Suatu hari, aku bercakap-cakap dengan ayahku. Awalnya percakapan itu sekadar mengisi waktu senggang. Â Lambat-laun masuk lebih dalam dan menjurus ke hal yang serius. Ayah berbagi cerita tentang perjalanan hidupnya. Ia tampak bahagia membagi kisahnya. Aku kagum dengan ceritanya.
Hari itu menjadi episode pertama, aku mendengar cerita ayah. Dalam kesempatan yang lain, ayah membagi kisahnya. Keseringan mendengar kisahnya membuat aku perlahan mengerti apa artinya kehidupan ini.
***
Suatu hari sebelum memulai masa SMA, aku putus asa karena begitu banyak administrasi yang belum diurus. Ayah seolah membiarkanku mengurusnya sendiri. Ia hanya tersenyum saat melihatku sibuk. Seolah-olah ia tidak memusingkan keadaanku. Aku kesal dengan perilakunya. Namun tidak mengungkapkannya.
Urusan yang rumit itu, menguras banyak energi. Mungkin ia melihat raut wajahku yang tak menentu. Ia mengeluarkan sebuah petuah, "Jadilah seorang pahlawan. Pahlawan itu bukan soal membela negara dari penjajahan. Tidak menyangkut urusan memegang senjata dan alat perang. Pahlawan lebih pada menguasai diri untuk bertahan dalam kesulitan."
Aku kagum dan terkesima mendengarnya. Aku menjadi malu dengan tingkahku yang tidak karuan. Padahal ayahku tidak mendapat pendidikan tinggi amat, namun pemikirannya seperti seorang pahlawan.
Aku teringat lagi seorang santa yang mengatakan, Kalau semua perempuan baik memilih menjadi biarawati (tidak menikah), siapa lagi yang akan menjadi ibu yang baik. Pada tempat yang sama, kalau semua laki-laki baik memilih menjadi imam (hidup selibat atau tidak menikah), siapa lagi menjadi ayah yang baik.
Kata-kata peneguhan yang ke luar dari mulut ayahku menyemangati ragaku yang sudah kusut. Aku memetik banyak nilai dari pengalaman bersama ayah.
Pertama, untuk melayani orang lain tidak tunggu menjadi seorang yang berlimpah harta. Tetapi setiap hari adalah kesempatan untuk membaktikan diri pada orang lain, terutama melalui pekerjaan kecil dan sederhana. Misalnya memberi senyuman, menolong yang kekurangan dan menderita, dan apapun kebaikan yang bisa kita lakukan.
Wajah setiap ayah di dunia sudah menunjukkan wajah kepahlawanan. Kalau dilihat, mengapa mereka harus membanting tulang demi keluarganya. Jika mereka egois kemungkinan besar mereka hanya bekerja untuk diri mereka sendiri. Pekerjaan mereka tidak kalah penting dan bermutu dengan pekerjaan seorang pemimpin hebat yang melayani semua orang. Hanya cara pengungkapannya berbeda. Tetapi tujuan sama dan jelas yaitu memuliakan Tuhan. Wajah setiap ibu dan ayah sudah menunjukkan kepada dunia bahwa mereka adalah pahwalawan bagi anak-anak mereka.
Kedua, menjadi pahlawan yang kokoh dan tegar. Aku belajar bagaimana ayah menguatkan langkah yang terkeok tat kala aku enggan untuk berlangkah. Kehadirannya seperti cahaya dalam kegelapan. Dalam diri setiap ayah, entah dia kaya atau miskin, pandai atau tidak pandai, bijaksana atau bebal tetap nampak bahwa wajah kepahlawanan ada di dalam diri mereka.