertahap mulai dari jenjang Walikota, Gubernur hingga tingkat nasional merupakan proses meritokrasi yang sebenarnya  yaitu secara bertahap seseorang memulai dari jenjang rendah untuk kemudian menanjak seiring waktu, pengalaman dan prestasi. Tren ini kemudian lebih dikenal sebagai "The Jokowi's ways" 

Apa itu Politik Identitas

Harus kita akui secara jujur  rekam jejak seseorang secara meritotrasi dibeberapa daerah  kurang berhasil atau bahkan tidak berhasil, hal ini disebabkan karena begitu besarnya pengaruh politik identitas apalagi bila digalang secara masif, contoh konkrit apa yang terjadi di Pilkada DKI 2017 yang baru saja berlalu, suka tidak suka politik identitas yang cenderung mengarah ke isu SARA berperan sangat kuat bahkan terkristalisasi sedemikian rupa sehingga memberikan tekanan psikologis kepada masyarakat pemilih, asal jangan incumbent. Cara berpolitik semacam ini sebenarnya akan menggerus demokratisasi yang mulai bergulir pasca era reformasi pada tahun 1998.

Tidak dapat dipungkiri bahwa proses demokrasi juga akan berjalan beriringan dengan gejala penguatan politik identitas, tetapi dalam kadar tertentu politik identitas bisa menimbulkan dampak yang sama sekali berlawanan dengan tujuan demokrasi, sebagaimana contoh diatas yang terjadi di DKI yaitu politik identitas yang kebablasan.

Hal lain yang juga perlu dicermati adalah masalah mikro politik yaitu relasi-relasi penguasaan dalam praktek kehidupan sehari-harinya mengaku sebagai rezim kebenaran yang dikelola secara terstruktur dan diikut sertakan dengan  membangkitkan emosi masyarakat sehingga terjadi marjinalisasi sampai munculnya label "the other" seperti ; perbedaan agama, perbedaan gender, perbedaaan etnis dll.

Bagaimana seharusnya politik identitas dicermati oleh masyarakat khususnya menjelang Pileg dan Pilres 2019 ? , Haruskah politik identitas dibiarkan hidup didalam sistim politik demokrasi di Indonesia yang bisa jadi akan mengancam Hak dan Kebebasan sipil, mungkinkah kedamaian kehidupan sosial akan bisa kondusif, karena lagi-lagi kalau kita amati bersama fenomena yang terjadi saat ini, sebagai akibat terjadinya politik identitas pada Pilkada DKI 2017 walaupun pilkadanya telah usai, tetapi masyarakat sudah dan masih terbelah, tidak hanya di DKI tetapi juga terjadi didaerah-daerah lain sebagai imbasnya.

Bahkan keberhasilan penerapan politik identitas di DKI pada Pilkada 2017, telah menjadi raw model bagi beberapa daerah untuk menggunakan politik identitas sebagai pondasi utama bagi setiap kontestan untuk memenangkan pertarungan politik formal dan informal.  Partai-partai sudah tidak lagi menjadi representasi dan wadah maupun alat untuk poses konsolidasi, dan komunikasi

Mendominasinya politik identitas dalam ruang publik yang sehari-hari sekarang terjadi dengan gelombang yang begitu besar di media sosial bukan hal yang patut dirayakan, karena sepertinya media sosial juga turut andil terjadinya segresi sosial secara horizontal  yang makin melebar.

Praktek demokrasi di Indonesia sepertinya telah beralih menjadi perlombaan yang tak mengenal kawan maupun lawan, semuanya dijalankan secara oligarchic democracy yang sangat akrab dengan politisasi bertendensi SARA dan memecah belah.

Sentimen terhadap etnis minoritas yang terjadi hingga kini bisa jadi merupakan  rekayasa sosial yang dikonsepsikan oleh kelompok tertentu untuk menarik simpati masyarakat

Bahaya dari politik identitas yang berlebihan adalah bisa berujungnya pada fasisme, bahkan lebih buruk lagi yaitu separatisme dan masyarakat yang sudah terasimilasi berdasarkan identitas tertentu, dapat dengan mudah dimobilisasi oleh kelompok yang ingin mencapai agenda politiknya. Politik identitas yang dijalankan oleh kelompok tertentu, berupaya memunculkan negara yang mono-identitas. Masyarakat Indonesia seakan dibuat hilang ingatan akan sejarah keragaman yang dimilikinya.

Secara singkat, politik identitas tak bisa dilawan dengan politik identitas "yang lebih lunak". Ia harus dilawan dengan politik yang mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.

Hal lain yang juga perlu disikapi adalah jangan agama dibawa-bawa pada ranah politik. Agama cukup sebagai keyakinan hidup dan pedoman moral, baik dalam ranah individu maupun sosial ,karena ajaran agama menekankan keimanan, ritual peribadatan, dan moralitas, Sedangkan politik menekankan aturan main dalam perebutan dan pembagian kekuasaan dalam konteks kehidupan bernegara, karena apabila agama digunakan sebagai sentimen pimodial dan etnisitas demi kepentingan politik, maka yang  terjadi adalah politisasi agama yang berpotensi terjadinya kekerasan komunal secara horizontal, dan akibatnya sprit demokrasi yang sudah diperjuangkan dengan susah payah oleh kekuatan rakyat pada tahun 1998 akan sia-sia. Dan Peran para pemimpin agama baik dari agama islam, protestan,katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu secara serempak bahu membahu harus mengarahkan umatnya untuk tidak terjebak dalam politisasi agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu demi memenuhi syahwat politik kekuasaannya.

B.Rasjid

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun