“A, a, aku ingin melamarmu untuk menjadi isteriku, Prasasti!”
“A, a, paaa? A, a, aku menjadi isterimu, mas?”
“I, iyaaa, Prasasti! Kauingin mendengar kata bapak tadi setelah aku mengutarakan niat untuk menyuntingmu, saat kau sedang keluar bersama ibu?!”
Prasasti mengangguk. Bahari mengulang kembali percakapannya dengan Tuan Yo.
“Apaaa? Kauingin menikahi gadis itu, Bahari? Apakah kau serius atau hanya sekedar..,” Tanya Tuan Yo heran.
“Aku serius, Pak. Prasasti tidak hanya cantik, tapi ia gadis sederhana dan jujur, Pak!”
“Tapi kau belum tahu siapa keluarganya, Bahari!”
“Pada akhirnya kita akan mengetahui keluarganya, Pak. O, ya, kebetulan Prasasti minta izin pulang ke kampung, untuk menjenguk orangtuanya, bolehkah aku mengantar Prasasti pulang, pak?”
“O, ya?! Hm, kalau kalau begitu jangan kau yang mengantarnya. Bapak takut orangtuanya salah paham. Nanti dikira telah terjadi apa-apa dengan putrinya. Sebaiknya, biar Jarwo yang mengantar! Itung-itung si Jarwo sebagai utusan keluarga kita bertemu keluarga si Prasasti, nak!”
Mendengar cerita Bahari, Prasasti terperangah! Bahari hanya tersenyum menyaksikan keterkejutan di raut muka Prasasti.
“Prasasti, kau dan aku ibarat dua sisi segitiga samakaki. Kita berdiri pada nasib yang sama. Aku mencintaimu, Prasasti!” Ucap Bahari dengan tulus.