To Ann.
Aku dan juga engkau
sama-sama menuliskan puisi di sana
di jalan panjang kehidupan
kita menulis di hari-hari yang kencang berlari
meraba ujung perjalanan yang tak pasti
dan hari ini engkau kuingatkan kembali
tentang hari-hari kita yang telah berlalu itu
yang kisahnya berjejak di masa silam
yang liku-likunya terasa tajam di hati
yang tanjakannya terasa terjal ‘tuk didaki
dan tiada lelah kita berpuisi tentangnya
meski perjalanan itu tak kunjung usai
Â
Kadang aku bercermin
melihat rekam jejak itu di wajah
kata-kata puisi kita yang semakin pudar
goresan keriput wajah yang makin kusut
waktu bagai ombak yang terus menggerus
mengkikis tiang-tiang keyakinan kita
perubahan zaman merubah segalanya
dan membuat kita tak berdaya mengangkat pena
tak mampu lagi mengenali wajah diri sendiri
Â
Ada masanya kita tak bisa lagi berpuisi
masa tua yang menjadikan kita rapuh
tubuh kita semakin menipis dimakan usia
tinggal tulang yang berbalut kulit
dan kita menjadi pikun
bagai seonggok kayu mati
yang menunggu hancur
diterpa hujan dan panas
menjadi tanah
Â
Ada masa kita tak bisa lagi menulis puisi
hanya bisa mendengar dan melihat
dan tak mengenali bayang diri di cermin
menjadikan kita saling merasa asing
ketika senja itu telah tiba
masih ada puisi-puisi kita di jalan itu
bagian dari diri kita yang tetap berjalan
yang akan terus melangkah
menemui takdirnya
Â
******
Batam, 2016.
Â
Â
[caption caption="Ilustrasi"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H