Mohon tunggu...
Benico Ritiauw
Benico Ritiauw Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Debat Pilgub Maluku antara Ada dan Tiada

26 Juni 2018   05:18 Diperbarui: 26 Juni 2018   15:02 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan sampai tulisan ini dibuat, masih terbesit usaha untuk terus meyakinkan diri bahwa menonton debat Pilgub Maluku jauh lebih elok ketimbang menonton serial kartun Shaun the Sheep.  

Debat yang berdurasi kurang lebih satu jam itu mencoba menampilkan sosok calon pemimpin daerah yang mampu dan sanggup menjawab kondisi kekinian rakyat Maluku dari berbagai aspek. 

Dibawah tema pembangunan sumber daya manusia dan pengelolahan sumber daya alam, masing-masing pasangan calon saling beradu gagasan, ide, serta terobosan yang sekiranya kapabel untuk menghadirkan wajah baru bagi Maluku. Jika saja debat itu layaknya kontes Indonesian Idol maka tentunya ketiga pasangan calon yang kelihatannya asyik berdendang dengan visi-misi mengharapkan datangnya penilaian terbaik dari gerombolan para juri.

Tentu juri yang dimaksud bukanlah panelis yang disiapkan KPU melainkan rakyat Maluku. Dua episode debat yang diselenggarakan dengan tema yang berbeda, diharapkan mampu mengakomodasi ide para pasangan calon guna menjelaskan sesuatu yang penting bagi rakyat. Namun nampaknya cita-cita ini membias !

Hampir bisa dipastikan bahwa perdebatan panjang itu hanya mampu menjawab sebagian kecil dari dari apa yang seharusnya dijawab bila merujuk pada tema perdebatan. Mungkin ada pelarian dengan menjelaskan bahwa mekanisme debat yang disusun tidak memungkinkan untuk menjelaskan semua hal sekaligus dengan mempertimbangkan waktu yang sangat minim untuk berargumentasi. Akan tetapi Maluku membutuhkan pemimpin yang bukan hanya peduli tetapi juga cerdas agar mampu membaca fenomena serta memcah kebuntuan berfikir yang selama ini diaromai pertanyaan besar tentang mengapa Maluku masih tetap tertinggal. 

Bila saja alibi tentang waktu masih dipergunakan maka sudah bisa diprediksi alasan etis pemimpin ketika gagal menyelesaikan program prioritas yakni 5 tahun adalah waktu yang terlalu singkat. Tentunya ketiga pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur memiliki semangat yang sama untuk Maluku baru akan tetapi ada semacam kegagapan untuk mengartikulasikan fenomena sehingga suasana perdebatan yang seharusnya berbuah pencerahan berubah menjadi kegalauan. 

Kemiskinan adalah aspek yang sedikit banyak disinggung dalam perdebatan itu sehingga memicu daya nalar para pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur.  Industrialisasi, regulasi anggaran, pemberdayaan kelompok tani dan nelayan, adalah segelintir dari berbagai aspek ekonomis yang dikemukakan guna merespon permasalahan kemiskinan. Akan tetapi kehadiran deskripsi argumentasi ini hanya mempertegas kegagapan itu.

Kemiskinan dimengerti dan dijelaskan hanya dalam satu koherensi tunggal yakni ekonomi. Dengan demikian semacam ada pre-test bahwa ketiadaan daya beli adalah satu-satunya konsekuensi logis dari kemiskinan. Jika menggunakan data dari Badan Pusat Statistik di mana pada bulan september 2017 sebanyak 320,42 ribu jiwa (18,29 persen) terjangkit virus kemiskinan ekonomis, maka terasa wajar argumentasi seperti itu digunakan. 

Namun rakyat Maluku sepertinya antipati dengan data statistik bernada pesimistis semacam itu yang mengeksplisitkan satu penyebab tunggal dari kompleksnya peristiwa. Meminjam bahasanya Herbert Mercuse, seorang filsuf dari Frankfurt School, intepretasi semacam itu menjadikan manusia sebagai makhluk yang hanya berdomisili pada satu dimensi yang sarat dengan kalkulasi untung-rugi yakni homo economicus. Padahal kemiskinan adalah wujud ketidaksanggupan yang nampak sekaligus dipicu oleh berbagai aspek baik itu kultur, sosial, politik, dan lain sebagainya.  

Dalil para pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur lebih mengingatkan pada penggalan lirik lagu Titanium karya David Guetta yang berbunyi I'm talking loud not saying much- berbicara dengan suara yang nyaring tetapi tidak mengatakan apa-apa alias kosong. 

Koordinasi sangat sering diucapkan sebagai jawaban atas persoalan yang ditanyakan. Bahkan jika terpilih nanti, sang calon Gubernur dan Wakil Gubernur berjanji akan membuka ruang koordinasi dengan DPRD, Bupati, Walikota, dan seluruh instansi terkait untuk menyelesaikan berbagai persoalan entah itu ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan, keamanan dan lain sebagainya.

 Sebagai fakta prosedural argumentasi ini sangat dibenarkan, tetapi sebagai pesan politik argumentasi ini hanyalah khiasan yang nihil kadar maknanya. Sebab pada dasarnya Gubernur dan Wakil Gubernur bukanlah lone fighter yang patriotis menyelesaikan persoalan Maluku sendirian. Gubernur dan Wakil Gubernur harus dan sudah pasti berkoordinasi dengan berbagai instansi terkait. 

Jadi tidak ada gunanya menyebutkan koordinasi sebagai jalan keluar atas persoalan ketika kordinasi itu sendiri adalah tabiat seorang pemimpin daerah. Justru yang dibutuhkan rakyat adalah ide, gagasan, serta terobosan para calon pemimpin yang diharapkan mampu membawa perubahan.

Perdebatan itu akhirnya diperbenturkan dengan keterbatasan kewenangan antara Bupati dan Gubernur. Sangat logis argumentasi ini akan tetapi rakyat terlalu polos untuk mengerti mekanisme keterbatasan kewenangan antara Bupati dan Gubernur tersebut. 

Kehadiran seorang janda, yatim piatu, mahasiswa, tukang ojek, nelayan, pegawai kantoran, dan seluruh rakyat Maluku di bilik suara hanya direferensikan oleh harapan akan perubahan dan bukan oleh keterbatasan kewenangan. Hal ini justru membuktikan bahwa bersikap realistis memang menjadi jubah tebal yang mampu menyembunyikan ketidaksanggupan untuk bernalar layaknya pemimpin cerdas. 

Tetapi di sisi lain, memang harus diakui bahwa banyak ide brilian yang muncul dari pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku dalam perdebatan itu misalnya seperti ide tentang pemanfaatan teknologi tepat guna, percepatan pembangunan manusia melalui pendidikan, ide tentang pengelolahan sumber daya laut, dan masih banyak lagi.

Pada bagian awal tulisan ini, sempat disinggung tentang serial kartun Shaun the Sheep. Serial kartun itu memperlihatkan segerombolan kambing peliharaan yang dipimpin oleh seekor kambing muda yang bernama Shaun. Menarik dari film itu adalah dia mampu mengartikulasikan tentang demokrasi. Distribusi keadilan yang merata serta pemahaman yang komprehnsif tentang permasalahan, menjadikan Shaun dan gerombolannya layaknya rakyat yang beradab.

 Demokrasi bukan hanya digambarkan sebagai forms of govermentality (bentuk pemerintahan), tetapi usaha bersama untuk keluar dari otoritarianisme. Konsensus bukanlah satu-satunya wujud dari demokrasi dengan sistem rasio komunikatif layaknya yang dicita-citakan Jurgen Habermas (filsuf asal Jerman), tetapi juga merangkul antagonisme atau adversary (lawan) sehingga perbedaan pendapat bukanlah malapetaka seperti yang dicita-citakan Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau.

Semua rakyat Maluku tentunya akan sepakat jika menariknya demokrasi yang digambarkan ini juga terjadi dalam Pilgub Maluku dan setelahnya. Akan ada harapan tentang munculnya sosok Shaun dalam kehidupan nyata rakyat Maluku yang mampu mendistribusikan keadilan pada semua lapisan masyarakat sehingga cita-cita kesejahteraan dan keluar dari zona kemiskinan dapat segera terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun