Mohon tunggu...
Beni Guntarman
Beni Guntarman Mohon Tunggu... Swasta -

Sekedar belajar membuka mata, hati, dan pikiran tentang apa yang terjadi di sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ayat-Ayat Menolak Lupa

12 Juli 2015   09:42 Diperbarui: 12 Juli 2015   09:42 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

(Catatan Harian Tahun 1983-1998)

 

1

Aku lupa sejak kapan mulai kenal menulis

Menulis juga lupa sejak kapan dia kena aku

Sama-sama pelupa, tetapi aku menolak lupa

Kucatat peristiwa yang terjadi di depan mataku

 

2

Pernah kutuliskan di dinding tembok

“Tembok-tembok bisu bisa mendengar!”

Tembok itu bergerak memagari gerakku

Mematahkan jemariku yang kupakai menulis

 

3

Mereka tiarap, tutup mata dan telinga

Bergema suara:”Reformasi! Reformasi sampai mati!”

Keberanian bangkit, kemarahan bersama memuncak

Robohlah setan yang tengah berdiri mengangkang

Para pecundang itu bangkit dari tiarapnya

Dan mulai bercerita tentang kisah kepahlawannya!

 

4

Kepedihan dan kesedihan kutuliskan:

Tangan gurita mencengkram negri

Suara-suara sumbang membentur tembok

Mahasiswa kritis dan vokal digencet sana-sini

Suara kejernihan hilang ditelan kegelapan malam

Jendral bintang tiga dijebloskan ke dalam penjara

Dalam sedih hanya bisa berkata: Kami menunggumu pahlawan!

 

5

Ketimpangan nyata terjadi

Rakyat diam bukan berarti senang, karena perutnya kenyang

Rasa takut tengah menghantui negri ini,  mencengkram

Kemunafikan dan kejujuran hampir susah dibedakan

Negri yang lepas landas di atas landasan keropos

Angin kencang tengah mengintai tiang-tiang yang rapuh

 

6

Kami dibilang pesakitan

Kami yang memprotes keadaan dibilang mahasiswa sakit

Mereka menatap kami dengan sorot mata rasa kasihan

Mereka yang “kompromi” dibilang bijak, pandai bersiasat

Bangsa munafik lahir dari rahim rezim otoriter!

 

7

Kemarahan memuncak, dipicu harga-harga dan barang

Beli gula, susu, teh, beras, minyak goreng harganya selangit

Mata uang Dolar mempermainkan nasib bangsa ini

Mau beli beras jawabnya:”tidak ada”, nyatanya ditimbun

Pagi lihat harga susu kotak Rp.50.000 sorenya jadi Rp.100.000

Rakyat pusing, penyakit gila menyebar ke mana-mana

“Siapa yang mempermainkan nasib kami, IMF kah?”

Go to hell!!! Setan besar dan setan kecil harus dienyahkan!

 

8

Salahkah kemarahan mereka yang tertindas itu lalu meledak?

Kemarahan mengalahkan rasa takut, meledak tak terkendali

Kebrutalan, kekacauan, pembakaran, dan penjarahan terjadi

Angin kebencian berhembus kencang, entah siapa yang meniupnya

Kepedihan, kepiluan, ratap tangis, berbaur dengan kebencian

Banyak yang menjadi korban perubahan, negriku lumpuh total

Sejarah kelam bangsaku ditoreh dengan darah dan air mata!

 

9

Aku lupa sejak kapan mulai kenal menulis

Dan kutuliskan segala sesuatu agar tidak mudah lupa

Meski tulisanku hanya melekat di tembok-tembok

Setidaknya aku telah berusaha agar tidak menjadi pelupa!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun