Ia wanita tua, orang-orang biasa menyebutnya mbok Sinah
berdagang di kaki lima itu sejak  dua puluh lima tahun silam
saat orang masih tidur lelap ia harus bangun dan berbelanja
terkadang tidur di pasar agar bisa mendapatkan harga murah
Â
Mbok Sinah terbangun dari lelap tidurnya di emperan toko
tidur di atas lembaran kardus, menunggu waktu subuh tiba
bergegas mengemas alas tidurnya, menembus hujan gerimis
menghampiri para pedagang langganannya di pasar induk
Â
Mendung tipis menjuntai, pagi mengintip dari balik tirainya
wanita itu siap-siap ke lapaknya, sejauh belasan kilo meter
bersepeda, perlahan menuju ke suatu tempat di sudut kota
untuk menggelar dagangannya di kali lima, Â di sudut jalan itu
Â
Gerimis menyapa pagi, roda kehidupan kota mulai berputar
ramai pengendara berlalu lalang di jalan aspal yang berlobang
semua berjalan pelan, lobang-lobang dipenuhi genangan hujan
mbok Sinah duduk di suatu sisinya, menjajakan sesayuran segar
Â
Keringat dan hujan yang membasahi bajunya kering di badan
mbok Sinah mulai berkemas pulang, tiada yang tersisa hari ini
ia tersenyum, bisa mendapatkan untung lumayan besar baginya
meski hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari itu
Â
Belum lepas senyumnya, datanglah petugas polisi pamong praja
senyumnya berubah menjadi kecut, sembari mengulurkan uang
di jalan kecil berlobang di deru pacu kehidupan di sudut kota itu
tiap hari kena pajak liar atas hasil keringatnya yang tak seberapa
Â
*****
Batam, 2016.
Â
[caption caption="Sumber Ilustrasi: lintasgayo.com"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H