kudengar ada bom bunuh diri di kejauhan sana
kulihat diriku bagaikan senyap yang tenggelam
bagai dedaun kering yang terhempas anginnya
Â
pada seonggok batu besar di sisi suatu jalan raya
kulihat diriku melebur menjadi keras dan bisunya
bagai benda mati yang pasrah diterpa hujan panas
Â
burung-burung liar melintasi pagi dengan riangnya
pada paruh dan kedua sayapnya kudengar suara
nyanyian, kicauan, gerak mensyukuri anugrah hari
Â
angin, rimbun dedauan, goyang pucuk pepohonan
mengingatkanku pada masa-masa kecil di kampung
masa-masa di mana setiap hariku tumbuh bermakna
Â
inti hidup adalah bergerak, jiwa raga yang bergerak
berpindah, berjalan  dari suatu  ke tempat yang lain
mengalir bagai air, terbit dan terbenam bagai mentari
Â
kudengar suara detak detik-detik waktu yang berlalu
kudengar suara degup jantungku mengalirkan darah
terdengar bunyi dengus nafasku keluar-masuk hidung
Â
aku masih bagian dari kehidupan, jantungku berdetak
masih bernafas, masih bisa melihat dan mendengar
melebihi derajat burung, aku masih punya akal pikiran
Â
kudengar berita yang menghebohan di kejauhan sana
ada orang-orang yang rela mengakhiri kehidupannya
dengan sebuah bom, membunuh diri dan orang lainnya
Â
kupandangi batu besar itu yang sunyi dan bisu sendiri
hati bertanya kenapa ia tak pernah terdengar mengeluh
padahal tiada tempat yang tak bermata dan bertelinga?
Â
*******
Batam, 14 November 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H