Oh, ibu. Kusaksikan tubuhmu terbaring lemah tak berdaya
kusaksikan penderitaanmu menahan tusukan-tusukan nyeri
sel-sel kanker itu terus berkembang biak di dalam tubuhmu
ada rasa derita yang begitu dalam terlihat di sorot matamu
Â
Â
Menjagamu, menyaksikan kedaanmu siang dan malam
betapa berat cobaan ini terasa, hanya DIA yang di atas sana
yang dapat dimintai pertolongan untuk menenangkan jiwa ini
tempat bermohon agar engkau tabah menghadapi segala derita
Â
Â
Kita hanya tangan-tangan mungil yang bisa tengadah kepada-Nya
di tangan-Nya tergenggam batas-batas waktu kehidupan di dunia
di tangan-Nya keputusan akhir atas setiap upaya yang dilakukan
dan anak-anakmu, hanya bisa memohon dan memohon yang terbaik
Â
Â
Ketika firasat muncul tiba-tiba, kuraba kakimu yang kian mendingin
kulakukan yang seharusnya dilakukan untuk melapangkan jalanmu
saat nafasmu mulai tersengal, saat gerbang kesaksian mulai terbuka
dzikir pembimbing menghantar kepergianmu kembali kepada-Nya
Â
Â
Melepas kepergianmu, mengikhlaskan dirimu kembali pada-Nya
dan tetap mendoakanmu sepanjangh waktu, mensyukuri kasihmu
yang tak akan bisa ditebus dengan waktu, tak henti-henti kuberdoa
semoga sorgalah tempatmu di sana, sebaik-sebaik tempat di mata-Nya
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H