Kepingan Kebenaran
Kebenaran adalah sebuah cermin di tangan Tuhan.
Ia jatuh, dan pecah menjadi kepingan-kepingan.
Setiap orang mengambil satu keping, melihatnya,
dan berpikir mereka memiliki seluruh kebenaran.Â
(Different Roads, Jalaluddin Rumi)
Kepercayaan, keyakinan, dan agama. Suatu superstruktur yang terbangun atas basis manusia yang kehilangan arah dan mencari tujuan hidupnya. Tujuan yang berhilir pada perbedaan definisi akan kebenaran, namun semuanya berujung pada satu Tuhan, menciptakan alur-alur sungai yang berkelok-kelok dan menyajikan keindahan dalam berbagai spektrum variasi keberagaman.
Sayangnya, hari-hari ini terlalu banyak pihak yang ingin mengambil alih keindahan ini dan meremukkannya sehingga setiap kepingan perbedaan melontarkan dirinya jauh antara satu dengan yang lain, menajamkan diri, seolah-olah ingin melindungi dirinya terhadap kepingan lain, seolah-olah ingin menyatakan bahwa keyakinannya adalah yang paling benar dan apapun yang berbeda sudah dipastikan salah, sesat, serta tidak mampu mencapai kehidupan abadi.
Stigma-stigma inilah yang menghambat bangsa Indonesia mencapai kesatuan sejati selama lebih dari 79 tahun. Meski telah lepas dari rantai kolonialisme, sepertinya bangsa ini masih terikat dengan rantai prasangka dan diskriminasi. Akar-akar kebencian antar agama terlihat masih bertahan sampai dengan saat ini. Namun, apakah hal ini akan diteruskan begitu saja? Bagaimana generasi emas Indonesia tahun 2045 bisa tercapai kalau masalah mendasar seperti ini saja belum dapat teratasi dengan baik?
SMA Kolese Kanisius menjawab pertanyaan ini melalui kegiatan ekskursi yang baru saja dijalankannya.
Menjelajah Dayah, Kekhawatiran Semata
Pagi-pagi terdengar keriuhan, banyak mobil berdatangan jauh sebelum waktu bel sekolah, anak-anak berpakaian polo terlihat kesulitan membawa tas beratnya dan terdengar beberapa percakapan di antara para siswa mengenai tujuan perjalanan mereka. Beberapa merasa semangat dan tidak sabar untuk mendapatkan pengalaman baru, namun ada pula yang khawatir bagaimana mereka akan diperlakukan, dipandang, dan apakah mereka akan diterima.
Para siswa Kolese Kanisius ini sedang mempersiapkan diri untuk pergi ke pesantren masing-masing yang tersebar di Pulau Jawa. Ketidakpastian yang akan dihadapi selama 3 hari menginap di pesantren menimbulkan prasangka-prasangka buruk akan hal apa yang dapat terjadi di sana. Apalagi para Kanisian datang sebagai minoritas dan harus berhadapan dengan populasi mayoritas yang terdiri dari ratusan orang, dengan hanya didampingi 1 atau 2 guru.Â