Wajah Tuhan hadir di dalam diri mereka. Maka sungguh menjengkelkan dan menyedihkan kalau ada anak yang menyangkal ayah dan ibunya. Sama saja dengan menyangkal Tuhan yang memberi tanggung jawab kepada ayah.
Ketiga, pelayanan sebagai cinta. wajah seorang ayah adalah pahlawan bagi keluarga. Kalau dalam dunia pendidikan, orang mengatakan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Maka, senada dengan itu bisa menarik kesimpulan balik, ayah adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
Aku mendengar pengakuan ayah bahwa, ia tidak menginginkan anaknya untuk membalas jasa dan kebaikannya. Tetapi cukup ketika anaknya berhasil, ia tersenyum. Itu adalah hadia berharga yang lebih mulia dari emas, perak dan kekayaan lainnya. Keberhasilan keluarganya membuat mereka bahagia. Ayah tidak membutuhkan uang atau pun barang ketika anaknya berhasil. Bahkan cukup kalau seorang anak mendoakan dia. Doa adalah sebuah hadia baginya.
Keempat, bersyukur dengan apa yang ada. Seoarang ayah tidak pernah mengeluh dengan situasi atau keadaan yang sudah digariskan Tuhan. Situasi atau kondisi itulah yang membuat mereka berusaha. Saya kadang kalau ke kampus, bertanya kenapa seorang opa tua mau mengengkol speda tua sambil membawa barang bekas yang sudah tua pula.
Aku belum jauh melihat bahwa mereka melakukan itu demi membahagiakan orang yang mereka cintai. Situasi dan keadaan tidak membuat opa tua patah semangat untuk melangsungkan hidup keluarganya. Namun, rasa syukur tetap mereka dendangkan kepada Tuhan.
Aku teringat lagi ketika ayahku pulang bekerja pada sore hari. Kebersamaan dengan keluarga menghilangkan rasa capainya selama sehari suntuk bekerja. Itu artinya dia tidak menginginkan apa-apa. Dia hanya berharap agar suatu hari nasib anaknya tidak sama dengan yang dialaminya. Betapa tidak rasa syukur di tengah kesulitan sudah menjadi sebuah doa harian.
Kalau ditelisik dengan Filsafat, ngapain bersyukur lagian hasil yang ada merupakan usaha sendiri. Bukankah Tuhan hanya ada di dalam ide. Tetapi, mereka tidak belajar Filsafat, tetapi kehidupan mereka menjadi sebuah falsafah yang hidup. Banyak kebijaksanaan hidup yang tidak kudapatkan di bangku kuliah Filsafat. Banyak keutamaan yang kudapat dari orang yang tidak banyak berkata, tetapi banyak berbuat. Memang tepatlah kalau slogan ini diutarakan, talk less, do more. Kelebihan itulah yang membuatku pusing tujuh keliling merefleksikan hidup menjadi ayah.
Akhirnya, Kehadiran wajah ayah di dunia sudah mewartakan surga yang hidup di dunia. Surga yang selalu ditelorkan oleh agama. Surga yang menjadi diskusi para teolog. Padahal surga itu ada di dalam keluarga. Ayah dan ibu selalu menguras banyak tenaga demi kebahagiaan keluarga. Maka kalau melihat surga, cukuplah melihat keluarga kita. Tidak berarti tidak ada percekcokan di dalamnya. Tetapi, semuanya demi kebaikan dan keharmonisan keluarga.
Bagaimana mungkin seorang ayah yang kalau di lihat bahwa, ia adalah pribadi yang lain dari 'aku' mau mengusahakan demi kesuksesan 'aku'. Tetapi, ia tidak melihat diri sebagai sebuah kepenuhan. Tetapi ia selalu hadir bersama keluarga. Maka, tidak heran kalau perjuangan dan tantangan dilewati demi sebuah kebahagiaan di dalamnya.
Di akhir kata, aku masih harus mengungkapkan bahwa seorang ayah adalah pahlawan. Belajarlah dari seorang ayah untuk menjadi pahlawan bagi yang lain.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H