Sebagai fakta prosedural argumentasi ini sangat dibenarkan, tetapi sebagai pesan politik argumentasi ini hanyalah khiasan yang nihil kadar maknanya. Sebab pada dasarnya Gubernur dan Wakil Gubernur bukanlah lone fighter yang patriotis menyelesaikan persoalan Maluku sendirian. Gubernur dan Wakil Gubernur harus dan sudah pasti berkoordinasi dengan berbagai instansi terkait.Â
Jadi tidak ada gunanya menyebutkan koordinasi sebagai jalan keluar atas persoalan ketika kordinasi itu sendiri adalah tabiat seorang pemimpin daerah. Justru yang dibutuhkan rakyat adalah ide, gagasan, serta terobosan para calon pemimpin yang diharapkan mampu membawa perubahan.
Perdebatan itu akhirnya diperbenturkan dengan keterbatasan kewenangan antara Bupati dan Gubernur. Sangat logis argumentasi ini akan tetapi rakyat terlalu polos untuk mengerti mekanisme keterbatasan kewenangan antara Bupati dan Gubernur tersebut.Â
Kehadiran seorang janda, yatim piatu, mahasiswa, tukang ojek, nelayan, pegawai kantoran, dan seluruh rakyat Maluku di bilik suara hanya direferensikan oleh harapan akan perubahan dan bukan oleh keterbatasan kewenangan. Hal ini justru membuktikan bahwa bersikap realistis memang menjadi jubah tebal yang mampu menyembunyikan ketidaksanggupan untuk bernalar layaknya pemimpin cerdas.Â
Tetapi di sisi lain, memang harus diakui bahwa banyak ide brilian yang muncul dari pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku dalam perdebatan itu misalnya seperti ide tentang pemanfaatan teknologi tepat guna, percepatan pembangunan manusia melalui pendidikan, ide tentang pengelolahan sumber daya laut, dan masih banyak lagi.
Pada bagian awal tulisan ini, sempat disinggung tentang serial kartun Shaun the Sheep. Serial kartun itu memperlihatkan segerombolan kambing peliharaan yang dipimpin oleh seekor kambing muda yang bernama Shaun. Menarik dari film itu adalah dia mampu mengartikulasikan tentang demokrasi. Distribusi keadilan yang merata serta pemahaman yang komprehnsif tentang permasalahan, menjadikan Shaun dan gerombolannya layaknya rakyat yang beradab.
 Demokrasi bukan hanya digambarkan sebagai forms of govermentality (bentuk pemerintahan), tetapi usaha bersama untuk keluar dari otoritarianisme. Konsensus bukanlah satu-satunya wujud dari demokrasi dengan sistem rasio komunikatif layaknya yang dicita-citakan Jurgen Habermas (filsuf asal Jerman), tetapi juga merangkul antagonisme atau adversary (lawan) sehingga perbedaan pendapat bukanlah malapetaka seperti yang dicita-citakan Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau.
Semua rakyat Maluku tentunya akan sepakat jika menariknya demokrasi yang digambarkan ini juga terjadi dalam Pilgub Maluku dan setelahnya. Akan ada harapan tentang munculnya sosok Shaun dalam kehidupan nyata rakyat Maluku yang mampu mendistribusikan keadilan pada semua lapisan masyarakat sehingga cita-cita kesejahteraan dan keluar dari zona kemiskinan dapat segera terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H