Dia seorang pedagang sayur-mayur. Setiap jam 3 dini hari dia berangkat ke pasar induk guna membeli bahan dagangannya. Hanya 5 sampai 6 jam dia tidur setiap malamnya, hal ini telah dilakukannya selama lebih 20 tahun.
Sebelum jam 6 pagi dia telah kembali ke rumah. Lalu mengemas-ngemas aneka macam bahan sayur-mayur yang dibelinya dari pasar induk, disusunnya ke gerobak sayur yang akan dibawanya keliling. Sekitar jam 6 pagi dia mulai keliling dari gang ke gang, mendatangi rumah demi rumah yang biasa menjadi pelanggannya.
Tidak sampai jam 10 siang dia telah kembali ke rumah, lalu membereskan gerobaknya agar tetap bersih dan kemudian istirahat satu atau dua jam lalu pergi ke pasar barang-barang seken. Kadang dibelinya sepatu atau baju-baju bekas impor dari pasar itu dan sorenya digelarnya barang-barang tersebut di trotoar jalan, menjadi pedagang kaki lima liar. Meski pedagang liar namun tak urung secara rutin oknum Pol PP datang mengutip uang keamanan dan kebersihan untuk tempat lokasinya berdagang.
Penghasilannya tidak seberapa, dari hasil berdagang sayur-mayur di pagi hari penghasilan bersihnya rata-rata hanya Rp. 50.000 perhari, itu pun banyak pelanggannya yang berhutang dan membayarnya di akhir bulan. Hasil dari berdagang barang-barang seken setiap bulannya dia mendapat untung sekitar satu setengah kali lipat modalnya. Seluruh penghasilannya itu hanya pas-pasan menutupi seluruh biaya yang harus dikeluarkannya setiap bulan: untuk makan sehari-hari, bayar sewa rumah, dan membayar biaya sekolah untuk kedua orang anaknya yang tengah duduk di bangku SMA.
Suatu sore ketika tengah menggelar dagangannya di trotoar jalan, datanglah seorang temannya satu kampung dari Tegal yang sama-sama merantau sejak puluhan tahun yang lalu. “Tarjo, ayo nanti malam kita ikut datang ke Restoran Rica Rica, ada undangan makan-makan dari seorang calon wali kota untuk seluruh pedagang kecil di kota ini” ujar Nano penuh semangat.
“Ayo…siapa tahu kalau nanti dia menang nasib kita menjadi lebih baik.” jawab Tarjo, tak kalah semangatnya. Malam itu mereka menutup dagangannya lebih cepat dari biasanya. Selepas Azan Isya mereka telah berkemas-kemas pulang, akan menghadiri undangan makan-makan dari seorang calon wali kota.
Para pedagang kecil itu kompak mendukung si calon wali kota yang telah mengundang mereka makan-makan dan berjanji akan memperhatikan nasib pedagang kecil seperti mereka. “Wong Cilik harus diperhatikan. Kalau saya berhasil terpilih nanti, saya akan bangun kios-kios untuk pedagang kecil dengan harga yang mudah dijangkau oleh bapak-bapak sekalian.” ujar si calon wali kota itu, berapi-api dihadapan ribuan para pedagang kecil itu. Mereka bertepuk tangan dan menyatakan kegembiraan atas niat baik si calon wali kota.
Dengan bersemangat mereka memberi tahu anak istrinya, teman-temannya sesama pedagang kecil, mengajak siapa saja yang bisa mereka ajak agar memilih si calon yang mereka dukung. Dua bulan kemudian si calon itu dinyatakan berhasil memenangkan kursi Wali Kota. Bergembiralah para pedagang kecil yang telah bersusah payah menggalang dukungan untuk kemenangan calonnya.
Setahun berlalu para pedagang kecil tetap pada nasibnya. Mereka mulai menagih janji kepada Wali Kota atas janji-janjinya masa kampanye dulu. Suara-suara mereka terlupakan, Sang wali kota selalu menghindar, tidak bersedia menemui mereka secara langsung. Akhirnya para pedagang itu mulai marah, mereka berdemo sambil membakar ban-ban bekas, menuntut janji-janji yang dulu pernah mereka terima.
“Asem!..sudah kepilih jadi lupa!” teriak salah seorang dari mereka. “Kami wong cilik jangan seing-sering dibohongi! Kami juga manusia bos!” ujar yang lainnya.
“Modal belum kembali, janji-janji jadi terlupakan! Pedagang Politik!” sahut yang lainnya.“Janji pedagang kursi kekuasaan! Kapan kau penuhi janji-janjimu dengan kami para pedagang kecil!?” . “Pak Wali Kota, mana janji-janjimu!?”
Orasi berapi-api, caci maki lepas tanpa kendali, dan akhirnya para pendemo itu dibubarkan secara paksa oleh Satpol PP dan Polisi. Sutarjo dan Nano terlihat babak belur kena hajar pakai pentungan, bahkan beberapa diantara para pendemo itu terluka parah, harus dirawat di rumah sakit atas biaya sendiri. Sebulan kemudian terbitlah surat edaran Wali kota tentang penertiban para pedagang kaki lima yang biasanya bebas menggelar dagangannya di trotoar atau di bahu atau di badan jalan! Para pedagang itu digusur paksa dan barang-barang dagangan mereka disita petugas, entah di bawa ke mana! Sutarjo menyesali kebodohannya dan dia menangisi barang dagangannya yang hilang karena disita petugas.
******
Btm, 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H