Dalam Petikan serat Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku Negara IV disebutkan, Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya pangekese dur angkara (Pupuh Pucung, bait I), yang berarti, "Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan."
Simuh mengatakan dalam Mistik Islam Kejawen (1988:45) bahwa ajaran kejawen berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmoni hubungan antara kawula (manusia) dan Gusti (Pencipta) (jumbuhing kawula Gusti) dengan taqarrub kepada Tuhan. Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Tuhan, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur.
Untuk mencapai kedekatan kepada Tuhan hati harus bersih dan hidup harus bermanfaat untuk orang lain. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Ati suci jumbuhing Kawulo Gusti -- hati suci itu adalah hubungan yang serasi antara Kawulo dan Gusti. Raja harus adil, manusiawi, membela rakyat kecil, jujur, amanah, dan dekat dengan rakyat, apabila tidak demikia, semua semedi dan pertapaannya tidak akan mencapai keberhasilan.
Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan suka bergotong royong dengan semboyannya "saiyeg saekoproyo" yang berarti sekata satu tujuan. Menurut Karkono Kamajaya dalam Kebudayaan Jawa Perpaduannya dengan Islam (1995:79) dalam kisah suku Jawa suatu hari kedatangan seorang satriya pinandita yang bernama Aji Saka yang  menulis sebuah sajak yang kemudian sajak tersebut diakui menjadi huruf Jawa dan digunakan sebagai tanda dimulainya penanggalan Tarikh Caka. Adapun Kejawen adalah faham orang Jawa atau aliran kepercayaan yang timbul dari masuknya berbagai macam agama ke Jawa. Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah tetapi juga mengakui mistik yang berkebang dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada. Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus disimbolkan agar dapat diakui keberadaannya dengan menyebut Tuhan adalah Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya.
Tindakan simbolis dalam tradisi Jawa melalui upacara kematian, yaitu mendoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal. Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit yang menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam lakon pewayangan.
Menurut Revianto Budi Santoso (2000:57) kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah secara fisik dan mental bagi penghuninya. Atas dasar kepercayaan ini maka masyarakat Jawa menciptakan pandangan hidup yang sangat menghargai keselamatan dan keharmonisan alam. Karena alam merupakan bagian dari mikrokosmos dan makrokosmos. Bagi orang Jawa, alam inderawi merupakan ungkapan alam ghaib, sebuah misteri yang mengelilinginya, sehingga ia dapat menemukan eksistensi dirinya. Alam ini menyimpan kekuatan ghaib. Menurut Franz Magnis Suseno (Etika Jawa, 1991:150) alam beserta isinya termasuk benda-benda, kehidupan, dan peristiwa di dunia, merupakan kesatuan yang terkoordinasi dan teratur. Suatu kesatuan eksistensi untuk setiap gejala, material dan spiritual yang memiliki arti hakikat. yang jauh melebihi apa yang nampak. Dan yang terpenting dari semuanya itu adalah, keselamatan, keselarasan, kerukunan, dan keharmonisan. Karena pandangan dasar hidup orang Jawa, selain meninggalkan aspek duniawi dan menahan emosi, juga memiliki pandangan yang; Â sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawono. Sepi ing pamrih, adalah memuat kerelaan untuk tidak lagi mengejar kepentingan individu tanpa memerhatikan masyarakat. Rame ing gawe, tindakan yang tepat selama di dunia, terdiri dalam kesetiaan yang memenuhi kewajiban masing-masing. Bersamaan dengan itu, mewujudkan memayu hayuning bawono, artinya, memperindah dunia, dan dengan demikian membenarkan keselarasan kosmos. Sebaliknya, mengejar kepentingan-kepentingan egois harus ditinggalkan, sebab mengacaukan keselarasan masyarakat dan kosmos, demikian menurut Magnis Suseno.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H