Di Indonesia, kritik terhadap kebijakan kontrol harga juga dilayangkan oleh peneliti Indef. Dari berita yang dilansir viva.co.id, Ahmad Heri Firdaus menilai kebijakan pemerintahan Jokowi tidak komprehensif dan semestinya jangan hanya bertujuan mengamankan pasokan bahan baku minyak goreng dalam negeri saja. Padahal dengan ketersediaan pasokan minyak goreng dalam negeri yang melimpah, berarti harga akan kompetitif dan terjangkau oleh masyarakat.
Kritik terhadap kebijakan Jokowi juga dilayangkan oleh DPR fraksi Partai Demokrat secara provokatif, yang menilai hampir seluruh kebijakan pemerintahan Jokowi menimbulkan masalah baru. Padahal dalam kasus minyak goreng ini dalam pandangan penulis masalahnya cuma satu, yakni betapa brutalnya kapitalis Indonesia.
Brutalisme
Brutalisme adalah diksi yang paling cocok dengan kondisi struktur mode produksi (produk sawit) di Indonesia. Argumen ini tidak berlebihan, terlihat jelas dari reaksi akhir PKS nakal terhadap strategi kebijakan pemerintahan; yakni menyiratkan langkah untuk mempertahankan margin keuntungan terbesar bagi akumulasi kapital, sedangkan petani sawit menjadi salah satu korban dari kebrutalan terstruktur ini.
Pada awal abad 19, Karl Marx telah menggambarkan kondisi eksploitasif cara produksi kapitalis. Dalam magnum opus-nya, Das Capital, ia memulai topik yang dianggap remeh oleh pengamat ekonomi saat itu, yaitu nilai suatu komoditas. Pengantar abstraksi Das Capital, dua abad lalu, nyatanya mirip dengan fenomena brutalitas kapitalis sawit Indonesia.
Pada mekanisme pasar, atau teori ekonomi dasar tingkat SMA, nilai (yang ditukarkan dengan uang) untuk suatu barang ditempatkan secara relatif dalam hubungan kuantitatif; begitupun dengan harga minyak goreng yang naik disebabkan karena permintaannya yang juga naik.
Tetapi Marx(isme) tidak berhenti di situ, penyelidikan nilai tukar atas kuantitasnya sebagai komoditas mengabaikan nilai guna secara sosial. Harga yang layak dibayarkan untuk seliter minyak goreng tidak berhenti di tangan seorang borjuis pemilik pabrik, tetapi mengalir juga kepada (upah) kerja petani di rantai hulu produksi.
Konsep ideal ini kerap direduksi ditangan para pemburu rente, contohnya PKS nakal. Kita masyarakat awam hanya menerima nilai pakai atas nilai tukar minyak goreng dari pabrik sebagai utilitas bahwa minyak goreng tersebut bermanfaat bagi makanan yang kelak kita santap. Akan tetapi, nilai guna sosial yang lebih detail tak pernah terlihat dari kemasannya atau dari etalase ritel, kecuali bagi yang pernah mendalami ajaran (modern wisdom) marxisme.
Akumulasi kapital dengan cara kerja spekulatif dan perburuan rente toh hanya akan dinikmati oleh borjuis kapital. Seseorang yang hanya bertindak sebagai pekerja/pegawai memiliki masa bakti yang terbatas, dan akan berakhir (pensiun) tanpa kepemilikan perusahaan. Dalam lingkaran setan kapitalisme, seorang pekerja hanya akan menikmati hasil dari cara produksi kapitalis dalam jangka waktu tertentu.