Tiga hari menjalani kehidupan di tengah-tengah santri, sebagai seorang minoritas, menimbulkan suatu kesadaran bahwa bukan hanya perbedaan yang menjadi keniscayaan manusia, namun rasa menghormati, kasih sayang, dan kepedulian juga menjadi hakekat dan takdir dalam setiap diri manusia.
Dari setiap santri yang berinteraksi dengan para Kanisian, tidak ada seorang pun yang terlihat membenci atau bahkan marah akan kehadiran mereka. Yang ada hanya pandangan ingin tahu, rasa hormat, dan keinginan untuk berteman, tidak peduli apa agamanya, sukunya, atau keyakinanannya. Dan hal ini juga menunjukkan bahwa intoleransi sebenarnya muncul hanya karena sebagian kecil orang, yakni para oknum, tidak bisa menerima adanya perbedaan dan besarnya rasa dengki menutupi hati nurani mereka sebagai manusia. Akhirnya, oknum ini menyebarkan kebencian melalui misinformasi dan manipulasi fakta sehingga agama-agama bisa saling diadu-domba.
Sebagai generasi muda Indonesia, yang kaya akan ilmu teknologi informasi dan cara memakainya, sudah seharusnya kita memperbaiki apa yang telah meracuni bangsa ini selama bertahun-tahun. Inilah saatnya kita, generasi emas Indonesia, mengambil langkah besar dan menyuarakan persatuan. Meneriakkan ajakan perdamaian dan saling peduli kepada setiap golongan agama sampai para oknum pembenci tidak sanggup menahan kebenarannya. Sudah saatnya Indonesia bersatu sebagai satu bangsa, menyambut keberagaman sebagai suatu keindahan. Bagaikan kaca patri yang tersusun atas banyak warna dan bagian, namun semuanya menyusun suatu harmoni keindahan yang menyinari seluruh ruangan di sekitarnya.
Tapi masih ada satu pertanyaan lagi. Sanggupkan generasi muda mengemban tugas berat ini? Atau justru mereka terbawa arus polarisasi dan semakin mempertajam kepingan perbedaan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H