Mohon tunggu...
Beni Ahmad Saebani
Beni Ahmad Saebani Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Beni Ahmad Saebani, dosen Sosiologi Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Bandung, jabatan Lektor Kepala, Penulis, aktif menulis di berbagai media, buku yg terbit sudah 50 judul, hobi olah raga, content creator dan youtuber

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memahami Hakikat Perhitungan Kejawen

25 Desember 2024   18:18 Diperbarui: 25 Desember 2024   18:30 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Memahami Hakikat Perhitungan Sufisme Jawa:Kejawen

Perhitungan Jawa

Kejawen, kepercayaan masyarakat Jawa yang paling menonjol adalah memperhitungkan gejala kehidupan. Perhitungan atau istilah Jawa Petung Jawa tentang pasaran, hari, bulan dan lain sebagainya dalam hal baik dan buruknya. Menurut Ronggowarsito dalam Weton dan Primbon Jawa (h. 228) khusus tentang hari dan pasaran terdapat di dalam mitologi bahwa Batara Surya (Dewa Matahari) turun ke bumi menjelma menjadi Brahmana Raddhi di gunung Tasik. Ia menggubah hitungan yang disebut Pancawara (lima bilangan) yang sekarang disebut Pasaran yakni: Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon nama kunonya: Manis, Pethak (an) Abrit (an) Jene (an) Cemeng (an), kasih. Kemudian Brahmana Raddhi diboyong dijadikan penasihat Prabu Selacala di Gilingwesi sang Brahmana membuat sesaji, yakni sajian untuk dewa-dewa selama 7 hari berturut-turut dan setiap kali habis sesaji, hari itu diberinya nama, yaitu sebagai berikut:

  • Sesaji Emas, yang dipuja Matahari. Hari itu diberinya nama Radite, nama sekarang : Ahad.
  • Sesaji Perak, yang dipuja bulan. Hari itu diberinya nama: Soma, nama sekarang: Senen.
  • Sesaji Gangsa (bahan membuat gamelan, perunggu) yang dipuja api, hari itu diberinya nama: Anggara, nama sekarang Selasa.
  • Sesaji Besi, yang dipuja bumi, hari itu diberinya nama : buda, nama sekarang: Rebo.
  • Sesaji Perunggu, yang dipuja petir. Hari itu diberinya nama : Respati, nama sekarang: Kemis.
  • Sesaji Tembaga, yang dipuja Air. Hari itu diberinya nama: Sukra, nama sekarang : Jumat.
  • Sesaji Timah, yang dipuja Angin. Hari itu diberinya nama : Saniscara disebut pula: Tumpak, nama sekarang : Sabtu.

Nama sekarang hari-hari tersebut adalah nama hari-hari dalam Kalender Sultan Agung, yang berasal dari kata-kata Arab (Akhad, Isnain, Tslasa, Arba'a, Khamis, Jum'at, Sabt) nama-nama sekarang itu dipakai sejak pergantian Kalender Jawa -- Asli yang disebut Saka menjadi kalender Jawa atau Sultan Agung yang nama ilmiahnya Anno Javanico (AJ). Pergantian kalender itu mulai 1 Sura tahun Alip 1555 yang jatuh pada 1 Muharam 1042 sama dengan Kalender masehi 8 Juli 1633. Itu hasil perpaduan agama Islam dan kebudayaan Jawa, dipadukannya dengan kalender Sultan Agung (AJ) tersebut, keseluruhan merupakan petungan (perhitungan) Jawa yang dicatat dalam Primbon. Di kalangan suku Jawa, sekalipun di lingkungan kaum terpelajar, tidak sedikit yang hingga kini masih menggunakan primbon.

Kalima Pancer

Hitungan Pasaran yang berjumlah lima itu menurut kepercayaan Jawa adalah sejalan dengan ajaran "Sedulur papat, kalima pancer" empat saudara sekelahiran, kelimanya pusat. Ajaran ini mengandung pengertian bahwa badan manusia yang berupa raga, wadag, atau jasad lahir bersama empat unsur atau ruh yang berasal dari, tanah, air, api dan udara. Empat unsur itu masing-masing mempunyai tempat di kiblat empat. Faktor yang kelima bertempat di pusat, yakni di tengah.

Lima tempat itu adalah juga tempat lima pasaran, maka persamaan tempat pasaran dan empat unsur dan kelimanya pusat itu adalah sebagai berikut :

  • Pasaran Legi bertempat di timur, satu tempat dengan unsur udara, memancarkan sinar (aura) putih.
  • Pasaran Paing bertempat di selatan, salah satu tempat dengan unsur Api, memancarkan sinar merah.
  • Pasaran Pon bertempat di barat, satu temapt dengan unsur air, memancarakan sinar kuning.
  • Pasaran Wage bertempat di utara, satu tempat dengan unsur tanah, memancarkan sinar hitam
  • Kelima di pusat atau di tengah, adalah tempat Sukma atau Jiwa, memancarkan sinar manca warna (bermacam-macam)

Dari ajaran sadulur papat, kalima pancer dapat diketahui betapa pentingnya Pasaran Kliwon yang tempatnya di tengah atau pusat (sentrum) tengah atau pusat itu tempat jiwa atau sukma yang memancarkan daya  perbawa atau pengaruh kepada "Sadulu Papat atau Empat Saudara (unsur) sekelahiran."

 

Ruh-ruh Spritualitas Jawa

Dalam kepercayaan Jawa para raja adalah titisan dewa maka masyarakat harus mematuhi sabda sang raja. Raja  adalah pembawa esensi kedewataan di dunia. Menurut Simuh dalam Sufisme Jawa (1999:101) Para rajalah yang secara spiritual akan bersemedi, bertapa, dan berpuasa supaya dapat berkomunikasi dengan hakikat raja diraja sang kuasa jagat raya Hyang Widi Wasa. Radjiman dalam Konsep Petangan Jawa (1999:161) mengatakan bahwa para raja dipercayai oleh masyarakat Jawa (pra Hindu dan Budha) akan membawa berita dari Tuhan dan sabdanya mewakili titah Tuhan.

Dalam Petikan serat Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku Negara IV disebutkan, Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya pangekese dur angkara (Pupuh Pucung, bait I), yang berarti, "Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan."

Simuh mengatakan dalam Mistik Islam Kejawen (1988:45) bahwa ajaran kejawen berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmoni hubungan antara kawula (manusia) dan Gusti (Pencipta) (jumbuhing kawula Gusti) dengan taqarrub kepada Tuhan. Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Tuhan, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur.

Untuk mencapai kedekatan kepada Tuhan hati harus bersih dan hidup harus bermanfaat untuk orang lain. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Ati suci jumbuhing Kawulo Gusti -- hati suci itu adalah hubungan yang serasi antara Kawulo dan Gusti. Raja harus adil, manusiawi, membela rakyat kecil, jujur, amanah, dan dekat dengan rakyat, apabila tidak demikia, semua semedi dan pertapaannya tidak akan mencapai keberhasilan.

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan suka bergotong royong dengan semboyannya "saiyeg saekoproyo" yang berarti sekata satu tujuan. Menurut Karkono Kamajaya dalam Kebudayaan Jawa Perpaduannya dengan Islam (1995:79) dalam kisah suku Jawa suatu hari kedatangan seorang satriya pinandita yang bernama Aji Saka yang  menulis sebuah sajak yang kemudian sajak tersebut diakui menjadi huruf Jawa dan digunakan sebagai tanda dimulainya penanggalan Tarikh Caka. Adapun Kejawen adalah faham orang Jawa atau aliran kepercayaan yang timbul dari masuknya berbagai macam agama ke Jawa. Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah tetapi juga mengakui mistik yang berkebang dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada. Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus disimbolkan agar dapat diakui keberadaannya dengan menyebut Tuhan adalah Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya.

Tindakan simbolis dalam tradisi Jawa melalui upacara kematian, yaitu mendoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal. Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit yang menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam lakon pewayangan.

Menurut Revianto Budi Santoso (2000:57) kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah secara fisik dan mental bagi penghuninya. Atas dasar kepercayaan ini maka masyarakat Jawa menciptakan pandangan hidup yang sangat menghargai keselamatan dan keharmonisan alam. Karena alam merupakan bagian dari mikrokosmos dan makrokosmos. Bagi orang Jawa, alam inderawi merupakan ungkapan alam ghaib, sebuah misteri yang mengelilinginya, sehingga ia dapat menemukan eksistensi dirinya. Alam ini menyimpan kekuatan ghaib. Menurut Franz Magnis Suseno (Etika Jawa, 1991:150) alam beserta isinya termasuk benda-benda, kehidupan, dan peristiwa di dunia, merupakan kesatuan yang terkoordinasi dan teratur. Suatu kesatuan eksistensi untuk setiap gejala, material dan spiritual yang memiliki arti hakikat. yang jauh melebihi apa yang nampak. Dan yang terpenting dari semuanya itu adalah, keselamatan, keselarasan, kerukunan, dan keharmonisan. Karena pandangan dasar hidup orang Jawa, selain meninggalkan aspek duniawi dan menahan emosi, juga memiliki pandangan yang;  sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawono. Sepi ing pamrih, adalah memuat kerelaan untuk tidak lagi mengejar kepentingan individu tanpa memerhatikan masyarakat. Rame ing gawe, tindakan yang tepat selama di dunia, terdiri dalam kesetiaan yang memenuhi kewajiban masing-masing. Bersamaan dengan itu, mewujudkan memayu hayuning bawono, artinya, memperindah dunia, dan dengan demikian membenarkan keselarasan kosmos. Sebaliknya, mengejar kepentingan-kepentingan egois harus ditinggalkan, sebab mengacaukan keselarasan masyarakat dan kosmos, demikian menurut Magnis Suseno.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun