Mohon tunggu...
Jangkrik Pohon
Jangkrik Pohon Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Warga Makassar

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Antara Poker dan Togel

15 Maret 2011   05:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:47 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Seharian tadi saya menghabiskan waktu di Warkop Punggawa. Setelah pagi harinya, motor milik adik Ibu saya, usai diperbaiki rem depan dan tegangan rantainya. Terhitung hari ini, saya seperti harus mencari aktivitas lain, berhubung masa-masa kerja sudah lewat sebagai pegawai upah jasa di lingkup pemkab Lutim. Seperti biasa, kondisi di warkop ini amat sepi saat siang. Membuat pemiliknya terlihat amat malas saat saya memberi sinyalemen untuk mengaktifkan jaringan internet di warkopnya.

Dua orang yang sedang bersamanya juga langsung kabur ketika saya tiba. Saya tak tahu sebabnya. Malah saya sama sekali tak mengenal kedua orang itu. Tapi, dari gelagatnya, saya bisa yakin mereka tengah membicarakan tentang judi togel yang memang sedang marak akhir-akhir ini di beberapa tempat. Saya termasuk salah satu orang yang tak mengambil pusing dengan perilaku judi orang-orang di kampung ini. Malah, fenomena serupa seperti telah menjadi pemandangan biasa sejak saya masih berumur 12-15 tahun.

Dahulu, tetangga saya termasuk salah seorang bandar togel yang ternama. Ia menguasai hingga beberapa kabupaten untuk jenis judi itu. Kalau sekarang namanya togel, seingat saya, dulu orang-orang di kampung ini menyebutnya porkas atau kupon putih, yang merujuk pada sejumlah nomor yang di isikan ke atas selembar kertas kecil. Nomor-nomor yang di isikan itu biasanya terdiri dari dua angka, tiga, hingga empat angka. Saya sendiri tak pernah memainkannya, meski beberapa kenalan dan sepupu biasa mengajak untuk ikut memasang.

Tapi, memasuki tahun 1997, jenis judi itu jadi jarang lagi dilakukan. Karena semakin intensifnya razia oleh pihak kepolisian, tak lagi ada bandar yang berani main buka-bukaan. Di penghujung tahun 1998, saya hampir tak lagi mendengar istilah togel, porkas atau kupon putih, meski jenis perjudian kartu dan domino masih tetap dilakoni oleh banyak kalangan. Di SMA, permainan kiu-kiu (saya tak tahu pasti bahasa Indonesianya-red) pernah marak dimainkan di dalam kelas. Awalnya hanya pasangan kecil-kecil saja, tetapi lama-kelamaan jadi membesar juga. Meski saya juga tak pernah memainkannya, bersama seorang teman karibku saya juga pernah menikmati hasil judi di kelas itu untuk menonton festival musik di Sorowako.

Judi dengan kartu itu masih sering terlihat saat saya sesekali pulang dari masa perkuliahan di Makassar. Beberapa tempat perjudian di beberapa rumah juga sering saya sambangi, sekedar untuk melihat-lihat, atau menyapa sebagian dari mereka yang merupakan kawan dekat saya sejak dulu. Tapi, meski mereka masih melakoni aktivitas bermain judi itu, faktor kedekatan membuat saya tak pernah memandang mereka sebagai pendosa yang pantas dihukum. Malah, dalam beberapa kasus, kadang saya juga ikut menimpali dari luar tentang jumlah taruhan mereka.

Saat saya kembali ke tempat ini beberapa waktu yang lalu, saya mendapati lagi mereka berbicara tentang nomor dan shio. Tiba-tiba saya seperti dibawa ke masa beberapa tahun yang lalu, ketika jenis judi seperti itu marak dimainkan hingga ibu-ibu rumah tangga. Saya juga tak tahu, apa sebab hingga togel kembali merebak di tempat ini. Tapi, berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, caranya kini jauh lebih rapi dan sukar ditangkap. Pasalnya, dahulu pihak kepolisian menghentikan jenis judi ini dengan menangkapi para bandarnya.

Sekarang, bila pihak kepolisian mau melakukan hal serupa, mereka pasti bingung siapa bandarnya. Era internet telah memacu sebentuk sistem perjudian yang apik, membuat siapapun kini dapat menjadi bandar bagi dirinya, bagi yang punya modal di atas lima juta rupiah. Mereka hanya memerlukan laptop atau ponsel yang mendukung koneksi internet, sebuah buku tabungan virtual dan isinya, serta buku rumus-merumus.

Bagi yang cuma modal sepuluh ribu perak, bandar kecil-kecilan juga siap mewadahi. Modalnya, sistem kepercayaan. Seseorang yang ingin melakukan pemasangan cukup menelepon atau melayangkan sms ke nomor sang bandar, dan menunggu apakah nomornya naik atau tidak. Naik atau tidak, si bandar akan berkeliling di sore hari ke rumah-rumah warga yang sudah melayangkan nomor tertentu, untuk menagih orang-orang tersebut, atau memberikan hak kepada yang menang. Karena tak semua orang bisa dengan mudah mengetahui nomor si bandar, hanya orang-orang yang memang gemar berjudi yang akan berupaya mencari tahu nomor-nomor para bandar.

Menariknya, karena ketentuan nomor-nomor yang menang amat mudah diketahui, karena togel di sini hanya mengikuti dua putaran, yakni putaran Singapura dan Hongkong. Di jam-jam naiknya nomor, biasanya lalu lintas jaringan internet akan menjadi semakin tinggi di malam hari usai maghrib untuk putaran Singapura, dan pada pukul sembilan malam untuk putaran Hongkong. Dengan begitu, para pemasang kadang lebih dulu tahu nomor yang naik ketimbang para bandar.

Polisi jelas kebingungan mau menangkap yang mana. Meski setiap hari orang terus saja berbicara tentang nomor yang naik dengan bebas saja, tetapi menangkap mereka hanya karena iseng membahas nomor togel yang naik di internet jelas tak berdasar. Paling banter, mereka dapat membongkar judi togel itu, dengan melihat statistik pengiriman sms semua provider telepon. Ke siapa yang paling banyak, dan apa isi smsnya. Tapi, itu tentu satu tekhnologi yang sepertinya belum ada di derah ini hingga 20 tahun mendatang.

Sebagai seseorang yang sudah biasa melihat fenomena perjudian itu, saya jadi seseorang yang tak mengambil pusing juga dengan judi togel dan para pelakonnya. Terlebih, memang ada perbedaan antara orang-orang di kampung ini dalam menyalurkan hobi judinya dengan yang ada di tempat lain. Di sini, mereka yang berjudi bukanlah orang-orang yang rela menghabiskan hartanya demi praktik perjudian. Saya tak pernah mendengar cerita seperti itu. Yang ada, malah hanya cerita para bandar di masa lalu yang harus gulung tikar gara-gara kehabisan uang untuk menyuap polisi.

Para penjudi di kampung ini adalah orang-orang yang kebanyakan bekerja di tambang, dan telah memiliki gaji yang cukup buat keluarga. Hanya saja, kurangnya hiburan dan permainan yang bisa mereka jadikan sebagai ruang relaksasi dan menghilangkan stress di tempat kerja, membuat mereka menghamburkan sedikit penghasilan untuk bermain game bertitel togel. Seorang sepupu saya yang biasanya hanya bertandang dua kali sebulan ke Malii dari tempat kerjanya di Sorowako, seringkal mengeluhkan kurangnya sarana pelepasan penat di kabupaten ini.

Kadang, ia bertandang ke warkop atau warnet untuk bermain poker. Tapi, koneksi yang kadang macet, atau keinginan untuk mencari permainan lain, masih sering timbul. Ia lalu memilih bermain judi togel, dan kadangkala menjadi bandar untuk beberapa kawan kerjanya di Sorowako. Seperti dua orang yang saya temui tengah berbincang tentang togel di warkop itu, sepupu saya menjadi satu narasi berbeda tentang praktek haram dalam ajaran agama itu. Toh, dalam beberapa sisi, memang tak ada perbedaan antara bentuk permainan seperti poker atau togel. Semuanya berubah sebagai arena relaksasi, ruang permainan untuk mengisi waktu senggang. Hanya saja, judi memang terlanjur dilarang oleh bang rhoma, sedangkan poker tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun