Di Kampung Haur Pucung ada seorang tukang catut namanya, Songgong Nekat (SN). Tingkah lakunya sangat meresahkan orang sekampung. Pasalnya semua dia catut. Mulai dari urusan portal ke luar-masuk kampung, urusan KTP, urusan Raskin, hingga nama Kepala Kampung pun dicatut-catutnya seperti barang mainan anak-anak TK Nol Besar.
Warga yang telah terlalu kesal dengan ulahnya akhirnya bermusyawarah mufakat akan menjebaknya, lalu akan menggiringnya ke Mahkamah Kehormatan Desa (MKD). Disusunlah sebuah rencana, teman-teman sepermainannya semasa kecil dulu tahu bahwa SN sangat takut dengan hantu. Lalu berembuklah Sadi, Tukul, dan Oman akan membikin kejutan spesial bagi Si Songgong.
Malam itu malam Jum’at, aksi menjebaknya sebagai tukang catut akan dilakukan. SN yang sehari-harinya jarang di kampung sendiri selalu pulang larut malam. Dengar-dengar katanya sih dia punya banyak bisnis, dan semuanya tahu bisnisnya tidak jauh dari urusan calo mencalo atau menjadi makelar bangkong.
Portal keluar-masuk itu letaknya di pangkal jalan tanah masuk ke kampung Haur Pucung. Setiap mobil truk yang akan masuk ke kampung harus membayar upeti dengannya. Maklum saja, portal itu dia bikin atas biaya sendiri dan tanpa persetujuan Kepala Kampung mau pun para penghuni kampung. Terlihat sebuah truk parkir di depan portal, tidak bisa masuk karena terhalang portal yang terbuat dari besi. Portal itu digembok, dan gemboknya dipegang oleh SN. Tukul mencarinya ke kampung sebelah, ternyata sedang tidak berada di sana. Ketika ditanyakan kepada sohibnya Fakri Ember dan Fakih Zonktor, keduanya kompak menjawab: “Songgong sedang jalan-jalan ke Kampung Jepang, sedang melobi petinggi kampung di sana soal jual-beli Pesawat Katak untuk main selam-selaman di sawahnya.”
Tukul terheran-heran betapa hebatnya bisnis temannya semasa kecil itu. Tukul tidak mengerti soal Pesawat Katak, di dalam benaknya itu cuma soal catut-mencatut mencari untung atau pekerjaan calo-mencalo karena ada yang sedang berencana melakukan jual-beli. Tukul kemudian pulang dan menemui Sadi dan Oman. “Hebat bro…tuh orang bisnisnya ada di mana-mana. Katanya Si Songgong sedang pergi ke Kampung Jepang,” ujar Tukul, ketika bertemu Sadi dan Oman.
“Kita tunggu saja, dia pasti pulang lewat tengah malam,” ujar Sadi. “Lha mobil truk ini gimana? Menghalangi jalan,” sahut Tukul.
“Biarkan saja, kalau Songgong pulang dia pasti berhenti karena kendaraannya terhalang. Kita suruh Lek Mahfud menemuinya, berpura-pura sebagai pemilik truk. Kita rekam pembicaraannya dengan Lek Mahfud sebagai barang bukti perbuatan jahatnya,” ujar Oman.
Tidak lama kemudian mobil yang dikendarai SN datang dan berhenti di tempat itu. Tukul, Sadi, dan Oman bersembunyi di dalam rumput lalang di kegelapan malam. Mereka dapat mendengar pembicaraan Lek Mahfud dengan Songgong Nekat dan seorang temannya yang bernama Reza Cribo.
“Mobil siapa ini?” bentak SN, sambil menatap Lek Mahfud. “Mobil Amrik bos…eh maksudnya mobil milik saya bos,” jawab Lek Mahfud.
“Edan… kok malam malam parkir menghalangi jalan,” sahut Reza Cribo. “Lha gimana saya mau investasi bos wong kuncinya ada sama situ,” kata Lek Mahfud dengan suara memelas.
“Nah kalau soal kawin kontrak itu nanti bisa kita perpanjang, Tukul juga sudah bilang katanya Pak Kepala Kampung sudah setuju. Kasih saja 11% untuk Kepala Kampung, 9% untuk wakil dan untuk kita-kita ya sisanya dari sejumlah 51% itu,” ujar SN dengan entang. Lek Mahfud garuk-garuk kepala.