Pendahuluan
Suatu karya sastra baik itu berupa prosa atau puisi sejogyanya tidak terlepas dari alam pikir dan budaya yang berkembang di tempat di mana karya itu ditulis. Karya sastra dan budaya memiliki hubungan timbal balik, saling mempengaruhi satu sama lain. Karya sastra bagian dari budaya suatu daerah atau negri. Perkembangan dunia yang pesat menyebabkan semuanya saling bersentuhan, budaya antar negri, antar benua, dan karya sastra pun berkembang lalu menyerap hal-hal yang menonjol dalam perkembangan sastra dunia.
Haiku sebagai bentuk puisi tradisional Jepang ternyata tidak hanya digemari oleh orang Jepang. Banyak orang asing yang tergila-gila kepada bentuk puisi tersebut, sehingga bukan saja mereka menerjemahkan haiku Jepang ke dalam bahasanya, melainkan juga mencoba menulis bentuk haiku dalam bahasanya sendiri. Buku kumpulan haiku yang ditulis dalam bahasa Inggris dari tahun ke tahun bertambah jumlahnya. Dalam bahasa-bahasa lain pun ada orang yang berbuat seperti itu. Sedangkan di Amerika serikat beberapa sekolah menengah mengajarkan haiku dan mengajar siswanya untuk menciptakan haiku- dalam bahasa Inggris. (Sumber: http://alfanuraa.blogspot.com/2015/01/kesusastraan-jepang.html)
Di Indonesia hal demikian juga terjadi, haiku boleh dikata sebagai genre puisi yang sedang digiatkan di indonesia, meski perkembangannya tidaklah sedahyat di Amerika Serikat dan daratan Eropa. Namun proses penyerapan itu terus berjalan, dan terlihat masih mencari bentuk yang standar “Haiku Ala Indonesia”.
Pengertian dan Konsep serta Tujuan Haiku
Haiku Jepang aslinya terdiri atas 17 suara (17 suku kata ketika diucapkan), yang terbagi dalam tiga frase: 5 suara, 7 suara, dan 5 suara. Suara biasa diartikan sebagai suku kata (fonem). Sejatinya Haiku mengandung Kigo, Struktur pendampingan dua bagian, dan Penggambaran Sensor Objektif
Haiku berasal dari kata "haikai no renga", puisi kelompok kolaboratif yang biasanya seratus bait panjangnya. Hokku, alias bait pertama, adalah kolaborasi renga yang mengindikasikan musim sekaligus mengandung kata pemotong. Haiku sebagai bentuk puisi mandiri melanjutkan tradisi ini.
Konsep haiku: bertujuan menyaring sebuah gambar dengan beberapa suara. Tujuan haiku adalah menciptakan lompatan antara kedua bagian, dan untuk meningkatkan makna puisi dengan menghadirkan "perbandingan internal".
Haiku adalah puisi pendek yang menggunakan bahasa sensorik untuk menangkap perasaan atau gambar. Inspirasinya kerap berasal dari elemen alam, momen indah, atau pengalaman mengharukan, menangkap dan menyaring gambar-gambar di alam yang lekas berlalu, misalnya katak lompat ke dalam kolam, tetes hujan menimpa daun, atau setangkai bunga berayun kena angin.
Haiku mengekspresikan momen-momen pengalaman objektif, bukan interpretasi atau analisis subjektif atas peristiwa itu. Anda harus menunjukkan pada pembaca suatu kebenaran tentang keberadaan momen itu, bukan menceritakan emosi yang Anda rasakan akibat peristiwa itu.
Haiku mengandung dua ide yang berdampingan, transisikan perspektif akan topik pilihan Anda agar puisi Anda memiliki dua bagian. Misalnya, Anda bisa fokus ke detail seekor semut yang merayap di batang kayu, kemudian mendampingkan gambar itu dengan sudut pandang yang lebih luas akan seluruh hutan, atau musim ketika semut itu berada. Pendampingan itu memberi pujangga makna metaforik yang lebih mendalam daripada menggunakan alam tunggal yang sederhana.
Haiku aslinya terpusat ke detail-detail lingkungan sekitar yang berkaitan dengan kondisi manusia. Anggaplah haiku sebuah bentuk meditasi yang mengekspresikan gambar atau perasaan objektif tanpa mencantumkan penilaian dan analisis subjektif. Ketika Anda melihat atau menyadari sesuatu yang membuat Anda ingin berkata pada orang lain,
Referensi musim atau perubahan musim, dalam bahasa Jepang disebut "kigo", adalah elemen esensial haiku. Kata Jepang "kiru", yang berarti "memotong", menyatakan bahwa haiku sebaiknya mengandung dua ide yang berdampingan. Kedua bagian itu mandiri secara tata bahasa, dan biasanya mencerminkan gambar yang berbeda juga. Haiku Jepang umumnya tertulis dalam satu baris, dengan ide-ide berdampingan dan terpisah oleh "kireji", atau kata pemotong, yang membantu mendefinisikan hubungan kedua ide. Kireji biasanya muncul di akhir salah satu frase suara. (Sumber: disarikan dari id.wikihow.com/Menulis-Puisi-Haiku)
Mengembangkan Kigo Dalam Alam Pikir Indonesia
Tantangan terberat dalam mengembangkan Haiku di Indonesia adalah pada kigo atau penanda musim ketika haiku itu ditulis. Kigo adalah prasyarat untuk diakui sebagai haiku. Kurangnya pengetahuan para penyair tentang perilaku hewan, tumbuhan, dan perilaku alam lainnya seperti ombak, angin, dan sungai yang mengisyaratkan musim hujan atau kemarau atau pancaroba menyebabkan penulisan haiku di indonesia seakan-akan menghilangkan ruhnya haiku..
Namun yang penting adalah bagaimana cara kita memahami Haiku yang menggunakan Kigo dalam alam pikiran orang Indonesia. Menyusupkan Kigo kedalam rangkaian 17 suku kata yang diinginkan para penulis adalah tahapan yang paling sulit dalam menulis Haiku. Alam Indonesia hanya memiliki dua musim yakni, musim hujan dan musim kemarau, di antara dua musim itu ada masa pancaroba yang singkat.
Mencari penanda musim di negri kita sebetulnya tidak sulit. Rumput kering, jalan berdebu, hutan terbakar, dan seterusnya bisa dijadikan sebagai penanda musim kemarau. Demikian halnya dengan jalan becek, rumput menghijau, banjir, gerimis panjang, dan seterusnya bisa menjadi penanda musim hujan. Hewan-hewan tertentu seperti Landak keluar dari hutan biasaanya terjadi pada musim kemarau. Burung Hantu, Kelelawar, Babi atau Rusa mencari makan, Musang berjalan-jalan, menyebutkan Bintang atau Bulan merujuk pada pertanda waktu malam. Menyebutkan Burung berkicau, Ayam mencari makan, dan seterusnya merujuk pada pertanda waktu siang. Menyebutkan Ayam atau Burung yang rabun atau menyebutkan Putri Malu mengatup atau Bunga Kecubung mekar merujuk pada pertanda waktu senja. Demikian juga Angin dapat dijadikan sebagai pertanda waktu. Indonesia sangat kaya dengan Kigo atau penanda waktu, kita harus menggalinya sebanyak mungkin agar dapat menemukan Kigo khas Haiku Indonesia.
Kigo dalam haiku adalah prasyarat. Artinya bisa disebut Haiku kalau ada pertanda musim atau waktu. Bila ditelusuri lebih jauh pada pertanyaan “seperti apa wujud suatu kigo itu di dalam haiku?” Kigo adalah pertanda yang diambil dari unsur: 1) Perilaku alam semisal banjir, hutan atau rumput terbakar di musim kemarau, dan seterusnya. 2) Perilaku Hewan 3) Perilaku Tumbuhan, 4) Gejala-gejala astronomi yang berhubungan dengan musim, atau pertanda waktu pagi, siang, senja, atau malam juga merupakan unsur kigo. 5) Situasi Kehidupan Sosial dan Suasana Keagamaan, misalkan: bulan puasa, situasi lebaran, situasi natal, atau imlek yang dapat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat juga bisa dikategorikan kigo atau perujuk musim atau perujuk waktu saat haiku itu ditulis.
Kigo dapat dibayangkan secara sederhana dengan ungkapan sebagai berikut: “Tuliskanlah perasaanmu lewat musim atau situasi atau waktu yang tengah berlangsung agar orang bisa memahami apa yang engkau maksudkan.” Salah satu fungsi kigo adalah sebagai penyama persepsi pikiran antara si penulis dan pembacanya.
Ketika sebuah kigo itu diserap dari unsur alam, tumbuhan, hewan, dan astronomi maka terjadilah sentuhan antara bidang sastra dan ilmu pengetahuan alam. Ketika sebuah kigo itu diserap dari unsur kehidupan maka ia bersentuhan disiplin ilmu yang lebih luas lagi. Contoh: melihat bintang pari umumnya dimaknai petani sebagai musim tanam padi, jatuh perayaan imlek umumnya persepsi yang terbentuk dalam benak sebagian besar orang indonesiaa bahwa saat itu curah hujan sedang tinggi-tingginya. Melihat musim layangan merupakan suatu pertanda bahwa saat itu angin berhembus relatif kencang sehingga hujan jarang datang. Kigo tidak harus ditulis secara gamblang guna menyebutkan musim atau waktu yang sedang berlang, dapat pula dituliskan menggunakan simbol-simbol yang dapat dipahami secara umum atau ditulis menggunakan metafora..
Haiku akan terus berkembang sebagai bagian dari sastra dunia, disiplin yang tinggi dan kejelian serta ketelitian yang harus dialami penulis ketika menuliskannya diyakini sebagai suatu latihan mental, bahkan ada yang menyebutnya sebagai “suatu kontemplasi” yang secara tidak sengaja telah dilalukan si penulis ketika menulis sebuah Haiku. Mungkin faktor ini yang menyebabkan para penyair jadi kecanduan menulis Haiku, meski hasilnya terkadang masih harus membengkokkan aturan yang ada. Haiku di Indonesia akan terus berkembang, seiring waktu kekurangannya di sana-sini akan menemukan solusinya, dan Haiku ala Indonesia akan menemukan jati dirinya sebagai bentuk puisi serapan yang membumi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H