Algoritma ini, bagaimanapun, tidak bersifat netral. Algoritma di dunia maya sendiri berperan dalam membentuk apa yang disebut sebagai "filter bubble" dan "echo chamber".
Filter bubble merujuk pada situasi di mana algoritma dalam platform digital menyaring dan menyajikan informasi kepada pengguna berdasarkan preferensi dan pandangan yang sudah ada.
Hal tersebut berimplikasi dalam membatasi eksposur terhadap sudut pandang yang berbeda atau informasi yang tidak sejalan dengan apa yang kita sukai.Â
Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Eli Pariser dalam bukunya "The Filter Bubble: How the New Personalized Web Is Changing What We Read and How We Think" (Pariser, 2011).
Sementara itu, echo chamber mengacu pada fenomena di mana individu atau kelompok terpapar secara berlebihan pada informasi yang memperkuat dan mengonfirmasi pandangan atau keyakinan mereka sendiri.Â
Echo chamber menciptakan lingkungan di mana opini dan pandangan yang sudah ada terus-menerus diperkuat tanpa adanya informasi bantahan atau variasi (Sunstein, 2018).
Kedua konsep ini memiliki dampak serius pada cara kita mendapatkan sudut pandang, terutama dalam konteks politik.Â
Pengguna yang terjebak dalam filter bubble dan echo chamber cenderung tidak mendapatkan gambaran yang komprehensif atau seimbang tentang isu-isu politik.Â
Dengan kata lain, kita dapat kehilangan perspektif alternatif, informasi yang berbeda, atau pandangan dan argumen sanggahan yang bisa memperkaya khazanah ilmu.Â
Akibatnya, kita seperti memakai kaca mata kuda yang tak bisa melihat dengan luas tentang informasi lain yang mungkin bermanfaat bagi kita sebagai pemilih.
Seberapa Berbahaya Efek ini?
Dalam era digital yang serba terkoneksi ini, peran algoritma tidak hanya menjadi sorotan, tetapi juga menjadi fenomena dalam memahami perilaku penggunaan internet.Â