“Bagaimana jika Tuan Yo tahu tentang..,?” Kata Prasasti keluh.
“Tentang orangtuamu, maksudmu, Prasasti? Bapak dan ibu sangat terbuka dan tidak melihat seseorang itu dari latar belakang keluarganya. Selama orang itu baik, maka keluargaku akan menerimanya dengan baik pula. Buktinya? Hingga hari ini, ibu tidak pernah tahu bapak berasal dari mana atau datang dari keluarga seperti apa, tapi..”
“Bukan itu maksudku, mas Bahari! Tapi, bagaimana bila keluargamu tahu bahwa ibuku dikatakan gila oleh sebagian warga pesisir, karena selalu menunggu dermaga di setiap senja?” Tanya Prasasti dengan terbata.
“Itu bukan urusanmu, Prasasti. Aku akan menjelaskan kepada keluargaku tentang kisah sedih yang kau dan ibumu alami. Yang penting, bersediakah kau menerima lamaranku, Prasasti?!”
“Ta, tapi, kau keturunan pelaut, mas! Aku takut seperti ibu dan senasib dengan wanita pesisir lainnya yang selalu ditinggal..”
Bahari menepikan mobilnya di pinggir jalan di bawah pohon besar yang teduh. Tangannya meraih tangan Prasasti. Lalu digenggamnya kuat-kuat. Matanya menghujam lembut ke mata gadis cantik dari pesisir Kamboja itu. Ia berkata dengan kata-kata yang sejuk.
“Tidak semua keturunan pelaut akan menjadi pelaut, Prasasti. Aku, contohnya. Akan kau buktikan, bahwa seorang gadis pesisir yang telah menikah dengan anak pelaut, maka mereka akan tinggal di kota yang jauh dari pesisir. Mereka akan hidup bahagia. Dan, mereka itu adalah kau dan aku, Prasasti!”
Bahari terdiam sejenak. Tatapannya tetap menghujam ke mata Prasasti. Dadanya bergemuruh. Jemari Prasasti yang masih di genggamannya terasa dingin dan bergetar kecil. Angin berhembus semilir. Matahari di langit mulai redup pertanda hari sudah memasuki senja. Bahari memegang dagu Prasasti dengan lembut. Mata mereka bersitatap saling membaca isi hati.
“Dengan sepenuh jiwa, aku bertanya kepadamu, bersediakah kau menjadi isteriku, Prasasti?”
“Hm, em!”
Anggukan kepala Prasasti sudah cukup membuat Bahari memeluk tubuh gadis itu dengan perasaan bahagia yang penuh, pekat dan padat!