Memahami Hakikat Perhitungan Sufisme Jawa:Kejawen
Perhitungan Jawa
Kejawen, kepercayaan masyarakat Jawa yang paling menonjol adalah memperhitungkan gejala kehidupan. Perhitungan atau istilah Jawa Petung Jawa tentang pasaran, hari, bulan dan lain sebagainya dalam hal baik dan buruknya. Menurut Ronggowarsito dalam Weton dan Primbon Jawa (h. 228) khusus tentang hari dan pasaran terdapat di dalam mitologi bahwa Batara Surya (Dewa Matahari) turun ke bumi menjelma menjadi Brahmana Raddhi di gunung Tasik. Ia menggubah hitungan yang disebut Pancawara (lima bilangan) yang sekarang disebut Pasaran yakni: Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon nama kunonya: Manis, Pethak (an) Abrit (an) Jene (an) Cemeng (an), kasih. Kemudian Brahmana Raddhi diboyong dijadikan penasihat Prabu Selacala di Gilingwesi sang Brahmana membuat sesaji, yakni sajian untuk dewa-dewa selama 7 hari berturut-turut dan setiap kali habis sesaji, hari itu diberinya nama, yaitu sebagai berikut:
- Sesaji Emas, yang dipuja Matahari. Hari itu diberinya nama Radite, nama sekarang : Ahad.
- Sesaji Perak, yang dipuja bulan. Hari itu diberinya nama: Soma, nama sekarang: Senen.
- Sesaji Gangsa (bahan membuat gamelan, perunggu) yang dipuja api, hari itu diberinya nama: Anggara, nama sekarang Selasa.
- Sesaji Besi, yang dipuja bumi, hari itu diberinya nama : buda, nama sekarang: Rebo.
- Sesaji Perunggu, yang dipuja petir. Hari itu diberinya nama : Respati, nama sekarang: Kemis.
- Sesaji Tembaga, yang dipuja Air. Hari itu diberinya nama: Sukra, nama sekarang : Jumat.
- Sesaji Timah, yang dipuja Angin. Hari itu diberinya nama : Saniscara disebut pula: Tumpak, nama sekarang : Sabtu.
Nama sekarang hari-hari tersebut adalah nama hari-hari dalam Kalender Sultan Agung, yang berasal dari kata-kata Arab (Akhad, Isnain, Tslasa, Arba'a, Khamis, Jum'at, Sabt) nama-nama sekarang itu dipakai sejak pergantian Kalender Jawa -- Asli yang disebut Saka menjadi kalender Jawa atau Sultan Agung yang nama ilmiahnya Anno Javanico (AJ). Pergantian kalender itu mulai 1 Sura tahun Alip 1555 yang jatuh pada 1 Muharam 1042 sama dengan Kalender masehi 8 Juli 1633. Itu hasil perpaduan agama Islam dan kebudayaan Jawa, dipadukannya dengan kalender Sultan Agung (AJ) tersebut, keseluruhan merupakan petungan (perhitungan) Jawa yang dicatat dalam Primbon. Di kalangan suku Jawa, sekalipun di lingkungan kaum terpelajar, tidak sedikit yang hingga kini masih menggunakan primbon.
Kalima Pancer
Hitungan Pasaran yang berjumlah lima itu menurut kepercayaan Jawa adalah sejalan dengan ajaran "Sedulur papat, kalima pancer" empat saudara sekelahiran, kelimanya pusat. Ajaran ini mengandung pengertian bahwa badan manusia yang berupa raga, wadag, atau jasad lahir bersama empat unsur atau ruh yang berasal dari, tanah, air, api dan udara. Empat unsur itu masing-masing mempunyai tempat di kiblat empat. Faktor yang kelima bertempat di pusat, yakni di tengah.
Lima tempat itu adalah juga tempat lima pasaran, maka persamaan tempat pasaran dan empat unsur dan kelimanya pusat itu adalah sebagai berikut :
- Pasaran Legi bertempat di timur, satu tempat dengan unsur udara, memancarkan sinar (aura) putih.
- Pasaran Paing bertempat di selatan, salah satu tempat dengan unsur Api, memancarkan sinar merah.
- Pasaran Pon bertempat di barat, satu temapt dengan unsur air, memancarakan sinar kuning.
- Pasaran Wage bertempat di utara, satu tempat dengan unsur tanah, memancarkan sinar hitam
- Kelima di pusat atau di tengah, adalah tempat Sukma atau Jiwa, memancarkan sinar manca warna (bermacam-macam)
Dari ajaran sadulur papat, kalima pancer dapat diketahui betapa pentingnya Pasaran Kliwon yang tempatnya di tengah atau pusat (sentrum) tengah atau pusat itu tempat jiwa atau sukma yang memancarkan daya  perbawa atau pengaruh kepada "Sadulu Papat atau Empat Saudara (unsur) sekelahiran."
Â
Ruh-ruh Spritualitas Jawa
Dalam kepercayaan Jawa para raja adalah titisan dewa maka masyarakat harus mematuhi sabda sang raja. Raja  adalah pembawa esensi kedewataan di dunia. Menurut Simuh dalam Sufisme Jawa (1999:101) Para rajalah yang secara spiritual akan bersemedi, bertapa, dan berpuasa supaya dapat berkomunikasi dengan hakikat raja diraja sang kuasa jagat raya Hyang Widi Wasa. Radjiman dalam Konsep Petangan Jawa (1999:161) mengatakan bahwa para raja dipercayai oleh masyarakat Jawa (pra Hindu dan Budha) akan membawa berita dari Tuhan dan sabdanya mewakili titah Tuhan.