Dalam proses menentukan pilihan calon presiden yang nanti akan kita tentukan pada hari pencoblosan 14 Februari 2024, informasi memainkan peran krusial sebagai landasan bagi kita untuk menentukan pilihan.Â
Saat ini, terutama dengan dominasi informasi digital yang tersedia di internet dan media sosial, cara kita memperoleh dan memproses informasi politik telah mengalami perubahan signifikan.
Internet dan media sosial memberikan akses lebih cepat dan luas terhadap berbagai informasi politik.Â
Kini, kita dapat dengan mudah mengakses platform-platform online untuk mendapatkan informasi terkini tentang calon kandidat dan isu-isu terkini.Â
Namun, perlu diingat bahwa cara kerja dunia maya tidaklah netral, dan algoritma dapat memainkan peran dalam menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna.
Dan, tanpa kita sadari di situlah letak bahayanya.
Data Jumlah Warganet di Indonesia
Memulai analisis ini, saya membuka dengan pertumbuhan pengguna internet di Indonesia.
Melihat pertumbuhan yang signifikan dalam jumlah pengguna internet di Indonesia, kita tidak bisa mengabaikan dampak besar yang mungkin timbul dari dinamika ini.Â
Menurut data dari berbagai sumber, pada Januari 2023, lebih dari 213 juta orang di Indonesia telah terhubung ke dunia maya, mencakup sekitar 77% dari total populasi yang mencapai 276,4 juta orang pada saat itu (We Are Social, 2023).Â
Bahkan, survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan peningkatan sebesar 2,67% dalam jumlah pengguna internet pada periode 2022-2023, mencapai angka 215,63 juta orang (APJII, 2023).
Selain itu, tingkat penetrasi internet di Indonesia juga terus meningkat, khususnya di klasifikasi perkotaan yang mencapai 77,36% dari total populasi (APJII, 2023).Â
Dalam konteks ini, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sekitar 66,48% penduduk Indonesia telah mengakses internet pada tahun 2022 (BPS, 2022).Â
Fenomena peningkatan ini bukan sekadar angka statistik, melainkan juga menciptakan landasan untuk mengetahui lebih dalam tentang dampak sosialnya, khususnya dalam domain politik.Â
Dengan begitu banyaknya orang yang terhubung ke internet, pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana cara algoritma dan platform digital memengaruhi cara masyarakat memahami dan berinteraksi dengan informasi, terutama dalam konteks pemilu?
Pertumbuhan jumlah pengguna internet menghadirkan tantangan dan peluang yang unik, terutama terkait dengan penyebaran informasi politik.Â
Bagaimana algoritma menyesuaikan dan menyajikan informasi politik kepada pengguna dapat membentuk pola pikir, opini, dan bahkan pengambilan keputusan bagi setiap individunya.
Kita perlu melihat lebih dalam, bukan hanya pada angka yang menunjukkan pertumbuhan pengguna internet, tetapi juga pada konsekuensi cara kerja algoritma dalam membentuk pola pikir dan keputusan masyarakat.Â
Bagaimana masyarakat merespons informasi politik yang disajikan oleh algoritma di dunia maya?Â
Sejauh mana kita dapat memahami cara kerja algoritma dalam membentuk efek filter bubble dan echo chamber, serta dampaknya terhadap keberagaman pandangan politik?
Penjara Digital itu Bernama Filter Bubble & Echo Chamber
Di era digital yang penuh dengan informasi, sering kali kita terlena dengan kenyamanan mendapatkan berita atau informasi yang sesuai dengan keinginan dan pandangan kita.Â
Apa yang mungkin tidak kita sadari adalah bahwa algoritma secara kompleks bekerja tanpa henti untuk menyusun dan menyajikan konten sesuai dengan perilaku online kita.
Algoritma ini, bagaimanapun, tidak bersifat netral. Algoritma di dunia maya sendiri berperan dalam membentuk apa yang disebut sebagai "filter bubble" dan "echo chamber".
Filter bubble merujuk pada situasi di mana algoritma dalam platform digital menyaring dan menyajikan informasi kepada pengguna berdasarkan preferensi dan pandangan yang sudah ada.
Hal tersebut berimplikasi dalam membatasi eksposur terhadap sudut pandang yang berbeda atau informasi yang tidak sejalan dengan apa yang kita sukai.Â
Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Eli Pariser dalam bukunya "The Filter Bubble: How the New Personalized Web Is Changing What We Read and How We Think" (Pariser, 2011).
Sementara itu, echo chamber mengacu pada fenomena di mana individu atau kelompok terpapar secara berlebihan pada informasi yang memperkuat dan mengonfirmasi pandangan atau keyakinan mereka sendiri.Â
Echo chamber menciptakan lingkungan di mana opini dan pandangan yang sudah ada terus-menerus diperkuat tanpa adanya informasi bantahan atau variasi (Sunstein, 2018).
Kedua konsep ini memiliki dampak serius pada cara kita mendapatkan sudut pandang, terutama dalam konteks politik.Â
Pengguna yang terjebak dalam filter bubble dan echo chamber cenderung tidak mendapatkan gambaran yang komprehensif atau seimbang tentang isu-isu politik.Â
Dengan kata lain, kita dapat kehilangan perspektif alternatif, informasi yang berbeda, atau pandangan dan argumen sanggahan yang bisa memperkaya khazanah ilmu.Â
Akibatnya, kita seperti memakai kaca mata kuda yang tak bisa melihat dengan luas tentang informasi lain yang mungkin bermanfaat bagi kita sebagai pemilih.
Seberapa Berbahaya Efek ini?
Dalam era digital yang serba terkoneksi ini, peran algoritma tidak hanya menjadi sorotan, tetapi juga menjadi fenomena dalam memahami perilaku penggunaan internet.Â
Artikel jurnal berjudul "Pengaruh algoritma filter bubble dan echo chamber terhadap perilaku penggunaan internet" membuka perspektif yang lebih mendalam terkait dampak psikologis, perilaku, dan bahkan pergeseran budaya yang mungkin terjadi.
Berikut beberapa dampak negatif dari adanya filter bubble dan echo chamber:
1. Lebih malas mencari informasi di luar topik kesukaan
Algoritma filter bubble menciptakan lingkungan di mana pengguna lebih pasif dalam mencari informasi di luar topik kesukaan mereka.Â
Dengan analisis mesin terhadap perilaku online, algoritma ini secara otomatis menyajikan konten yang sejalan dengan preferensi pengguna.Â
Konsekuensinya, minat untuk mencari informasi baru, terutama yang mungkin berbeda pandangan yang sudah ada, semakin menurun.Â
Hal ini tentunya menciptakan sebuah paradoks, di mana seiring dengan meningkatnya akses informasi, pengguna malah cenderung terjebak dalam keterbatasan perspektif.
2. Filter bubble memanjakan pengguna dengan otomatisasi konten
Pemahaman algoritma sebagai alat yang memanjakan pengguna menciptakan dinamika psikologis. Dalam dunia digital yang penuh dengan opsi dan informasi, pengguna merasa dihadapkan pada kemudahan dan kenyamanan.Â
Kita tidak perlu bersusah payah mencari konten, karena algoritma menyajikan apa yang menurut "mereka" konten yang kita inginkan.Â
Namun, ini membawa risiko, karena kita mungkin kehilangan rasa inisiatif untuk mengeksplorasi sudut pandang baru atau mengejar pemahaman yang lebih mendalam.
3. Kenyamanan dapat menghambat kreativitas
Selanjutnya, munculnya rasa nyaman dari efek filter bubble bisa membawa dampak yang jauh lebih mendalam lagi, yaitu meredam kreativitas dan rasa ingin tahu.Â
Saat informasi yang disajikan secara otomatis sudah sesuai dengan apa yang dikenal dan disukai, kecenderungan untuk menjauh dari hal-hal baru dapat meningkat.Â
Dalam hal ini, filter bubble dapat dianggap sebagai suatu bentuk "penjara kreativitas," di mana pengguna terperangkap dalam rutinitas informasi yang itu-itu saja.
4. Bisa menjadi fanatik dan kurang terbuka pada pandangan baruÂ
Sementara itu, terpaparnya terus-menerus pada sudut pandang yang seragam oleh efek echo chamber menciptakan risiko bahwa opini kita menjadi lebih fanatik dan kurang terbuka terhadap ide-ide baru.Â
Algoritma ini, yang secara efektif mempertahankan dan memperkuat keyakinan yang sudah ada, menciptakan suatu ekosistem di mana pluralitas ide dan pandangan baru sulit ditemukan.Â
Kita dapat kehilangan kemampuan untuk memahami sudut pandang lain atau bahkan untuk berdialog secara produktif dengan mereka yang memiliki pandangan berbeda.
5. Memicu penyebaran informasi yang menyesatkanÂ
Tak kalah berbahaya adalah potensi adanya misleading information yang muncul akibat penyajian konten yang tidak sesuai oleh algoritma.Â
Dalam upayanya untuk menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, algoritma memiliki kemungkinan menyebarkan informasi palsu atau tidak akurat.Â
Hal ini bisa berdampak besar terutama dalam konteks politik atau sosial, di mana persepsi yang keliru dapat memicu respons yang mungkin tidak diinginkan.
Oleh karena itu, kesadaran akan kompleksitas dan dampak dari filter bubble dan echo chamber perlu menjadi bagian dari literasi digital masyarakat.Â
Diperlukan kebijaksanaan individu untuk secara aktif mencari perspektif yang beragam, melibatkan diri dalam dialog kritis, dan tidak hanya mengandalkan apa yang disajikan.Â
Dengan cara ini, kita dapat mengurangi dampak negatif dari filter bubble dan echo chamber, serta memastikan bahwa internet tetap menjadi ruang yang dinamis.
***
Terakhir, dalam opini ini. Bagaimanapun keseragaman informasi dapat mempersempit sudut pandang kita yang pada akhirnya membatasi pengetahuan kita.
Pengetahuan yang terbatas akan memberikan efek buruk pada pengambilan keputusan, yang pada akhirnya mungkin keputusan itu akan kita sesali.
Jadi, untuk meminimalisir efek dari filter bubble dan echo chamber, kita sebagai pengguna internet dan media sosial harus lebih proaktif dalam mencari informasi.
(*B/A)
Ref:
- Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. (n.d.). Diakses pada 5 Februari 2024, dari https://apjii.or.id/berita/d/survei-apjii-pengguna-internet-di-indonesia-tembus-215-juta-orang
- Badan Pusat Statistik Indonesia. (31 Agustus 2023). Statistik Telekomunikasi Indonesia 2022. Diakses pada 5 Februari 2024, dari https://www.bps.go.id/id/publication/2023/08/31/131385d0253c6aae7c7a59fa/statistik-telekomunikasi-indonesia-2022.html
- Pariser, E. (2011). The filter bubble: How the New Personalized Web Is Changing What We Read and How We Think. Penguin.
- Sofiamaddalena. (2024, January 30). Digital 2023 - We are Social Indonesia. We Are Social Indonesia. Diakses pada 5 Februari 2024, dari https://wearesocial.com/id/blog/2023/01/digital-2023/
- Sunstein, C. R. (2018). #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media. Princeton University Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H