Akan tetapi, segala pertanyaan dan prasangka ini akhirnya luluh setelah kenyataan menjemput mereka setibanya bus menurunkan para Kanisian di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy Cirebon. Meski kedatangan awal ini disambut dengan tatapan membingungkan dari para santri yang saat itu sedang menjalankan pengajian, namun seiring berjalannya waktu, timbul kesadaran bahwa ada hati yang lembut di balik setiap mata yang memandang.
Para Kanisian disambut bukan sebagai orang asing, melainkan sebagai teman yang mampu berbagi cerita dan pengalaman dari perspektif keyakinan lain. Mereka bahkan memberikan banyak jamuan bagi tamu-tamu yang sebagian besar berumur 17 tahun ini setiba kedatangan mereka. Para santri yang lewat pun selalu menundukkan diri dan memberikan rasa hormat kepada setiap Kanisian yang ditemui, cukup kontradiktif dengan segala prasangka yang muncul ketika masih di Jakarta.
Satu hal yang terlihat jelas, pesantren ini sungguh mengedepankan rasa toleransi akan keberagaman agama di Indonesia. Mereka bahkan mengakui bahwa kedatangan Kolese Kanisius menjadi kesempatan untuk bisa memahami seluk beluk agama dan keyakinan lain yang mungkin belum pernah ditemui oleh para santri seumur hidup mereka sejauh ini. Seorang pengasuh ponpes mengeluarkan suatu pernyataan yang perlu disadari oleh semua masyarakat Indonesia.
"Perbedaan keyakinan di dalam bangsa Indonesia merupakan sebuah keniscayaan, sebagaimana halnya perbedaan akan selalu hadir dalam masyarakat selama manusia masih ada di atas muka bumi ini. "
Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi kita semua. Jika perbedaan keyakinan dan agama sudah merupakan suatu hal yang tidak terelakkan, maka mengapa pemaksaan agama atas dasar kebenaran yang absolut masih bertahan bahkan sampai dengan masa modern ini yang katanya lebih terbuka terhadap perbedaan? Mengapakah diskriminasi dan stigmatisasi masih dibiarkan hidup di tanah beragam iman ini?
Menaikkan Literasi, Menurunkan Polarisasi
Bertahannya rasa intoleransi di bangsa ini tidaklah jauh dari persoalan minim literasi masyarakat Indonesia. Dapat dilihat bahwa dari mereka yang bersuara keras menyerukan kebencian, hampir tidak ada yang benar-benar mendalami ajaran agamanya sendiri. Seolah-olah argumennya bagaikan tong kosong yang nyaring bunyinya.
Di hari pertama ekskursi, kepala dari Ponpes Kebon Jambu menyampaikan suatu fakta dalam sebuah seminar pembuka bagi para tamu Kolese Kanisius beserta sejumlah santri terkait demo politik identitas yang terjadi beberapa tahun lalu, tepatnya tahun 2017. Yang beliau katakan adalah tidak jauh dari kebenarann.
"Kakak saya pernah berkata bahwa para santri yang ikut-ikutan demo di Jakarta (demo 212 untuk menuntut dugaan penistaan agama Ahok) bisa dipastikan mondok (tinggal dan studi di pesantren) untuk waktu yang sebentar saja, entah itu karena tidak betah atau alasan lainnya. Bisa saja hanya 3 tahun atau bahkan kurang. Santri-santri yang menjalani full 7 tahun di pondok ini, pasti akan tetap diam di rumah karena mereka tahu akan kebenaran manipulasi video melalui hasil literasi di dunia digital."
Kutipan singkat ini menyatakan bagaimana konflik dan demonstrasi massal berakarkan pada kebencian tidak berdasar serta membuktikan mudahnya polarisasi mempengaruhi banyak orang hanya karena kekurangan literasi. Ini hanya satu contoh dari banyak kasus kericuhan yang terjadi akibat konflik antar agama yang seringkali disebabkan oleh penghakiman salah satu pihak terhadap agama lain tanpa ada alasan yang jelas atau bahkan hanya karena disulut dan diprovokasi pihak tertentu tanpa ditanyakan latar belakang argumen ketidaksetujuannya (seringkali disertai dengan suap untuk mengambil hati massa).