Mohon tunggu...
radbenitos
radbenitos Mohon Tunggu... Tutor - Nasionalis peranakan Batak-Jawa

Kawan anti nekolim. Dekmar. Kolom filsafat adalah kenyamanan bagi orang-orang woles maupun jalan ninja bagi clan Uchiha dan penggali sejarah ide.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Inspirasi Iman dari St Fidelis Sigmaringen

25 April 2022   01:23 Diperbarui: 25 April 2022   13:58 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meriahnya pesta peringatan Aloysius Gonzaga, Cijantung. (Dokumentasi pribadi Romo Rofinus Neto)

Si(apa) St. Fidelis Sigmaringen?

Tidak semua umat Katolik hafal dengan nama Santo/Santa, apalagi latar belakang ia dibeatifikasi menjadi "orang yang diberkati". Lebih dari 10.000 nama, sangat wajar jika umat Katolik tidak menghafalnya; kecuali sebagai nama pelindung dalam nama baptisnya sendiri (umat Katolik), atau pelindung paroki/sekolah/lingkungan dalam kesehariannya.

Saya menjadi familiar dengan St. Fidelis karena ia adalah nama paroki/gereja di kampung halaman Papa, di Parapat, Sumatera Utara. Kendati demikian, saya baru mengetahui siapa St. Fidelis von Sigmaringen bertepatan dengan perayaan peringatannya pada misa ekaristi minggu ini, 24 April 2022, sebagai hari peringatannya yang ke-400.

Meski disebut pesta peringatan pelindung paroki, namun jauh dari kesan meriah seperti di paroki lain yang saya ketahui. Misalnya, Paroki Aloysius Gonzaga Cijantung (Jakarta), rajin mengadakan misa akulturasi budaya pada minggu yang paling mendekati tanggal 21 Juni; tanggal peringatan Santo Aloysius Gonzaga. Selepas misa, halaman gereja atau bisa pula bertempat di sekolah Slamet Riyadi (sebelah paroki) masih akan ramai oleh umat paroki yang melakukan aksi pertunjukan kesenian dan lain sebagainya.

Hal itu tidak terjadi di paroki St. Fidelis Sigmaringen hari ini. "Prihatin", begitulah tanggapan Pastor saat khotbah tadi. Saya yang tak tahu-menahu tentang keberadaan paroki ini, karena memang saya bukan binaan "ibu gereja" (paroki) St. Fidelis, jadi cukup tergugah dengan keadaan paroki. Renungan khotbah pastor ini menjawab keheranan saya pada misa-misa sebelumnya, terutama misa Paskah kemarin yang kurang khusyuk beribadah jika berada di luar gedung gereja.

Gereja St. Fidelis saat ini hanya fokus pada satu kali (waktu) misa mingguan dan hanya memanfaatkan gedung gereja tua ini yang belum berkembang sepanjang usia sang Romo pengkhotbah. Artinya, kalau saya ikut misa di luar gedung gereja, maka nikmatilah suara burung, jangkrik, dan klakson kapal ferry yang bernyanyi dari kejauhan.

Martir yang setia

Kendati tanpa kesemarakkan, khotbah sang Romo mampu membawa saya mengenal dan menghayati iman Santo Fidelis Sigmaringen. Saya yang kali ini mendapati tempat duduk pojokan tembok dekat dengan Frater yang bertugas sebagai organis, semakin (terlihat) terpojok karena reaksi/gestur kebiasaan saya sedang berpikir (emotionally) adalah "nyender", melipat tangan di dada, sambil sesekali telunjuk memijit-mijit dahi.

Dari pemaparan Romo, saya baru tahu St. Fidelis Sigmaringen lebih umum dikenal sebagai pembela/advokat orang-orang miskin. Terlebih dari itu, ia adalah martir yang memiliki keteguhan iman Gereja Apostolik (katolik) sewaktu era gejolak reformasi melanda daratan Eropa.

Kebetulan yang tidak saya sangka, peringatannya hari ini semakin cocok bersamaan dengan perayaan Kerahiman Illahi oleh gereja katolik (sedunia), yakni kisah Rasul Thomas yang skeptis dengan berita bahwa Kristus telah bangkit.

Di pojokkan itu saya sepintas terpikirkan bahwa ke-iman-an dan ke-percaya-an memiliki perbedaan prinsipil, meski keduanya bisa dan sering digunakan untuk menunjuk/menggambarkan situasi yang serupa. 

St. Fidelis adalah contoh ke-iman-an yang nyata. Di tengah perdebatan Kontra-Reformis dan Reformis, ia menyatakan iman Gereja yang Apostolik, yakni Gereja Katolik yang berangkat dari dasar Para Rasul dan Para Nabi. Meski tidak ada publikasi yang secara detail menjelaskan pandangan martir ini bertahan pada ajaran gereja katolik, namun kita umat katolik tahu setidaknya sedikit pada sejarah Serikat Yesuit, yang menerima gugatan Lutheran terkait indulgensi berbayar namun menolak reformasi gereja--meski anda sudah tahu arti apostolik, tanpa pengetahuan spiritual/iman anda akan sulit menangkap isi pikiran St. Fidelis. Saya akan terangkan selanjutnya mengenai Apostolik dalam pandangan populer.

Sedangkan ke-percaya-an, lebih seperti halnya Rasul Thomas (tanpa bermaksud merendahkan). Metode dan dasar skeptis adalah hal yang biasa terjadi di kehidupan sehari-hari kita sebagai tuntutan masyarakat berilmu. Thomas memerlukan bukti untuk percaya bahwa Yesus telah bangkit. Ada kemungkinan jika Thomas hanya mengikuti Yesus tanpa dasar ilmu taurat serta mendengar perkataan Yesus namun sering masuk kuping kanan-keluar kuping kiri.

Dasar iman semasa kecil

Selepas misa, saya segera mencari publikasi mengenai St. Fidelis Sigmaringen. Sigmaringen adalah sebuah kota di selatan Jerman, kota kelahiran St. Fidelis pada 1 Oktober 1578.

St. Fidelis yang bernama kecil Markus Rey, adalah anak dari walikota Sigmaringen, yakni Yohanes Rey dengan istrinya Genoveva Rosenberger. Nama baptis Markus merupakan nama yang sama dengan sang bapak baptisnya, Markus Idrch. Ia dibesarkan secara saleh dan penuh ilmu kebijaksaan (filosofis) sang ayah.

Sewaktu kecil, ia diajak sang ayah berjalan-jalan dan menemukan seorang pemabuk berat yang tidak bisa berdiri dan berguling-guling di atas tanah. Kemudian sang ayah mengajaknya mendekati pemabuk tersebut sambil bertanya mengenai keadaannya. Namun, si pemabuk menjawab tak karuan. Markus kemudian mendapati perintah ayahnya, 

"Lihatlah kekejian ini! Orang malang ini dalam bahaya jika ia tidak dibawa ke tempat yang aman, ia mungkin akan dirampok atau menjadi korban kejahatan lainnya"

Sesudah itu ayahnya bertanya kepada Markus kecil, 

"Apa pendapatmu mengenai pemabuk ini? apa kamu menyukainya?"

Markus seketika tertegun tak bisa menjawab, tapi kemudian ia bertanya pada ayahnya, 

"Ayah, kenapa pria ini memilih menjadi pemabuk berat yang tak dapat berkata-kata?"

Dan sang ayah menjelaskan hal yang menjadi dasar kecintaan Markus kecil pada ilmu kebijaksanaan (nantinya ia adalah pelajar ilmu hukum dan filsafat), 

"Anakku, bila nanti kamu besar, janganlah kamu seperti orang ini yang kebanyakan minum sehingga hilang kesadaran, tak dapat berdiri dan berjalan. Ia menjadi orang yang kehilangan akal, tak bisa bicara dengan kata yang tepat, dan tak tahu lagi yang ia lakukan. Beberapa ditemukan terperosok di selokan, tenggelam, dan mati beku di tengah musim dingin. Jadi lihat, bagaimana orang ini menghina Tuhan yang mahapengasih. Pertama-tama ia menggunakan uang atas kemurahan hati Tuhan namun disia-siakan untuk makanan dan minuman yang tidak berguna dan kerusakkannya sendiri. Minuman yang disalahgunakan ini menjadikannya seperti binatang tanpa akal. Lebih-lebih ia adalah contoh buruk dari fenomena alam semesta yang menempatkan dirinya pada celaka; binatang sekalipun tidak akan pernah!"

Cerita masa hidup St. Fidelis umumnya beredar di internet, seperti halaman wikipedia, Fidelis dari Sigmaringen; dan laman Keuskupan Agung Freiburg. Saya pribadi hanyut dalam kisah hidupnya, hingga menyelesaikan catatan ini dekat tengah malam.

Patung Pelidung Paroki St. Fidelis Sigmaringen/dokpri
Patung Pelidung Paroki St. Fidelis Sigmaringen/dokpri

Populer atau kekinian

Di masa sekarang ini umat Kristen di Indonesia, baik Katolik maupun Protestan, tak banyak mewarisi konflik sejarah denominasi Kristen. Misalnya, anggapan "asalkan ia percaya dengan ketuhanan Yesus Kristus", adalah pernyataan yang familiar di telinga saya.

Dari beberapa pengalaman maupun pergaulan sesama kawan Kristen, saya mendapati pertimbangan kenyamanan liturgi adalah paling mendasar bagi pilihan bergereja. Saya misalnya, yang akrab dengan liturgi katolik merasa tak nyaman dengan liturgi sebagaian besar protestan yang kerap menggelegar sewaktu khotbah. Saya tak mendapati suasana batin yang khusuk dengan cara itu. Atau pernah juga praktik "bahasa roh", justru membuat saya masa bodo dan tetap mematung.

Psikologis saya memang memberontak, namun saya tetap ikuti proses itu sampai selesai, meskipun tidak baik-baik saja, hanya karena menjaga perasaan orang di sekitar saya.

Rupanya memang ada penjelasan teologis atas keadaan psikologis tersebut. Dasar teologis sakramen ekaristi di gereja katolik yang mengedepankan kesakralan Perjamuan Kudus adalah iman dan tradisi gereja Apostolik. Sehingga liturgi disusun sedemikian rupa oleh gereja katolik agar menjaga kesakralan upacara tersebut, dan lebih menghayati iman atas buah pengajaran Yesus Kristus di dunia yang fana; dan dalam pandangan saya, gereja katolik konsisten dalam wisdom itu (apostolik) karena imam yang berkaul selibat.

Mereka, para imam Gereja Katolik, adalah satu-satunya yang menjalankan bukan hanya tradisi gereja perdana melainkan ajaran Yesus Kristus, bahwa KerajaanNya bukanlah dari dunia ini. Geraja katolik tidak membuat liturgi yang meriah dan menarik atau unik, melainkan mengajak orang berdosa seperti saya untuk mengenal kehidupan spiritual sejati. Keteguhan iman St. Fidelis mengenai Gereja Apostolik barangkali serupa dengan pandangan saya. 

Sementara itu, Markus Rey dewasa yang muak dengan korupsi yang merajalela, lantas memutuskan untuk membiara dalam Kapusin; pilihan di samping ordo Serikat Yesuit. Hal itu dikarenakan setelah ia sadar bahwa kepintarannya di bidang keilmuan hukum dan filsafat, juga bahasa, tak ada bedanya dengan orang-orang bodoh yang akhirnya korup dan tak bermoral-berada di lingkungannya sebagai advokat. Ia ditahbiskan menjadi imam pada 3 Oktober 1612, bertugas di Kapusin Freiburg, Swiss, dan berkarya dibeberapa tempat sepanjang Swiss dan Austria saat ini.

Saya pun hanyut dengan keputusan paling krusial St. Fidelis menjadi imam. Luar biasa taatnya seorang Markus Rey alias St. Fidelis dari Sigmaringen. Dasar prinsip moral dari sang ayah tetap ia hayati sampai ajalnya. Selain menjadi advokat bagi yang terpinggirkan, dengan pengetahuan hukum dan filsafat menjadikan St. Fidelis (yang artinya setia) sebagai orator sekaligus propagandis terhadap gejolak reformasi gereja oleh Kalvinisme dan Zwinglianisme; pada saat itu sudah ada anjuran kepada St. Fidelis dari uskup agar mengkhotbahkan iman Katolik tanpa paksaaan.

"Apakah ada bedanya bila mata terpejam?

Fikiran jauh mengembara, menembus batas langit...",  sepotong lirik dari Ebiet G. Ade terngiang dalam lamunanku.

Pustaka

Waitzenegger, F.J. (1817). Fidelis von Sigmaringen, eine merkwrdige und lehrreiche Geschichte. Augsburg: Doll.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun