Sejarah Pertambangan Emas dan Tembaga Freeport di Papua
Pada tahun 1936, Jeans Jacques Dozy, seorang geolog anggota Ekspedi Shell di Gunung Carstensz, gunung tertinggi di Hindia Belanda, menemukan batu hitam aneh dengan warna kehijauan yang mengandung emas dan tembaga. Pada tahun 1960 Ekspedisi Forbes Wilson dan Del Flint dari Freeport Mineral Coy menindaklanjuti temuan tersebut. Endapan bijih campuran emas dan tembaga berupa bukit setinggi 179 meter, pada ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut, dengan deposit sekitar 30 juta ton menarik perhatian Freeport Mineral Coy.
Sudah 48 tahun aktifitas pertambangan emas dan tembaga PT. Freeport-Mc Moran Indonesia berlangsung di bumi Papua. Berawal pada tahun 1967 ketika ditantangani Kontrak Karya (KK) Generasi I antara Pemerintah Indonesia dengan PT, Freeport-Mc Moran selama 30 tahun. PT. Freeport Indonesia dibentuk berdasarkan UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing Pasal 3 Ayat 1, bahwa dalam rangka Penanaman Modal Asing harus dibentuk badan usaha yang berbadan hukum dan berkedudukan di Indonesia. PT. Freeport Indonesia mulai beroperasi tahun 1973 dengan teknik tambang terbuka (Open pit mining). Â
Lokasi tambang  di Grasberg (Gunung Rumput, Bahasa Belanda), di sebelah Barat Puncak Jayawijaya yang diliputi salju yang ketinggiannya mencapai 4884 meter di atas permukaan laut.
Â
Posisi Tawar Menawar Pemerintah Indonesia Ketika KK Ditandatangani
Ketika KK Generasi I ditandatangi tahun 1967, kondisi politik Indonesia belum stabil pasca G30S 1965, dan pemerintah Indonesia membutuhkan dana yang besar untuk melakukan pembangunan di bidang Ekonomi. Freeport datang dengan membawa modal, teknologi, dan sumber daya manusia yang handal sedangkan Indonesia hanya bertindak selaku pemilik lahan. Pada tahun 1981 PT. Freeport Indonesia mulai memperluas kegiatan penambangan dalam di daerah tersebut sejalan dengan ditemukannya cadangan baru.
Pada tahun 1986 Pemerintah Indonesia memperoleh divestasi sebesar 8,5 % dari PT FI, sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam divestasi sejak tahun 1968. Perkembangan selanjutnya diadakan perpanjangan KK 5 sebagai KK II pada tahun 1991 selama 30 tahun ditambah 2 kali 10 tahun sampai tahun 2021, karena ditemukan cadangan baru yang sangat besar di daerah Grasberg pada ketinggian 4000m dari permukaan laut. Produksi semula 5000 ton bijih per hari pada awal KK meningkat menjadi 52.000 ton per hari tahun 1991 dan sekarang menjadi sekitar 240.000 - 250.000 ton per hari.
Sementara itu pada tahun 1998 perusahaan mendirikan smelter tembaga di Gresik sebaga pemenuhan salah satu syarat dalam peningkatan produksinya. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk memperoleh nilai tambah bagi kepentingan nasional (Sabirin, 2010; Mahler, 2008; Machribie, 2006; Clark, 2008).
Ketika KK Generasi II ditanda tangani tahun 1991 pemerintah Indonesia tengah menghadapi tekanan Internasional sehubungan dengan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Santa Cruz, Timor Timur. Kejadian yang bila disidangkan secara Internasional itu akan menyebabkan banyak Jendral terseret, akhirnya berhasil memaksa Soeharto menanda tangani perpanjangan kontrak yang secara kasat mata sangat merugikan bagi Indonesia.
Â
Menjalang Tahun 2021
Ketika Pilpres 2014 situasi politik di Indonesia sangat panas, negri ini seakan telah terbelah ke dalam dua kubu yang saling bertentangan. Saat itu masih dianggap wajar, namun ketika Pilpres telah lama usai situasinya tidak kunjung mereda. Saling menghujat, fitnah bertebaran, dan Indonesia seakan telah kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang religius dan santun.
Pasca Perang Dingin, konstelasi politik dunia banyak berubah. Trend peperangan yang terjadi lebih tepat dikatakan sebagai perang untuk memperebutkan sumber daya alam. Instabilitas politik di Negara-Negara Timur Tengan dan Afrika Utara yang kaya dengan minyak tidak terlepas dari hal ini. Apa yang terjadi di Suriah, Irak, Afghanistan, Libya, dll sangat jelas di mata bahwa Amerika Serikat dan Sekutu Baratnya mengincar Sumber Daya Alam yang ada di negara-negara berkembang. Fenomena ISIS atau pun Al Qaida muncul tidak lain ujung-pangkalnya berada pada strategi AS dan sekutunya dalam rangka mendapatkan sumber daya alam yang besar.
Begitu pun masalah-masalah yang terjadi di Papua. Perang antar suku, masalah SARA, dan keberadaan gerakan separatis OPM, dll harus dicermati dari kaca mata yang luas. Begitu pun situasi politik nasional pasca Pilpres 2014 yang belum juga pulih kesadaran anak bangsa ini untuk bersatu padu saling bahu membahu membangun Indonesia, harus terus menerus disimak dalam keterkaitannya dengan kekayaan Sumber Daya Alam yang dimiliki Indonesia.
Selayaknya kita membahas kasus Freeport akhir-akhir ini yang melibatkan Setya Novanto, dll dengan pemahaman mendalam dengan perspektif yang berbeda. Bahwa masalahnya bukan sekedar persoalan penandatanganan KK baru dengan segala persyaratan yang telah diajukan oleh pemerintah Indonesia, lebih mendasar lagi yakni, harus melihatnya dari sisi penegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kepatuhan Freeport terhadap Undang-Undang yang berlaku di Indonesia adalah sisi penting dalam memberikan perpanjangan Kontrak karya hingga tahun 2041. Jiwa-jiwa pengkhianat bangsa akan bermain-main mencari keuntungan pribadi atau kelompoknya, dalam situasi tawar-menawar yang alot antara pemerintah Indonesia dan Freeport!
Â
Catatan: Data-data dan bahan tulisan diolah dari berbagai sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H