Noelle Garnoussi merupakan seorang Muslim taat yang dibesarkan di Prancis. Selama hidup, dirinya selalu berdoa lima kali sehari sesuai ajaran agamanya.
Noelle dibesarkan oleh kakek-neneknya yang juga beragama Muslim, sedangkan keluarga yang lain beragama Katolik. Â Wanita berusia 36 tahun itu mengaku sebagai orang Prancis, dan meyakini suatu paham bahwa agama tidak boleh dimasukkan ke dalam urusan politik, negara, dan institusi publik lainnya.
Namun, keyakinannya mulai sirna setelah rentetan serangan Islamis datang menyerang. Ia semakin merasa terasing di negaranya sendiri.
Melihat hal ini, beberapa rekan satu negaranya bertanya-tanya: apakah Muslim benar-benar setara di mata Republik?
"Nenek saya orang Prancis. Nenek buyut saya orang Prancis, dia dipanggil Antoinette. Namun saya dibuat seakan-akan saya bukan lagi orang Prancis, hanya karena saya seorang Muslim," kata Garnoussi dilansir dari The Korea Times pada Kamis (05/11/2020).
Pihaknya juga mengatakan bahwa berbagai insiden yang terjadi saat ini membuat sikap di antara masyarakat Perancis terhadap Muslim menjadi tampak dingin.
"Kadang-kadang saya lupa mengaktifkan mode silent dan adzan berbunyi di handphone. Suatu ketika saya diludahi (ketika itu terjadi), dan mulai saat itu keadaan menjadi semakin  buruk." tambahnya.
Beberapa tokoh Muslim lainnya merasa khawatir jika masyarakat luas akan menganggap mereka sama dengan militan. Tidak tinggal diam, sekelompok pemimpin Muslim mendesak pemerintah untuk bertindak agar keadaan menjadi kondusif.
'Itu Menyakiti Kami'
Sementara itu, Garnoussi mengungkapkan bahwa ia cukup kaget ketika majalah Charlie Hebdo yang pada bulan September lalu memutuskan untuk menerbitkan kembali apa yang menjadi penyebab kemarahan umat Muslim di seluruh dunia. Pasalnya gambar karikatur Nabi Muhammad SAW tersebut pertama kali muncul di sebuah surat kabar Denmark pada tahun 2005.
Ternyata,gambar tersebut pernah menyulut amarah umat muslim pada tahun 2015 yang telah menewaskan 12 orang, termasuk beberapa kartunis terkenal lainnya.
Tidak disangka, beberapa minggu setelah publikasi ulang seorang remaja Chechnya memenggal kepala seorang guru sekolah menengah bernama Samuel Paty. Motif pemenggalan terjadi karena remaja tersebut tidak terima jika guru menggunakan gambar karikatur Nabi Muhammad SAW sebagai contoh pembelajaran..Â
Tidak hanya itu, minggu lalu seorang wanita juga dipenggal dan dua orang lainnya tewas di Nice dalam dugaan serangan Islam.
Pemerintah Prancis mengakui membela karikatur tersebut, dengan mengatakan bahwa nilai-nilai sekuler negara itu memungkinkan adanya penistaan agama.
Menurut Garnoussi, publikasi ulang tersebut merupakan tindakan provokatif yang disengaja untuk membuat perselisihan antara lima juta Muslim di Prancis.
"Itu menyakiti kami dan membuat kami merasa Negara tidak mencintai kami," katanya melihat tindakan Charlie Hebdo dan pembelaan pemerintah terhadap mereka.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron menindaklanjuti tragedi pembunuhan guru Samuel Paty dan para korban di Nice beberapa hari kemudian.
Pada awalnya pemerintah berencana untuk menutup sebuah masjid di tepi Paris, membongkar sekitar tiga asosiasi Muslim, dan merancang undang-undang yang digunakan untuk melawan perilaku Islam karena dianggap berlawanan dengan nilai-nilai Republik.
Tetapi melihat keadaan yang semakin buruk, Macron berupaya untuk memperbaiki apa yang menjadi kesalahpahaman tentang hubungan Perancis dengan Muslim. Dalam sebuah wawancara, pihaknya menekankan bahwa dirinya tidak mendukung karikatur tersebut dan Prancis sama sekali tidak anti-Muslim.
Baru-baru ini, Macron tengah membicarakan tentang membangun kembali umat muslim di Perancis dengan memperhatikan nilai-nilai sekuler negaranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H